Lihat ke Halaman Asli

steven kambey

Tulisan adalah kata yang abadi

Implementasi Trilogi Prinsip Polluter Pay, Negligence, dan Strict Liability

Diperbarui: 5 Juni 2017   09:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dok.pribadi

Pada Tahun 1972 Konferensi PBB tentang Lingkungan Manusia di Stockholm, Swedia telah melahirkan Deklarasi yang menempatkan lingkungan hidup sebagai unsur penting dan utama dalam konsep pembangunan yang dilakukan manusia. Sebelumnya,  di bulan Mei Tahun 1972 negara-negara anggota The Organization for Economic Cooperation and Development  (OECD) telah melakukan konsili  dengan  rekomendasi  yang dihasilkan  yaitu Guiding Principles concerning the international economic aspects of environmental policies, rekomendasi ini memperkenalkan polutter pays principles sebagai satu di antara asasnya.

Transformasi paradigma pembangunan dari antroposentris menuju kepada ekosentris merupakan pergerakan global dan telah menempatkan Indonesia di antara arak-arakan negara yang menganut prinsip-prinsip sustainable development dengan jargon terbarunya “the future we want”. Ratifikasi  terhadap  konvensi  Stockholm  telah dimulai sejak di tetapkannya Undang-Undang No. 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan  Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup. Ratifikasi ini  sebagai lonceng penanda dimulakannya pergeseran bandul yang bergerak mendekati kepentingan ekologis yang saat ini telah melewati rezim Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dan masuk ke dalam rezim Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Implementasi rezim Perundang-undangan terakhir agaknya telah menstimulasi terciptanya kondisi stabilitas yang baru dalam konteks interaksi antara trias pilar (pemerintah, koorporasi dan masyarakat) serta pihak-pihak terkait dalam pengelolaan lingkungan hidup. Dorongan menuju stabilitas baru sebagai babak lanjutan dari urgensitas reposisi paradigma ekosistem dinilai sebagai instabilitas bagi kalangan pengusaha. Pihak koorporasi yang adalah badan hukum, bahkan menganggap telah terjadi pelanggaran hak konstitusional terhadap penegakan hukum lingkungan perdata yang dilakukan oleh pemerintah  sehingga melakukan  judicial review  terhadap beberapa pasal dalam UU PPLH 2009 dan UU Kehutanan 1999. 

Permohonan  judicial review  yang diajukan oleh Asosiasi Pengusaha Hutan di Indonesia (APHI) dan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit di Indonesia (GAPKI) kepada Mahkamah Konstitusi RI dalam rangka Pengujian Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Pasal 69 ayat (2), Pasal 88, dan Pasal 99 dan Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan  (Pasal 49) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 28 D.

Sehubungan dengan hal itu, semua pihak perlu mempersiapkan sebanyak mungkin pertimbangan dalam menanggapi uji materi tersebut agar ditemukan kebenaran-kebenaran komprehensif sebagai dasar pernyataan sikap pemerintah. Bukankah sejatinya kebenaran telah terbagi-bagi ke dalam pikiran banyak orang? karenanya, untuk menemukan kebenaran yang seutuhnya perlu mengumpulkan dan mengkontruksikan kembali  kepingan puzzle yang tercerai itu.

Materi Judicial Review

Pemohon,  dalam hal ini yang merupakan asosiasi yang mewakili pengusaha hutan dan pengusaha kepala sawit merasa dirugikan dengan keberadaan pasal-pasal yang dimohonkan, antara lain :(1)

  • Pertama kearifan lokal yang dimaksud dalam UU PPLH 2009 Pasal 69, menurut pemohon, ketentuan ini adalah melakukan pembakaran lahan dengan luas lahan maksimal dua hektare per kepala keluarga untuk ditanami tanaman jenis varietas lokal dan dikelilingi  oleh  sekat bakar sebagai pencegah penjalaran  api ke wilayah sekelilingnya.  Pemohon dalam hal ini mempermasalahkan masih dibolehkannya    pembakaran hutan yang dilakukan oleh pihak-pihak lain dan nanti dikaitkan dengan permohonan pasal-pasal berikutnya, kalau pembakaran tersebut kemudian meluas dan kemudian menyebabkan kerugian atau kemudian menyebabkan pencemaran lingkungan, maka Pemohon anggota asosiasi Pemohon ini yang harus bertanggung jawab, yaitu mereka yang pemegang konsesi. Tujuan dari permohonan ini adalah agar  menghapuskan ketentuan masih dibolehkannya pembakaran hutan, sehingga tujuan dari permohonan ini adalah tidak ada ruang bagi pembakaran hutan baik oleh pemegang konsesi maupun oleh orang-orang yang kebetulan berada di wilayah konsesi tersebut.  
  • Kemudian yang kedua terkait bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan  (strict liability)  dalam  UU PPLH 2009  Pasal 88 dan terkait atau sama dengan UU Kehutanan 1999 Pasal 49. Menurut pemohon, seharusnya  siapa yang berbuat, dia yang bertanggung jawab. Tapi dengan doktrin ini   memungkinkan Pemohon yang merupakan wadah asosiasi-asosiasi pengusaha itu bertanggung jawab terhadap perbuatan-perbuatan yang tidak dilakukan. Jadi kalau ada  fenomena  sebagaimana disebutkan ini,  perkara apakah itu dilakukan oleh Pemohon atau pihak lain, yang jelas pemegang konsesi harus bertanggung jawab.  
  • Berikutnya adalah  unsur kelalaian  (negligence)  dalam UU PPLH 2009  Pasal 99,  Sebagai contoh misalnya kebakaran hutan, sering sekali yang namanya api itu belum tentu berasal dari kegiatan yang dilakukan pihak Pemohon karena memang Pemohon dalam hal ini secara strict dilarang untuk melakukan pembakaran hutan kecuali oleh masyarakat yang tadi kami sebutkan. Lalu kemudian terjadi kebakaran  hutan, sumber api bisa saja karena musim kemarau panjang, bisa saja kemudian dari sumber di luar wilayah konsesi  yang kebetulan menyeberang ke wilayah konsesi. Nah, dengan pertanggungjawaban strict liability tadi maka tanpa pembuktian Pemohon harus bertanggung jawab terhadap kerugian-kerugian yang timbul.  

Trilogi Prinsip Polluter Pay, Negligence, dan Strict Liability

Prinsip ke-21  dari Deklarasi Lingkungan Hidup PBB di Stockholm pada tahun 1972 berbunyi “state have, in accordance with the charter of the United Nation and the principles of International law, the sovereign rights to exploit their own resources pursuant to their own environmental policies, and the responsibility to ensure that activities within their juridiction or control do not cause damage to the environment of other state or of areas beyond the limits of national jurisdiction”,  prinsip ini menegaskan kedaulatan masing-masing negara terhadap pengelolaan sumber daya alam sekaligus menempatkan negara sebagai penanggungjawab pengelolaan lingkungannya, yang dapat diartikan juga bahwa negara bertanggungjawab terhadap hal untuk mencegah dan apabila terjadi pencemaran dalam wilayah hukumnya.(2) 

Sebagai pihak yang pertama kali memperkenalkan polluter pays principle, OECD Pada bulan Mei 2007, menjadikan Indonesia bersama dengan negara Brazil, India, China dan Afrika Selatan  sebagai  “Mitra Utama”  untuk melaksanakan program-programnya  dan mendorong prinsip ini  kemudian  diadopsi ke dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2009  tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Pasal 2 Huruf j dengan asas “pencemar membayar”  dan  dengan  penjelasan bahwa yang dimaksud dengan “asas pencemar membayar” adalah bahwa setiap penanggung jawab yang usaha dan/atau kegiatannya menimbulkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup wajib menanggung biaya pemulihan lingkungan.  

Prinsip  negligence  adalah Pencemar bertanggungjawab jika tidak optimal mengambil langkah-langkah pencegahan (optimal care)  (bandingkan Pasal 99 UU PPLH 2009), sehingga calon pencemar yang rasional akan mengambil langkah optimal sepanjang biaya-biaya ganti rugi lebih besar dari pada biaya pencegahan optimal.  

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline