Lihat ke Halaman Asli

Harmoni dan Kambing Hitam

Diperbarui: 26 Juni 2015   11:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

"kita harus hidup yang menurut tuhan itu baik," kata seorang teman. lantas siapa yang menentukan mana hidup yang baik menurut tuhan dan mana hidup yang tidak baik menurut tuhan? saya pun bertanya, "apa kamu sudah berkonsultasi langsung dengan tuhan untuk menanyakan apakah hidup yang kalian jalani sudah baik menurut tuhan?"

jadi gimana sih taunya hidup anda itu baik menurut tuhan?


tuhan boleh jadi telah berupaya memberitahukan kepada manusia tentang "apa yang baik" dan "apa yang buruk" untuk manusia yang hidup di dunia ini. sebab setelah menempuh dunia ini, bukan lagi urusan manusia sepenuhnya.tapi sudah jadi bagian urusan tuhan semata: ada yang yakin setelah mati ada hidup kekal. dan ada yang masa bodoh: setelah mati mau apa.

tapi dalam perkara mengomunikasikan soal "apa yang baik" dan "apa yang tidak baik" buat manusia di dunia ini, tak sekali pun tuhan memberikan bimbingan langsung kepada manusia kebanyakan -kecuali melalui malaikat yang membimbing para nabi. padahal nabi sudah tidak ada lagi. jadi kepada siapa manusia perlu mendapatkan pengetahuan tentang "apa yang baik" dan "apa yang buruk" dalam hidup ini.

jika ada yang meyakini antromorpisme tuhan, ya, itu juga termasuk dalam bagian pertanyaan ini: siapakah yang menentukan "hidup yang baik" dan "hidup yang buruk." nah, di masyarakat manusia ini beragam sekali konsepsi tentang tuhan dan ajaranNya. bahkan masing-masing bisa berbeda-beda secara sangat tajam.

lantas bagaimanakah menentukan "hidup yang baik dan "hidup yang buruk" dalam konteks bermasyarakat yang tentunya beragam latar belakang: suku, agama, dan ras. termasuk pendidikan dan kecerdasannya.

harmoni kehidupan

di sejumlah masyarakat ada yang beranggapan "harmoni kehidupan" itu sudah tercapai. karena ulah manusia sajalah, "harmoni kehidupan itu tercabik-cabik. dalam pandangan ini -yang menganggap harmoni kehidupan sudah ada lebih dulu- manusia tinggal menjalani yang sudah ada dan tak usah berpolah macam-macam. manut saja dengan yang sudah dijalankan secara turun-menurun. bahkan perubahan jaman pun tampaknya tak mengubah pandangan soal "harmoni kehidupan."

di masyarakat yang mengaggap "harmoni kehiduoan" telah selesai sebagaimana telah inheren ketika manusia diturunkan ke dunia, maka selalu saja terjadi saling tuding tentang perusak harmoni kehidupan itu. tidak ada upaya untuk menelaah kembali apa benar "harmoni kehidupan" itu telah tercapai? kapan dan di mana? kalau itu terjadi lima belas abad lalu dan di masyarakat yang berbeda dengan indonesia, apa hal itu mesti terjadi juga sekarang ini?

masyarakat macam ini selalu mencari "kambing hitam"? serta berupaya menelikung kaidah nilai, norma, dan hukum dalam kehidupan bersama.


sementara sejumlah masyarakat lainnya beranggapan "harmoni kehidupan" itu sesuatu yang terus-menerus harus dicapai oleh manusia. anggapan ini tentu kebalikan dari satunya. mereka yang menganggap "harmoni kehidupan" harus terus-menerus digapai akan secara berkesinambungan melongok batasan tentang "mana yang baik" dan "mana yang buruk." sebab manusia dan hidup terus berubah, maka "harmoni kehidupan" pun tidak stagnan. tidak berhenti dalam kekangan waktu.

di masyarakat yang menganggap "harmoni kehidupan" harus terus-menerus diupayakan, maka setiap anggota masyarakat selalu sadar untuk terus-menerus mengembangkan diri sesuai dengan perubahan. bahkan nilai, norma, dan pranata hukum menjadi dinamis. pertengkaran tidak dimulai dengan mencari "kambing hitam" namun bermuara kepada solusi yang bisa menjadi pegangan bersama.


masyarakat macam ini cenderung menghormati kaidah nilai, norma, dan hukum dalam kehidupan bersama.
Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline