Lihat ke Halaman Asli

Avim DwiWiranata

Mahasiswa S1 Hubungan Internasional di Universitas Airlangga

Mengenal Delik Viral, Cara Alternatif Menegakkan Hukum ala Warganet Indonesia

Diperbarui: 14 Juni 2022   23:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Beberapa tahun belakangan, banyak sekali perkara kriminal yang diproses oleh aparat penegak hukum ketika perkara tersebut viral atau menjadi pusat perhatian sehingga dibicarakan oleh banyak orang di media sosial. Beberapa di antaranya adalah ditanganinya kembali kasus kekerasan seksual pada anak yang dilakukan oleh Ayahnya di Luwu Timur, Sulawesi Selatan hingga  pelecehan menahun yang dialami oleh pekerja Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Hal tersebut kemudian memicu naiknya tanda pagar (tagar) #PercumaLaporPolisi yang menunjukkan kemarahan masyarakat akan kurang kompetennya aparat kepolisian dalam menangani suatu kasus kriminal. Selain kasus kriminal yang salah secara hukum, tindakan memviralkan sesuatu juga kerap kali dilakukan masyarakat untuk menyebarkan justifikasi atas cancel culture—boikot—yang dilakukan kepada seseorang karena tindakannya yang dinilai salah secara nilai atau norma sosial yang berlaku. Beberapa di antaranya adalah kasus dugaan queerbaiting yang dilakukan oleh artis, seperti Jefri Nichol dan perundungan yang dilakukan oleh Kim Garam.

Apa itu delik viral?

Secara sederhana, delik viral atau viral-based justice adalah suatu delik aduan yang dilakukan dengan dengan menjadikan suatu kasus sebagai pusat perbincangan masyarakat. Umumnya, delik viral dilakukan melalui media sosial dengan tujuan untuk mendapatkan perhatian aparat penegak hukum atau masyarakat umum supaya kasus yang sedang dibicarakan dapat segera diusut dan terduga korban mendapatkan keadilannya. Adapun fenomena delik viral ini muncul karena sistem peradilan dan aparat penegak hukum yang tak bisa dimungkiri memang kurang dapat diandalkan. Hal tersebut didukung dengan fakta-fakta yang menunjukkan banyaknya kasus yang tidak terselesaikan, terlewatkan, bahkan terabaikan. Banyak juga kasus-kasus yang ditindak secara kurang adil dan lebih memihak kepada mereka yang memiliki uang lebih dan koneksi yang luas. Misalnya, kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh Bripda Randy Bagus Sasongko, anggota Polres Mojokerto kepada korbanya, mendiang mahasiswi di Jawa Timur. Dengan demikian, hadirnya fenomena delik viral juga turut memberi harapan dan kesempatan akan tercapainya keadilan bagi korban yang tidak memiliki uang ataupun koneksi.

Permasalahan delik viral

Terlepas dari segi positifnya dalam memberikan kesempatan bagi korban yang tak memiliki hak istimewa (unprivileged victim), dalam hierarki yang berbeda, delik viral juga memiliki permasalahan ketimpangannya sendiri. Hal tersebut dikarenakan fenomena ini tidak serta merta diikuti dengan pemikiran kritis warganet di media sosial. Akibatnya, seringkali ketika terdapat seorang terduga korban ataupun orang terdekat korban yang speak up atau mengungkap tindakan seorang terduga pelaku, masyarakat cenderung langsung memercayainya tanpa melihat validitas bukti dan mengecek hukum yang berlaku. Hal ini dapat menimbulkan dampak buruk bagi terduga pelaku yang ternyata terbukti tak bersalah di kemudian hari. Terduga pelaku akan menerima ujaran-ujaran kebencian, perundungan, hingga ancaman dari masyarakat yang dapat berujung pada boikot dan pengucilan atas suatu tuduhan yang belum terbukti benar.

Hal tersebut lantas akan menimbulkan ketimpangan dalam proses hukum. Seringkali terduga pelaku dari suatu kasus yang viral tidak memiliki kesempatan yang sama dengan terduga korban untuk turut serta menuturkan cerita dari sudut pandangnya dikarenakan masyarakat sudah melabelinya sebagai pelaku yang sepenuhnya salah. Dengan demikian, pada akhirnya sistem delik viral dan sistem tradisional akan sama saja. Jika pada sistem tradisional, mereka yang memiliki uang dan koneksi akan cenderung menang, maka pada sistem delik viral, mereka yang speak up paling awal atau memiliki keterampilan dalam menyusun tulisannya akan cenderung menjadi pemenang. Hal ini dapat dilihat pada kasus tuduhan pengeroyokan dan perundungan yang sempat menghebohkan media sosial Indonesia pada tahun 2019 lalu, yakni kasus #JusticeForAudrey.  Pada awalnya, kasus tersebut dapat menyetir simpati publik terhadap korban serta menyulut kemarahan yang ditujukan kepada terduga pelaku. Akan tetapi, seiring investigasi kasus tersebut, hasil bukti visum mengatakan bahwa dugaan pengeroyokan tidaklah benar. Hal tersebut menunjukkan bahwa terduga pelaku atas tuduhan pengeroyokan dan perundungan Audrey menjadi tak bersalah sekaligus membuat validitas kasus Audrey dipertanyakan.

Solusi

Kendati terdapat hak terduga pelaku yang perlu dilindungi, bukan berarti setiap terduga korban yang speak up adalah pembohong. Tentu saja delik viral masih menjadi cara yang efektif untuk mendapatkan perhatian aparat penegak hukum dan terduga korban pun juga tetap memiliki hak untuk mendapatkan perlindungan dan asistensi menuju fasilitas hukum. Akan tetapi, sikap masyarakat tak seharusnya memojokkan salah satu pihak sebelum hasil final persidangan dikeluarkan. Alih-alih menuntut untuk langsung menghukum, ketika terdapat terduga korban yang melakukan publikasi suatu kasus, masyarakat seharusnya mendorong pengusutan bukti dan investigasi kasus oleh aparat penegak hukum supaya menjadi lebih intensif dan dapat menjumpai hasil akhir yang valid. Dengan demikian, hak untuk didengar terduga korban ataupun terduga pelaku dapat dilindungi dengan seimbang.

Sayangnya, mengubah pola perilaku masyarakat bukanlah hal yang mudah, jika ketimpangan dalam eksekusi delik viral masih terus berlanjut, maka berbagai macam  skenario buruk dapat terjadi di kemudian hari. Salah satunya adalah pemanfaatan delik viral oleh mereka yang memiliki niat jahat untuk mendapatkan suara dan dukungan rakyat  dengan cara memviralkan sesuatu yang sama sekali tak benar. Pihak-pihak tersebut dapat memanfaatkan fakta bahwa delik viral atau viral-based justice yang bukanlah evidence-based justice dan tidak selalu diikuti dengan pemikiran kritis oleh masyarakat yang menjadi sasarannya. Oleh karena itu, diperlukan usaha bersama, baik dari masyarakat maupun pemerintah untuk menciptakan kultur  sistem peradilan di Indonesia menjadi evidence-based justice, bukan viral-based justice maupun money/connection-based justice.


Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline