Masih teringat memori puluhan tahun lalu, ketika duduk di bangku sekolah dasar dan melakukan karyawisata ke museum. Instruksi guru waktu itu adalah bawa buku dan catat apa kata pemandu. Museumnya remang-remang dan suara pemandu terdengar sayup-sayup, tidak jauh berbeda seperti guru di ruang kelas yang sedang memberikan informasi demi informasi satu arah. Sama sekali bukan memori yang berkesan.
Sepertinya keengganan untuk berkunjung ke museum juga dirasakan oleh banyak pihak karena menurut Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Hilmar Farid, hanya sekitar 15 persen dari total sekitar 400 museum di Indonesia yang berhasil menarik minat pengunjung (Kompas, 29/8/2018). Lebih jauh lagi, Menteri Kebudayaan dan Pariwisata pada Februari 2010, pernah menyatakan bahwa 90 persen museum belum layak kunjung (Kompas, 18/2/2010).
Cara padang saya mengenai museum ini pun berubah ketika menginjakkan kaki di negeri Paman Sam sebagai seorang mahasiswi pascasarjana. Museum tidak lagi tempat yang membosankan, namun tempat yang penuh daya tarik dan menyenangkan untuk belajar. Setidaknya terdapat dua faktor yang menyebabkan hal tersebut.
Pertama, adalah pengaplikasian lingkungan belajar kontemporer yang cerdas atau Contemporary Smart Learning Environment (SLE). SLE adalah lingkungan belajar yang mengimplementasikan solusi kecerdasan buatan (Artificial Intellegence) dan menggunakan pendekatan dan teknik pedagogis yang sedang berkembang.
Pada umumnya pengunjung dapat mengambil paket eksplorasi mandiri di museum sehingga dapat belajar dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan pemantik dari buku panduan sambil mengeksplorasi beberapa pameran interaktif. Salah satu contoh panduan kunjungan bagi keluarga yang komprehensif adalah buku panduan The Metropolitan Museum of Art New York yang dapat diakses pada laman mereka.
Faktor kedua adalah usaha museum untuk membangun konektivitas dengan pengunjungnya dengan cara menggunakan dialog dan pameran yang menggunakan konsep solusi artistik yang inovatif serta menghubungkan dengan nilai estetika, perasaan, dan pengalaman. Tidak jarang pengunjung dilibatkan dengan konsep bercerita atau storytelling sehingga bisa merasakan berada di posisi orang-orang yang hidup di era tersebut, seperti yang dilakukan di United States Holocaust Memorial Museum di Washington DC.
Ketika kembali ke Indonesia, ada keinginan untuk menjadikan museum sebagai tempat belajar yang menyenangkan sekaligus ruang perjumpaan bagi generasi muda dari berbagai latar belakang untuk belajar, bertemu, berteman, dan berbagi. Hal ini didukung oleh pernyataaan Direktur Jenderal Kebudayaan Hilmar Farid dalam sambutannya pada pembukaan pekan peringatan Hari Museum Nasional 2019.
Hilmar menyatakan bahwa, "berbagai budaya dan kearifan masa lalu bisa kita temukan di sana (museum). Di samping itu, museum juga merupakan ruang publik dalam pemajuan kebudayaan, tempat bertemunya masyarakat dari berbagai latar belakang." Kemendikbudristek menyatakan jumlah museum yang tercatat di Indonesia adalah sebanyak 439 museum. Jika setiap museum tersebut dapat menjadi ruang perjumpaan dan sarana edukasi serta pemajuan budaya yang efektif, maka generasi muda Indonesia akan diperlengkapi untuk mencintai sejarah, budaya, serta kebhinekaan bangsanya.
Hal tersebut dapat dirasakan dengan nyata ketika museum-museum di Jakarta, sampai dengan tahun 2020 sebelum pandemi COVID-19, menyediakan ruang-ruang serbagunanya untuk digunakan oleh berbagai Organisasi masyarakat Sipil (OMS) sebagai wadah untuk berkegiatan dan menjadi ruang perjumpaan dengan dengan peserta dari berbagai latar belakang. Namun, di tahun 2021 terjadi proses perubahan status kelembagaan museum di bawah Ditjen Kebudayaan dari Unit Pelayanan Teknis (UPT) menjadi Badan Layanan Umum (BLU) yang membawa tantangan baru.
Terlepas dari niat baik untuk meningkatkan kompetensi pegawai dan kualitas layanan karena dikelola secara fleksibel, namun memiliki dampak sampingan yang dapat mengurangi fungsi museum sebagai ruang perjumpaan. Dengan BLU, museum dapat mengupayakan pendapatannya sendiri, salah satunya dengan menyewakan ruang serbaguna museum. Hal ini menyebabkan OMS kesulitan untuk menyelenggarakan kegiatan edukatif di museum, karena jika semula dapat berkegiatan dengan cuma-cuma dengan mengajukan proposal, maka sekarang harus membayar dengan jumlah yang tidak sedikit untuk menggunakan ruang serbaguna museum.