Lihat ke Halaman Asli

I Didn't Even Call 911

Diperbarui: 17 Juni 2015   09:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Rasa-rasanya kemarin aku bercerita tentang hidupku yang melodrama. Kamu tertawa lalu mengatakan tenang saja dan terima. Kamu yang sepertinya tahu aku tidak bisa menerima konsep tenang tanpa minimal, suatu quote yang meyakinkan, bilang :’Sosiologis saja, namanya Erving Goffman, memang punya konsep tentang hidup kita adalah dramaturgi. Tinggalkan role di front stage lo dan lo bisa lebih tenang. Life is a drama and your next homework is to spare the melancholy

‘Semua orang bilang, the show must go on. Jadi, nurutin kata-kata lo, the show still fucking going on but I am just the one that is changing role. Lebih baik menjadi protagonist di belakang layar dan membenahi segala sesuatu yang ada. Am I correct?’ ujarku.

Not exactly correct, but you’ve got the point, ujarmu. Senyummu mengambang, ada sisa hangat disana. Off the stage-ku adalah seseorang yang suka mengeluh ironis, dan berlari padamu sepertinya kita dapat menertawakan ironi itu bersama-sama. Seperti bagaimana pada akhirnya kita berdua setuju, solusi terbaik menjadi seorang melankolis yang tak bisa aku lepaskan adalah menulis sesuatu yang produktif. Seperti bagaimana seorang Taylor Swift membuat lagu-lagu top hit dari past relationships-nya.

“The feature that I like most about you….lo ga takut buat nyatain perasaan lo. Entahlah, mungkin lo bukan tipe cewek yang menahan gengsi ya, tapi what I’ve learned, lo melakukan sesuatu karena lo menghargai momen itu terjadi pada detik itu juga. Lo mencoba living in the moment daripada menunggu-nunggu besok, atau masa depan, which is uncertain. Kebanyakan orang gak mencoba living in the moment.’

‘Apa jadinya kalau seorang gue yang lo kenal ini jadi orang yang gak living in the moment?’

‘Gue tau lo dan menurut gue, jatohnya lo bakal jadi tipikal orang yang hopeless romantic abis. Romantis tapi sedihnya, hopeless. Entah karena tidak ada harapan atau lo nya gak mau bergerak. Menurut gue, it’s good to be a romantic hopeless so then you’ll be more literate than ever’

‘Eh tapi bukannya kalau gue lagi bikin puisi gue being a romantic hopeless? It’s a good feature kalo kata gue.’

‘Yes, but the bad feature itself…emang lo mau menjalani kehidupan yang romantic hopeless seperti itu?’

‘So I’ll just have to keep being romantic and spare the melancholy thing unless I’m writing a poem, isn’t that what you trying between all these sudden enlightening conversation?’

‘Yes. That’s nonsense but I think that is better for you. Lo cape. Belajar. Ngejar target hidup lo. Liat itu kantong mata...’

Aku mengambil pouch kosmetikku dan melihatnya. Ouch, these eyebags are huge…

Kamu menaikkan alismu dan memasang tampang konyol, yang aku artikan : Am I right all this time?

Kamu meremas pundakku ringan dan berbisik, ‘So let yourself relax a little bit.’

**

‘So let yourself relax a little bit,’

Sebuah post-it kuning di sebuah bingkisan bertuliskan kata-kata yang akrab di telingaku kira-kira empat hari yang lalu.

Sebuah audiophile CD Olivia Ong, penyanyi bossanova yang tak bosan-bosannya aku dengar.

Thank you very much.

But this charming self in the taste of bossanova songs and stuff.

Suddenly rescuing…Who are you? I didn’t even call 911.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline