Bojonegoro, 19 Desember 2014
Kepada
Yth. Bapak Kepala Kepolisian Republik Indonesia
Di Jakarta
Akhir - akhir ini pihak POLRI tengah gencar menyelenggarakan Operasi Zebra bagi para pengendara kendaraan bermotor menjelang akhir tahun. Beberapa memang menghasilkan efek positif dengan membuat masyarakat sadar akan ketertiban dan keselamatan berlalu lintas di jalan raya.
Namun masih banyak yang perlu diperhatikan dan dijadikan bahan evaluasi Kepolisian Republik Indonesia. Satu yang perlu dievaluasi terkait tindakan penilangan bagi pelanggar. Soal ini saya ingin berbagi pengalaman yang mungkin juga dialami oleh masyarakat Indonesia lainnya.
Selasa, 9 Desember 2014 lalu saya melakukan perjalanan darat dari Kota Malang, Jawa Timur menuju Kota Solo, Jawa Tengah menggunakan kendaraan roda dua sepeda motor. Pada awal perjalanan ini saya menjumpai operasi zebra yang diselenggarakan gabungan antara Polres Kediri dengan aparat TNI tepatnya di wilayah Purwoasri, Kabupaten Kediri. Di operasi itu saya bisa lolos karena memang memiliki kelengkapan surat - surat, kondisi sepeda motor normal, dan semua berfungsi.
Pada operasi zebra berikutnya, tepatnya di daerah Banaran, Kabupaten Sragen, atau sekitar 200 meter sebelum SPBU Banaran, Kabupaten Sragen sekitar pukul 14.15 WIB. Di operasi zebra ini surat - surat lengkap hanya secara tiba - tiba lampu depan kendaraan saya mati alias sudah waktunya mengganti lampu, bahkan saya sendiri tidak menyadari sejak kapan lampu depan mati karena sejak operasi zebra di Kabupaten Kediri saya tidak mengeceknya, logikanya jika memang lampu itu mati ketika ada operasi di Kabupaten Kediri saya sudah kena tilang di sana.
Hasilnya, karena lampu depan yang mati STNK dan SIM saya dibawa oleh petugas yang memeriksa saya, dibawalah saya ke satu mobil patroli, dimana ternyata sudah ada beberapa pengendara yang terjaring razia, mulai dari tidak memakai helm, tidak menyalakan lampu depan, hingga kelengkapan surat - surat yang kurang. Ketika berada di sana, saya langsung ditawari untuk sidang di Pengadilan Negeri Kabupaten Sragen pada hari Kamis 18 Desember 2014, jam 08.00 WIB atau jika tidak dapat hadir bisa mengganti pembayaran denda tilang senilai Rp 50.000,- saat itu juga, karena saat itu petugas kepolisian tidak menyediakan proses persidangan di tempat. Yang membuat saya terkejut, termyata petugas polisi ini hanya menyediakan surat tilang warna merah saja, ketika saya menanyakan surat tilang warna biru petugas tersebut malah balik berkata "jika tidak mau sidang di pengadilan negeri Sragen bisa dititipkan dengan membayar 50.000".
Menurut perhitungan saya, di hari persidangan Kamis, 18 Desember 2014 jam 08.00 di Pengadilan Negeri Sragen saya tidak mungkin dapat hadir. Faktor pertama tentu karena saya domisili jauh dari Sragen, kedua efisiensi waktu tempuh, serta ketiga efisiensi jarak tempuh. Setelah berdebat panjang dengan salah satu petugas di mobil patroli yang saya sendiri lupa tidak melihat namanya, saya akhirnya memutuskan untuk membayar denda saat itu juga senilai Rp 50.000,-. Saya coba tanyakan kembali setelah pembayaran denda di tempat itu, apa tidak ada bukti pembayaran yang entah itu surat atau kwitansi resmi, petugas itu kembali menyatakan kalau ingin dapat silakan bisa sidang di Pengadilan Negeri Sragen.
Kasus yang saya alami tersebut tampaknya membuat saya curiga, dengan asumsi pada satu operasi kepolisian ada 15 kendaraan bermotor yang terkena tilang, 7 memilih mengikuti persidangan dan membayar denda di persidangan, 8 lainnya memilih untuk menitipkan persidangan dengan membayar sejumlah uang yang dikatakan petugas sebagai denda tilang. Permasalahannya jika 8 pengendara ini tidak dapat bukti pelanggaran atau bahkan petugas tidak memasukkan ke berita acara operasi dengan sejumlah uang yang dibayarkan pengendara, bisa diindikasikan kuat uang - uang yang dikatakan petugas polisi sebagai denda tersebut akan masuk ke kantong - kantong pribadi petugas kepolisian yang melakukan operasi itu sendiri.