Lihat ke Halaman Asli

Kepingan Hati

Diperbarui: 17 Juni 2015   12:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Jalan dan lorong sunyi, malam makin pekat, laki – laki itu siap untuk menjalankan aksinya. Aksi yang dilakukan ini bukan untuk pertama kalinya, namun aksinya ini adalah hasil risetnya selama beberapa hari sebelum ini. hasil riset dan observasi yang cukup matang. dan dia merasa kalau hari ini adalah hari yang tepat untuk melancarkan aksi itu, aksi yang dia harapkan membawa hasil yang maksimal.

Bukan, dia bukan ingin melakukan penelitian arkeologi atau apalah, dia hanya ingin melakukan aksi pencurian. Pencurian yang mana target lokasinya di depan sekolah anaknya, di sebuah rumah mewah nan megah yang pemilik rumah tersebut pernah membentaknya. kalau saja tanpa ada riset atau observasi atau apalah dia sebenarnya sudah cukup menguasai lokasi itu, tapi dia memang melakukan semua atas nama profesionalitas sehingga dia tidak akan berbuat asal – asalan ketika melakukan pekerjaannya. Pekerjaan yang dianggap banyak orang sebagai tindak kriminalitas.

“Aku harus berhasil malam ini, Aku harus berhasil membawa sejumlah uang untuk anak dan istriku.” gumamnya pelan sekali. dalam bayangannya adalah besok dia akan melunasi tunggakan – tunggakan sekolah anak – anaknya dan juga membawa istrinya ke dokter, dia tidak tega mendengar istrinya yang selalu mengeluh sudah beberapa hari ini sakit kepala.

Namun sesampai di lokasi target, dia merasa takut. Takut akan ada orang yang mengenalinya sebagai salah satu wali murid sekolah. termasuk satpam sekolah atau yang lainnya. dia amat takut. Dia harap tidak ada yang mengenalinya, tapi tidak mungkin. hampir semua orang di lingkungan sekolah anaknya itu mengenalnya sebagai seorang yang santun, sederhana, dan berbudi luhur. mereka, orang – orang di lingkungannya itu mengenalnya sebagai salesman yang menjual kacamata, baik kacamata baca, kacamata minus, dll. tidak ada yang menyangka sama sekali, jika dia menyambi profesi lain sebagai seorang pencuri.

Kini dia sudah sampai di jalur yang pas di rumah mewah itu, jalur dimana dia bisa menuju langsung ke tempat pemilik rumah mewah itu menyimpan barang – barang mewahnya. dia tahu dimana biasanya orang kaya menyimpan barang – barang mewah kepunyaannya. dia tahu betul saat itu dia sedang dalam keadaan bahaya, atau dalam keadaan aman. dia sudah jeli dalam kejahatan macam itu, hanya saja hebatnya dia tidak pernah diketahui oleh orang lain mengenai hal itu, bahkan anak dan istrinya sendiri, bahkan menurutnya mereka tidak boleh pernah tahu semua itu.

*

Malam ini tak seperti malam biasanya, biasanya dia tidur di ranjang yang istimewa dan nyaman. biasanya dia tidur dan di sampingnya adalah gadget – gadget favoritnya yang menemaninya dan membuatnya tak pernah terlihat mati gaya. tapi malam ini, dia tidur di kamar tamu yang kadar kemewahannya memang tidak setara dengan kamar pemilik rumah atau anak pemilik rumah, dia menemani salah satu temannya yang hari ini menginap di rumahnya. Temannya itu menginap di sini atas permintaannya karena dia meminta dia mengerjakan tugas individunya.

Temannya itu bukanlah anak yang beruntung secara ekonomi, juga tidak begitu beruntung masalah kecantikan, tapi temannya itu memiliki keberuntungan lebih masalah kecerdasan kognitif, psikomotorik, dan juga afektif. apalagi dia juga memiliki kelebihan lain yakni dalam masalah asmara, dalam masalah asmara temannya itu selalu bisa mengunggulinya, karena temannya itu selalu mempunyai pacar yang bisa dikatakan lumayan kalau dia tidak mau mengakui cowok temannya itu sebagai tampan.

Dia bernama Levina dan temannya yang bukan anak orang kaya itu bernama Dahlia. Keduanya bersahabat akrab sudah sejak lama, meski perbedaan di antara keduanya adalah selebar jurang. meski begitu perbedaan – perbedaan itu tak pernah bisa memisahkan mereka. karena didorong oleh hubungan simbiosis mutualisme, yang berarti hubungan saling menguntungkan di antara keduanya.

Dalam masalah keuangan dan pergaulan, Levina bisa mengangkat harkat dan harga diri dari Dahlia. Dan begitu juga dalam masalah akademis, Levina banyak tergantung dari kebaikan dan kemurahan hati Dahlia. dari situlah bisa ditarik benang merah jika perbedaan yang membentang tak selalu bisa menjadi pemisah dalam sebuah hubungan.

“Aku dengar suara deh, dari belakang.” ucap Dahlia pelan, sepertinya memang sejak tadi dia masih setengah terjaga. tapi sayangnya ucapan Dahlia tadi tak mendapatkan respons dari Levina, Dahlia yang kesal akhirnya menggoyang – goyang tubuh Levina, sekali – dua kali. tetap tidak ada respons. akhirnya Dahlia bangun, tapi rupanya dia sendiri juga mengantuk, dia tak mampu langsung bangun, dia hanya bisa duduk sambil mengucek matanya dengan tangannya.

“Vin...” Dahlia membangunkan Levina sekali lagi, tapi tidak ada respons. dia merasa kesal, dia menuju asal suara itu langsung, tak peduli lagi pada Levina yang sudah tertidur pulas.

*

“Kalau sampai ada yang bangun dan memergoki aksiku saat ini, aku tak akan segan – segan untuk menghabisinya. siapapun dia, dia yang akan kuhabisi.” ucap laki – laki itu dalam hatinya.

Sampai di dalam rumah sang korban, semuanya berjalan secara lancar. tapi ketika dia memasuki dapur basah rumah mewah itu, kakinya terpeleset dan untuk menopang dirinya agar tak jatuh dia berpegangan pada salah satu sisi lemari piring, dan hal itu justru menimbulkan suara piring yang beradu dengan aluminium serta gelas – gelas yang berderak pelan. Dia merasa heran dengan alangkah joroknya dapur rumah mewah itu.

Laki – laki itu merasa sebagai laki – laki paling ceroboh karena ternyata suara denting itu justru benar – benar memancing penghuni rumah untuk keluar kamar. tapi rupanya daripada sang penghuni rumah, laki – laki itu lebih hebat, dia bisa bersembunyi dan justru dalam kondisi bisa menyerang sang penghuni rumah dari belakang, menurut pandangan laki – laki itu, penghuni rumah itu bukanlah majikan atau sang putri majikan, melainkan adalah seorang pembantu atau anak pembantu, dapat dilihat dari pilihan baju tidur yang sangat norak dan tidak menunjukkan kesan “Orang Kaya”.

Laki – laki itu memeluk gadis yang menghampiri dapur basah itu dari belakang, dan laki – laki itu berhasil melukai gadis itu dari belakang  sehingga tanpa perlawanan sama sekali. Gadis itu sangat ketakutan, saking takutnya sampai asma yang dideritanya mendadak kambuh dan menyebabkan dia menjadi takut serta panik secara berlebihan. Sebelum menjadi semakin masalah akhirnya laki – laki itu justru mengeluarkan senjata yang sudah dipersiapkan dari rumahnya.

“Ampun, Ampun...” teriak gadis itu keras – keras.

Namun ajaibnya sampai dua menit berlalu dan akhirnya gadis itu meregang nyawa tak seorangpun yang memberikan jawaban. mungkin penghuni rumah itu, semuanya sedang terlelap dan tak bisa terbangun.

*

Polisi akhirnya berhasil mendatangi rumah itu ketika pagi harinya mendapat laporan dari seorang yang mengaku di rumahnya kemalingan dan malingnya membantai salah satu orang kawannya yang sedang menginap di rumahnya.

Suasana rumah mewah depan sekolah itu ramai sekali, padat oleh masyarakat, polisi, dan banyak pemburu berita. semuanya merasa cukup dikagetkan dengan keberadaan maling, karena setahu mereka semua keamanan lingkungan perumahan itu adalah bagus, stabil, dan jarang ada tindak kejahatan, meski ini bukan yang pertama tapi cukup menggemparkan pasalnya pengamanan komplek itu memang berlapis. yang sayangnya masih juga bisa ditembus penjahat.

Pemilik rumah mengaku kaget dengan kemunculan maling di rumahnya, dia mengaku pada wartawan merasa kecewa dengan pengamanan di kompleknya dan merasa rugi karena membayar jasa para staf keamanan dengan harga lebih dari komplek lain di lingkungannya.

Sedangkan pelapor, yang  tidak lain adalah Levina. Merasa benar – benar terpukul. Dia tidak menyangka jika sahabatnya yang setiap banyak tugas selalu membantunya itu harus bernasib tragis seperti ini. dia merasa harus menuntut keadilan seadil – adilnya, dia harus bisa segera menemukan pelakunya. dengan atau tanpa bantuan pihak kepolisian. dia merasa banyak berhutang budi pada sahabatnya itu.

Sementara itu, perlahan – lahan memorinya mengingat – ingat kata – kata apa yang sekiranya bisa menjadi pertanda “pamitan” dari Dahlia padanya, namun dia tidak menemukan kalimat – kalimat perpisahan apapun. dia semakin membeku, tak percaya akan terjadi kejadian seperti ini.

*

Laki – laki itu tidak bisa mengelak jika akhirnya dia bahagia bukan kepalang karena akhirnya bisa menggondol semua benda bernilai mahal di rumah itu. dia segera menuju tempat penadah barang – barang curian dan penadah itu segera menggantinya dengan uang bergambar Proklamator Indonesia yang banyak jumlahnya.

“Tumben?” tanya laki – laki bertato gambar perempuan berpayung itu. Maksudnya adalah tumben mendapatkan hasil lebih dari biasanya.

“Tumben apa? rejeki anak, Bang.” jawab laki – laki itu polos.

“Kamu sayang banget sama anakmu, jadi ngebayangin juga gimana rasanya punya anak.”

“Makanya, Abang cepat – cepatlah menikah. supaya ada istri di rumah yang nyediain ini itu dan juga ada anak yang bisa menjadi penyemangat hidup.” ujar laki – laki itu merasa paling bijak.

“Sok banget deh, Lo!” balas laki – laki penadah barang curian itu. “Kalo mereka tahu uang yang didapetin Bapak mereka dari nyolong ya pasti mereka nggak akan bersemangat hidup!”

Sesungguhnya iya benar apa yang diucapkan laki – laki penadah barang curian itu, dalam hati sanubari terdalam laki – laki pencuri itu, menyimpan sekeping hati yang hancur, kecewa, dan menyesal, rasa itu mendadak muncul, begitu saja saat bayangan anak dan istrinya muncul seketika. susah untuk dihilangkan. Seindah apapun senyum mereka kelak, itu tiada arti lebih, selain kekecewaan. laki – laki pencuri itu terdiam, dia memejamkan matanya, dia merasa mimpi bahagia, kenapa tiada menjadi nyata dan ada untuknya?

*

Apa yang baru saja dia bawa dari pasar dia hempaskan begitu saja. berupa makanan kesukaan anak dan istrinya, juga kesukaannya sendiri. Yang dibelinya pagi ini adalah hanya berupa makanan, belum lagi barang – barang lain yang selama ini dia idamkan untuk memilikinya. Namun, keinginan untuk memiliki itu sepertinya menjadi prioritas nomor ke sekian, karena pagi ini ada yang jauh lebih mencengangkan dan menakutkan hatinya.

Bagaimana mungkin di rumahnya terpasang bendera berwarna kuning, siapakah yang meninggal? ada perasaan takut ketika salah seorang guru anaknya menyalaminya, salam belasungkawa. tapi untuk apa?

Laki – laki itu masih tidak paham dengan apa yang terjadi sampai akhirnya dia menyeruak masuk memecah kerumunan, dan ketika istrinya menoleh ke arah laki – laki itu dan mata keduanya beradu pandang, laki – laki itu sadar ada yang tidak semestinya terjadi pagi ini.

“Ada apa, Ma?” tanya laki – laki itu pada istrinya.

“Dahlia, Pa. Dahlia.”

“Kenapa dia?” tanya laki – laki itu tidak sabar.

“Dia meninggal dunia, Pa. Papa dari mana saja? kenapa baru datang?”

Seketika bulu kuduk laki – laki itu meremang, dia tidak percaya putrinya akan meninggal semendadak ini.

“Kenapa?”

Istri laki – laki itu menunduk lesu dan mencoba menahan laju air mata yang mulai merembes perlahan. “Dia dibantai sama orang.”

Laki – laki itu tak melanjutkan pembicaraan, dia menolehkan kepalanya pada tamu yang datang, dialah istri dari korban pencuriannya semalam, dia datang disusul dengan putrinya yang tak lain adalah sahabat dekat dari putrinya sendiri, putrinya yang kini terbujur kaku diselimuti kain berwarna putih dan selembar selendang cokelat tua sebagai penutup.

Mamanya Levina mendekati laki – laki itu, dia menundukkan kepala tanda turut merasa sedih dan kehilangan. dia mengucap kata dengan suara lirih pada laki – laki itu. “Menurut keterangan polisi, Semalam ada maling di rumah saya, dan kebetulan kami semua tidak ada yang terbangun sama sekali. dan justru yang terbangun adalah Dahlia. Dia berhadapan langsung dengan orang itu, sialnya ....”

Tangisan laki – laki itu pecah, dia terpukul, siapakah ayah yang tidak terpukul dengan kehilangan anaknya, tapi penyesalan jauh dalam lubuk hatinya, karena penyebab tragedi ini adalah dirinya sendiri, dan dia tak tahu harus berbuat apa, semua salah, bahkan menyerahkan diri pada polisi sekalipun.

Laki – laki itu merasa susah bukan kepalang, ibarat kaca, hatinya pecah berkeping – keping tanpa bisa tersusun kembali menjadi utuh.

SEKIAN ....


Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline