Hujan yang turun sejak sore, selepas senja perlahan-lahan mulai mereda. Memasuki waktu sekitar jam 08.00 malam, hujan pun benar-benar berhenti. Tanah, paving, dan jalan beraspal terlihat basah. Gerah sepanjang siang yang menyengat, tergantikan malam yang sejuk. Di pelataran Kori Kamandungan – gerbang utama keraton Surakarta – orang-orang dari berbagai daerah disekitar Kota Solo mulai berdatangan. Dari bermacam latar, pekerjaan, dan tujuan. Dari orang-orang kebanyakan dan bukan orang-orang kebanyakan. Dari orang-orang desa, orang-orang kota, abdi dalem keraton, keluarga dan bangsawan keraton, polisi, wartawan, tukang parkir, penjual kacang rebus, penjual wedang rondhe, dan bermacam orang lainnya. Perlahan-lahan berjejal berdatangan. Semuanya bersiap-siap dan menanti perayaan sakral yang hanya dilangsungkan setahun sekali di Keraton Kasunanan Surakarta. Perayaan Kirab Pusaka Malam 1 Suro. [caption id="attachment_1667" align="alignnone" width="651" caption="Persiapan. Di depan Kori Kamandungan terlihat banyak orang berlalu-lalang, para abdi dalem, pejabat dan keluarga keraton, polisi dan petugas lainnya, mempersiapkan upacara Suran, perayaan menyambut tahun baru 1 Suro. Persiapan dilakukan di dalam dan di luar keraton."] Kori Kamandungan Berjejal [/caption] [caption id="attachment_1679" align="alignnone" width="612" caption="Keturunan. Kerbau Kiai Slamet yang ada sekarang adalah keturunan dari kerbau Kiai Slamet pertama yang hidup pada masa Pakubuwono II. Jumlahnya ada 11 ekor, dari yang masih kecil sampai yang sudah tua, dan yang mengikuti kirab kali ini berjumlah 9 ekor. Berikut ini adalah nama 11 ekor kerbau tersebut: Kiai Bodong, Kiai Debleng, Kiai Joko, Kiai Manis Sepuh, Kiai Manis Enom, Kiai Juki, Kiai Apon, Kiai Welas, Kiai Asih, Kiai Suti, dan Kiai Kliwon. Kiai Bodong dan Kiai Debleng tidak mengikuti kirab dan diistirahatkan karena sudah terlalu tua. "] Kerbau Kiai Slamet [/caption] Syeh Siti Jenar menurut beberapa riwayat berasal dari Cirebon yang tanahnya berwarna merah, dan karena itu dia disebut juga Syeh Lemah Abang atau Siti Abrit. Siti atau lemah berarti tanah, sedang jenar, abang, atau abrit berarti merah. Dipercaya termasuk dari Wali Songo, tapi mempunyai pandangan yang cukup berbeda. Ajarannya memadukan tasawuf dengan pendekatan sinkretis dan inklusif. Terbuka dan tetap menerima tradisi yang sudah ada. Tradisi Hindu-Buddha jaman Majapahit pun dapat terus dilakukan. Karena menitik beratkan pada tasawuf, pada hakekat, konon Syeh Siti Jenar tidak terlalu mempermasalahkan syariat, peribadahan fisik ragawi. Sampai sekarang, raja-raja Mataram Islam, keluarga, dan kerabatnya menjalankan agama Islam dengan cara yang sedikit berbeda, mereka tidak melakukan sholat, puasa, dan haji. Mereka inilah yang disebut Islam Abangan, mengambil dari nama Syeh Lemah Abang, juga disebut Islam Kejawen, Islam dengan tradisi Jawa-Majapahit yang sangat kuat. [caption id="attachment_1698" align="alignnone" width="637" caption="Kelengkapan. Kirab terbagi dalam kelompok-kelompok sesuai dengan pusaka yang dibawa. Dalam setiap kelompok pembawa pusaka juga disertai dengan pedupan (pembakaran dupa), payung kertas, lampu petromak, lampu teplok (lampu berbahan bakar minyak tanah), dan oncor (penerangan dari potongan bambu yang diisi minyak tanah dan sumbu)."] [/caption] Dalam tradisi Jawa, pergantian tahun adalah waktu yang sakral. Menandai bergantinya Nogo Dino dan Nogo Taun, berubahnya sifat dan karakter seluruh kosmis, yang kasat dan tak kasat mata, yang semuanya akan mempengaruhi kehidupan manusia. Orang Jawa menyambutnya dengan bersyukur, bercermin, introspeksi, dan pembersihan. Ritual yang dilakukan antara lain melakukan perenungan dengan bertapa atau tirakat (dari kata thariqat), mandi atau kungkum (berendam) di sungai atau umbul (kolam dari mata air), dan mencuci benda-benda pusaka yang dimilikinya. Dan sebagai pengejawantahan filosofi Cakra Manggilingan, bahwa kehidupan itu berputar seperti perputaran roda, mereka melakukan laku berjalan berkeliling, memutari sekitar rumahnya, kampung atau keraton. Pada keraton Kasultanan Jogja dan Kasunanan Surakarta, laku mlaku itu dilakukan dengan kirab bersama-sama tanpa suara dan mengarak benda-benda pusaka, sebagai simbol keraton yang ingin melindungi dan mengayomi rakyatnya. Dan di Keraton Surakarta, kirab ini lebih unik, karena yang menjadi cucuk lampah atau pemimpin arak-arakan, adalah kerbau yang dikenal dengan nama Kiai Slamet. [caption id="attachment_1706" align="alignnone" width="630" caption="Pradaksina. Arak-arakan kirab dilakukan dengan Pradaksina, berjalan berkeliling sekitar keraton searah jarum jam, menempuh jarak sekitar 4,5 kilometer. "] Pradaksina [/caption] Keraton Kartasura yang sudah hancur tidak bisa begitu saja diperbaiki. Robohnya keraton berarti robohnya juga kewibawaan atau kekeramatan dari tempat tersebut. Karena itu Pakubowono II memutuskan untuk memindahkan pusat kerajaannya. Balanda menyarankan keraton baru dibangun di daerah Tingkir Salatiga, wilayah arah utara Kartasura. Tapi Raja mempunyai pemikiran sendiri. Diutusnya Tumenggung Tirtowiguna, Pangeran Wijil, Tumenggug Honggowongsono dan abdi dalem lainnya, serta Van Hohendorf perwakilan VOC untuk mencari lokasi keraton yang baru. Yang menarik, didalam rombongan ini juga ada kerbau Kiai Slamet, kerbau bule kesayangan Pakubuwono II. Menurut wisik yang diterima, tempat yang tepat untuk mendirikan keraton adalah tempat dimana kerbau Kiai Slamet berhenti. Maka rombongan inipun berjalan kesana kemari mengikuti sang kerbau sebagai cucuk lampah. Rombongan sempat singgah di Desa Kadipolo dan Sonosewu. Tapi Kiai Slamet masih terus berjalan, hingga sampai di daerah hutan berawa-rawa yang dikenal dengan nama Desa Sala. Di Desa Sala ini kerbau Kiai Slamet berhenti dan tidak mau melanjutkan perjalanan. Maka diputuskan inilah tempat yang akan dijadikan keraton baru kerajaan Mataram. Setelah babad alas dan pembangunan selama sekitar satu tahun, pada Rabu Paing 14 Sura 1670 Je Sancaya Kulawu Ajegi atau 14 Muharam 1158 Hijryah atau 17 Februari 1745, keraton Kartasura pindah ke lokasi barunya, dan nama kerajaanpun berubah menjadi Surakarta. Kemudian atas jasanya ini kerbau Kiai Slamet pun dianggap sebagai pusaka keraton dan anak keturunannya dikeramatkan sampai sekarang. [caption id="attachment_1711" align="alignnone" width="612" caption="Tanpa Kekang. Yang cukup unik, para kerbau ini berjalan tanpa kekang, tanpa (pecut) cemeti. Mereka seolah-olah tahu harus berjalan kemana. Para pawang hanya sesekali mengarahkan dengan berbicara kepada kerbau-kerbau ini."] [/caption] Penggunaan kerbau untuk menentukan lokasi keraton ini kemungkinan terinspirasi dari sejarah Nabi Muhammad ketika akan membangun rumah di Madinah. Setelah Hijrah dari Makkah dan sampai di Madinah pada tahun 622 m atau 1 H, beberapa kelompok pendukung Nabi berebut menawarkan tanahnya untuk rumah Nabi. Karena tidak ingin mendukung satu kelompok dan mengecewakan kelompok lain, Nabi memutuskan untuk menyerahan lokasi pembangunan rumahnya pada onta tunggangannya. Rumah Nabi akan dibangun dimana onta tersebut berhenti dan duduk. Keputusan ini dapat diterima semua orang, karena tidak akan ada yang iri atau protes kepada ‘keputusan’ onta. Setelah berputar-putar kota Madinah, akhirnya onta Nabi pun berhenti dan duduk. Dan ditempat ini kemudian dibangun rumah Nabi dan Masjid al-Aqsha, yang sampai sekarang berdiri sangat megah. Karena di tanah Jawa pada masa Pakubuwono II belum ada onta, maka untuk meniru perbuatan Nabi tersebut, digunakanlah kerbau sebagai penggantinya. Kerbau adalah hewan yang sangat merakyat. Banyak dijumpai dalam banyak cerita rakyat di seluruh Indonesia, seperti kerbau Marcuet di jaman Majapahit Jawa Timur, kerbau Danu dan Joko Tingkir di Demak Jawa Tengah, asal mula Minangkabau di Sumatera Barat, cerita Sungai Kerbau di Samarinda Kalimantan Timur, Kerbau Putih dan Putri Tandampalik di Sulawesi Selatan, dan masih banyak lagi. Banyaknya cerita tentang kerbau karena hewan ini memang sangat dekat dengan kehidupan nyata sehari-hari kebanyakan masyarakat agraris Indonesia. [caption id="attachment_1714" align="alignnone" width="651" caption="Beragam. Tradisi kirab Kiai Slamet ini dimaknai berbeda-beda. Banyak yang mengikutinya untuk berharap berkah, dengan mengikuti kirab sampai selesai, memunguti kotoran kerbau, menyediakan dagangannya dimakan kerbau, atau dengan sekedar hadir dan menontonnya langsung. Ada yang menganggapnya tradisi yang perlu dijaga. Ada juga yang menganggapnya sekedar acara unik yang perlu ditonton."] [/caption] Sebagai negara agraris yang menggantungkan hidupnya pada pertanian, kerbau adalah hewan serbaguna yang sangat membantu. Dapat digunakan sebagai penarik gerobak, pembajak sawah, dan tugas-tugas lainnya. Tapi seiring waktu, peranan kerbau semakin tergeser. Bersamaan dengan kehidupan pertanian yang semakin ditinggalkan. Bersamaan dengan kondisi negeri yang semakin suram.
Entah apapaun tradisi dan sejarah yang mendasarinya, arak-arakan kirab kerbau Kiai Slamet ini dapat juga (dulunya) dianggap sebagai penegasan dan pengakuan negara tentang pentingnya pertanian yang menjadi pokok kehidupan rakyatnya. Pertanian yang menjadi cucuk lampah kehidupan negeri.
::: Untuk foto-foto selengkapnya dan tulisan-foto lainnya bisa dilihat di blog kalamata ::: Bahan Bacaan:
- Babad Bali. Wewaran / Pewarigaan. http://www.babadbali.com/pewarigaan/pewarigaan.php. 17 Nopember 2012.
- Duto Sri Cahyono. Solo Intrigue (4): Keraton Porak Poranda. http://www.wikimu.com/News/DisplayNews.aspx?id=11880. 30 Nopember 2012.
- Heddy Lugito. Ki Ageng Pengging, Mata Air Sinkretisme dari Pengging. Gatra. Nomor 02-03 Tahun X, 6 Desember 2003.
- Herry Mohammad, Mujib Rahman, Rachmat Hidayat, Sigit Indra. Syekh Siti Jenar, Jatuh-Bangun Islam Bangan. Gatra. Nomor 02-03 Tahun X, 6Desember 2003.
- Jagad Kejawen. Penanggalan Jawa. http://offijogja.blogspot.com/2009/06/penanggalan-jawa.html. 16 Nopember 2012.
- Kerajaan Nusantara. Kasunanan Surakarta Hadiningrat – Binatang Peliharaan. http://www.kerajaannusantara.com/id/surakarta-hadiningrat/peliharaan. 23 Nopember 2012.
- Semesta Ilmu. Sistem Penanggalan Saka. http://rasyidassaify.blogspot.com/2012/03/sistem-penanggalan-saka.html. 17 Nopember 2012.
- Wikipedia. Kalender Jawa. http://id.wikipedia.org/wiki/Kalender_Jawa. 17 Nopember 2012.
- Wikipedia. Ki Ageng Pengging. http://id.wikipedia.org/wiki/Ki_Ageng_Pengging. 17 Nopember 2012.
- Wikipedia. Sultan Agung dari Mataram. http://id.wikipedia.org/wiki/Sultan_Agung. 17 Nopember 2012.
- Wikipedia. Sutawijaya. http://id.wikipedia.org/wiki/Sutawijaya. 17 Nopember 2012.