Lihat ke Halaman Asli

steven kambey

Tulisan adalah kata yang abadi

Macan, Garuda vs Banteng... Waspadai "Serigala"

Diperbarui: 23 Juni 2015   21:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kisah ini diawali ribuan tahun yang lalu dan terpatri kuat dalam sejarah umat manusia, saat adam sebagai manusia pertama melawan perintah Tuhan, ... dia hadir disana, saat peristiwa pembunuhan manusia pertama, kain membunuh saudaranya habel, ... diapun hadir disana...

Hasrat itu... hasrat yang membuat menggoda manusia untuk merasa lebih dari adanya, hasrat yang berujung kepada

Homo homini lupus .......

Sebuah kalimat yang saat ini telah samar terdengar namun  selalu hadir dalam setiap aspek kehidupan manusia, dia hadir dalam komunitas sekecil apapun, bahkan kehadirannya begitu eksis didalam sendi kehidupan bernegara namun bersembunyi dibalik statement-statement yang santun dan cerdas. Dia bersembunyi dibalik wajah-wajah ceria dan sikap yang wibawa....

Dia adalah invalid yang memiliki seribu wajah dan sejuta perangai....

“dia” adalah sifat dan bukan sikap apalagi tutur kata. Karena itu manusia tidak dapat melihatnya melainkan selalu dapat merasakannya.

Homo Homini Lupus adalah sebuah kalimat yang diutarakan Titus Maccius Plautus (195 BC) (lupus est homo homini). Kalimat yang menggambarkan hasrat manusia untuk memiliki kekuasaan terhadap sesamanya yang melahirkan sifat “memangsa” bagi siapapun yang tidak mampu mengendalikannya.

Sifat ini konon diturunkan oleh nenek moyang manusia yaitu Adam. Godaan keinginan untuk menjadi serupa dengan penciptanya membawa Adam dalam situasi tak terkendali... kekuasaan untuk mengelola bumi dianggap belum cukup tanpa pengetahuan yang penuh dan kehidupan abadi yang notabene adalah membuat diri serupa dengan Sang Pencipta.

Anak-anak sang adam-pun tak kuasa untuk mengendalikannya. Atas nama cemburu, Kain melampiaskan hasrat berkuasa untuk menjadikannya satu-satunya perhatian dengan membunuh Habel saudaranya. Demikianlah hasrat “berkuasa” ini melanglang buana dalam kehidupan umat manusia hingga zaman ini.

Setiap hari dalam pergaulan seringkali tanpa sadar kita menyaksikan situasi saling memangsa tanpa peduli atau mengerti apalagi berniat mencegahnya.

Seorang anak kecil menangis sekeras-kerasnya hanya untuk menarik perhatian ibunya untuk membelanya karena mainan yang sedang dipegangnya diambil kembali oleh anak lain yang punya.

Sungguh, hasrat ini sudah ada sejak kecil bahkan mungkin sejak dikandung pada rahim ibu tercinta.

Dewasa ini hasrat ini telah bertransformasi dengan melahirkan antara lain hal-hal yang bersifat egosentris, intoleran, diskriminasi dan monopoli serta dominasi individu terhadap manusia lainnya.

Setidak-tidaknya terdapat tiga hal sebagai penyebab yang mengiringi hasrat ini yaitu :

-Perasaan kekuatiran yang berlebihan yang menjurus kepada rasa terancamnya keadaan individu terhadap keberadaan orang lain yang ditandai dengan rasa curiga, kuatir yang tidak berdasar dan diluar logika yang sehat.

-Perasaan haus akan kemenangan, suatu kepuasan yang tidak terkendali sehingga memunculkan sikap haus kekuasaan yang kental untuk digunakan sebebas-bebas melakukan kehendaknya terhadap orang lain.

-Perasaan bawah sadar manusia yang berujung ingin menjadi tuhan atas diri sendiri lebih lagi menjadi tuhan atas sesamanya.

Hal-hal tersebut memupuk kebencian dan membentuk sifat yang “memangsa” bagi seorang manusia. Dengan sifat ini, manusia memandang sesamanya hanya sebagi saingan yang harus dikalahkan didalam kehidupan ini. Tidak ada lagi ketulusan yang dibangun untuk saling memahami sebagai sesama mahluk, yang ada tinggal sifat menguasai yang dikemas dalam berbagai cara, mulai dari yang sangat nampak, samar-samar sampai yang seakan-akan ditampakkan sebaliknya.

Marilah bersama-sama kita mengkaji sifat tersebut :

Hubungan antar Individu

“Manusia pada dasarnya Individualistis” menurut Epicurus (342-271 SM), afiliasi apapun dari manusia pada prinsipnya adalah kepentingan-kepentingan perorangan. Sifat ini melahirkan sikap proteksi terhadap gangguan apapun terhadap dirinya dan sebagian melakukan proteksi keluar dirinya untuk mengantisipasi ancaman dengan jalan menghilangkannya.

Dimasa jauh sebelum itu, para filsuf Ionia aliran Naturalis ( abad 6 SM) dalam kosmologi alamiah pernah melahirkan pandangan bahwa kekuatan merupakan inti dari alam. Manusia sebagai bagian dari alam, tidak lepas dari kodrat tersebut. Bahkan manusia mewarisi kualitas “Dionysian” bawaan yang cenderung liar, menerima kekejaman, dan siap menghadapi nasib yang ditimpakan kepadanya.

Sejalan dengan itu, Thomas Hobbes (1588-1679) menyatakan bahwa manusia sejak zaman purbakala dikuasai oleh nafsu-nafsu alamiah untuk memperjuangkan kepentingannya sendiri tanpa mempertimbangkan adil atau tidak adil. Dalam keadaan itu, terjadilah bellum omnium contra omnes dimana setiap orang selalu memperlihatkan keinginannya yang sungguh egoistis.

Demikian pula saat mengamati kehidupan manusia dizamannya, ratusan tahun kemudian Jeremy Bentham (1748-1832) mewakili kaum individualis utilitarianism berpendapat bahwa kebahagiaan adalah tujuan hidup, kebahagiaan dicapai dengan meningkatkan rasa senang dan bahagia serta mengurangi rasa sakit dan derita dari kehidupan seseorang. Keadilan diukur melalui pencapaian kesenangan yang sebesar-besarnya bagi individu dan manusia diberikan seluas-luasnya berpikir dan bertindak untuk menggapai kondisi individu yang ideal menurut ukuran umum kebahagiaan.

Teori-teori tersebut didasari atas pengamatan mendalam terhadap berjalannya kehidupan antar manusia sepanjang sejarah. Teori tersebut menggambarkan “bagaimana” manusia dalam menata hidupnya dengan sesama dan bukan “seharusnya”.

Menelisik berbagai pandangan diatas, terlihat dengan jelas bahwa “Manusia adalah mahluk yang Invidualistis, cenderung liar dalam menunjukkan eksistensinya yang selalu berharap akan kebahagiaan dengan mengurangi rasa sakit/derita serta meningkatkan rasa senang/bahagia bagi dirinya. Manusia sepanjang sejarah dibawa dalam situasi yang hedonistik dengan memaksa tiap individu untuk berjuang dengan keras dalam meraih segenggam kebahagian dan pada akhirnya lupa dengan moral dan etika tetapi juga sekaligus secara tidak sadar selalu memberi ruang yang besar bagi sifat menguasai bahkan memangsa.

Homo Homini Socius

Adalah Nicolaus Driyarkara (19131967) yang membangun ajaran tersebut berangkat dari keprihatinan terhadap tata sosial masyarakat yang cenderung memangsa sesamanya. Ajaran pokok Driyarkara yaitu "manusia adalah kawan bagi sesama". Manusia adalah rekan atau teman bagi sesamanya di dunia sosialitas ini (homo homini socius). Pikiranhomo homini sociusini ditaruh untuk mengkritik, mengoreksi, dan memperbaiki sosialitaspreman; sosialitas yang saling mengerkah, memangsa, dan saling membenci dalamhomo homini lupus(manusia adalah serigala bagi sesamanya).

Realita bahwa manusia adalah mahluk yang secara normal hidup berdampingan dengan sesamanya menjadikannya sebagai mahluk yang sosialis dan menggantungkan kelangsungan hidupnya secara alami kepada “sesuatu” disekitarnya. Oleh sebab itu diperlukan suatu ide universal yang membangun kerangka berpikir sosial agar manusia dapat hidup harmoni dengan sesamanya dengan menonjolkan rasa saling membutuhkan dan menekan rasa terancam dan kebencian.

Menuju kondisi itu, manusia membutuhkan terbangunnya sikap yang simpatik dan empati terhadap orang lain, hidup manusia tidak berpusat pada individu semata tetapi perhatian juga harus diarahkan untuk melihat kehidupan orang lain, sejurus dengan itu John Adam Smith (1723-1790) dalam Teori Moral Sentimenmenyatakan bahwa “Dengan simpatikita mampu untuk merasakan perasaan orang lain, kebahagiaan, kedukaan, kebutuhan akan penghormatan, kepedulian dan kebutuhan akan kemuliaan mereka”.

Secara sosial manusia akan memilih untuk hidup berdampingan dengan orang lain dan melakukan aksi dan sikap yang membuat dirinya diterima oleh orang lain dalam suatu komunitas. Dengan demikian, perilaku ini akan menekan hasrat liar untuk menguasai sesama tetapi tidak menghilangkannya, komunitas hanya mungkin menyembunyikan hasrat itu tetapi sesekali akan muncul dipermukaan.

Menyikapi itu, muncul kekuatiran bahwa sifat individualis akan menjadi kontraproduktif dengan perkembangan masyarakat, sikap ini memiliki jebakan hedonisme dan pemuliaan diri sendiri sehingga rentan memunculkan sifat memangsa. Dalam hal ini, John Stuart Mill (1806-1873) seorang murid Jeremy Bentham mengajukan kritik terhadap pandangan individualism manusia itu dengan melahirkan ajaran Socialism Utilitarian. Ajaran Bentham menekankan pada sisi kemanfaatan besar yang dihasilkan oleh tindakan seseorang diarahkan untuk kebaikan sebanyaknya orang. Kemanfaatan diukur dari seberapa besar meningkatnya jumlah orang yang bahagia dan semakin sedikitnya orang yang menderita, itulah keadilan!

Manusia tidak boleh hanya mengejar kebahagiaan bagi dirinya, tetapi juga selalu mengukur manfaatnya bagi sebanyaknya orang.

Filosofi Serigala

Serigala adalah binatang yang setia pada pasangannya dan pada kawanannya. Apabila ada yang terluka maka anggota kawanan yang lain akan merawat, memberi makan dan menyediakan kebutuhan yang diperlukan.

Serigala berada dipuncak rantai makanan, liar, berburu secara berkelompok, memangsa binatang yang lebih lemah bahkan dalam situasi tertentu, serigala akan memangsa kawanannya yang terluka demi mempertahankan hidup.

Sejarah peradaban manusia mencatat bahwa manusia adalah mahluk yang surviver, selalu berusaha untuk mempertahankan hidupnya, cenderung mementingkan diri sendiri, liar tetapi setia terhadap komunitasnya dan cenderung menindas sesamanya bahkan terpaksa memangsa apabila perlu dalam situasi tertentu.

Situasi kemanusiaan itu melahirkan kondisi masyarakat yang ekstrim sehingga tidak ada ukuran yang dapat digunakan menjadi standar moral.

Semakin tinggi status sosial dan ekonomi seseorang maka semakin tinggi pula tingkat kekuatan dan peluang untuk menciptakan  dominasi terhadap sesamanya. Kondisi ini cenderung membuat seseorang rentan akan hilangnya kontrol terhadap hasrat ingin menguasai yang makin lama semakin tak terbendung.

Demikian pula dalam situasi yang berbeda, semakin rendah status sosial dan ekonomi seseorang maka semakin membuatnya lemah dan terbuka lebar peluang untuk dikuasai dan dimangsa oleh yang kuat. Kondisi ini akan membuat situasi yang tidak adil dan memupuk serta memendam dendam bagi yang lemah karena manusia cenderung berusaha membalas apa yang orang lain lakukan kepadanya.

Ini cerita seorang pria untuk cucunya :

‘Di dalam diriku seringkali terjadi pertarungan dahsyat dua serigala. Serigala pertama sangat buas, penuh amarah, iri, penyesalan, tamak, merasa sengsara sekaligus merasa sombong. Serigala kedua baik hati, penuh cinta, bahagia, damai, penuh harapan, rela memaafkan diri sendiri maupun orang lain’

Pertanyaan cucunya : ‘Lalu serigala mana yang menang?’

Jawab pria tersebut : ‘Serigala yang aku beri makan’

(Dari buku Temukan Lima Rahasia Sebelum Mati oleh John Izzo Ph.D )

Manusia membutuhkan kekuasaan, yang akan membuatnya mampu melakukan kehendaknya atau setidaknya membuatnya merasa aman dari ketakutan yang datang dari pihak lain. Sikap mau menang sendiri adalah sebuah pendorong yang kuat, menjadikan seorang pribadi menjadi penindas bagi pribadi yang lain. Kekuatan adalah kunci untuk memperoleh kekuasaan, dan kekuasaan adalah tujuan dari penaklukan yang tidak ada batasnya.(Anindita Saktiaji)

Tidak ada tanda bahwa homo homini lupus akan tergerus oleh peradaban budaya. Tidak ada satupun tanda bahwa manusia tidak lagi menjadi serigala bagi manusia yang lainnya. Sampai sekarang, kita masih saling membunuh, saling menghabisi, saling menghancurkan dengan alasan jelas ataupun tidak jelas. Nafsu manusia untuk menguasai manusia lain adalah tak terbatas.

Negara Keadilan

Dalam situasi yang “kacau” dan sarat akan kepentingan individu manusia yang liar, masyarakat membutuhkan organisasi yang kuat dengan nama NEGARA untuk menciptakan keteraturan. (Thomas Hobbes)

Negara harus dilaksanakan dengan demi kepentingan manusia yang adalah rakyatnya. Untuk itu rakyat harus memiliki kedaulatan dalam menentukan jalannya negara.

Keinginan rakyat haruslah menjadi hukum yang tertinggi didalam Negara yang akan disebut KONSTITUSI. Konstitusi Negara adalah hukum yang volonte generale (kemauan dan kepentingan seluruh rakyat tanpa “kecuali”)bukan kemauan golongan tertentu (volonte de corps) atau kemauan  dan kepentingan orang yang hidup dalam gerombolan yang tidak teratur (volonte de tous) apalagi kemauan pribadi orang perorang (volonte de particuliere).

Sebagai manifestasi volonte generale, konstitusi berfungsi sebagai tatanan yang melindungi kepentingan bersama sekaligus kepentingan pribadi dan menjadi contract social antara rakyat dan negara. (Jean Jacques Rousseau)

Dalam situasi ini tidak boleh ada kekuasaan yang absolut, yang dapat melahirkan penguasa yang tirani, diktator, otoriter dan totaliter.

Kepala Negara yang kepadanya kekuasaan diberikan atas nama kedaulatan rakyat haruslah dengan etika dan moral serta maksud yang tulus mengarahkan niatnya kepada melayani rakyat dengan melindungi hak-hak warganya. Niat ini diawali dengan pertarungan dalam dirinya sendiri untuk mengekang sifat homo homini lupus yang tersembunyi itu. Pemimpin Rakyat haruslah selesai dengan pergumulan akan dirinya sendiri.

Bagaimana mungkin seseorang yang masih menampakkan sikap hedonistik, intoleran, rasial, diskriminasi mampu menjadi pelindung bagi kaum yang lemah?

Presiden sejati adalah pemimpin yang membela dan melindungi kaum miskin, papah, lemah dan tertindas karena untuk itulah negara didirikan, itulah yang menjadi alasan berdirinya negara yaitu untuk mengontrol hasrat saling memangsa dan membinasakan sesama manusia.

Presiden sejati akan mengarahkan tujuan negara untuk meningkatkan kesejahteraan dan keadilan tanpa pandang bulu dimulai dari diri sendiri kemudian kepada kepentingan bersama (bukan kepentingan yang sama).

Wahai Saudaraku sebangsa dan setanah air.....

Dihadapan kita telah ditentukan oleh Sang Maha Kuasa pemilik kehidupan ini, 2 pasang calon presiden pemimpin bangsa kedepan. Marilah kita cerdas dalam memilih, bijak dalam menentukan pilihan. Mari kita jatuhkan pilihan berdasar pada pertimbangan yang subjektif dan objektif serta tidak melakukannya secara emosional.

Periksalah rekam jejaknya, baik buruknya, pantas layaknya. Apabila pilihan kita sudah ditetapkan marilah kita mengkritisi keburukan mereka siapa tahu mereka dapat berubah sembari menikmati masa kampanye.

Apabila tidak terjadi perubahan, marilah kita mencegahnya untuk berkuasa agar tidak terjadi homo homini lupus dinegara ini, demi Indonesia!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H



BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline