"Seorang pemuda melihat kepompong. Detik demi detik ia amati. Tampak pergerakan calon kupu-kupu. Karena tak sabar, ia lantas membantu calon kupu-kupu. Dirobeknya pembungkus kepompong. Benar, kupu-kupu keluar. Tapi sayang, kupu-kupu cantik lantas mati."
Itulah kisah pembuka yang disampaikan oleh Budhi Hermanto ketika membuka sesi diskusi Berbagi Inspirasi dan Pengalaman Pembangunan Desa Wisata pada Pelatihan Media Promosi Wisata yang dihelat oleh Program PADI Komunitas Averroes Senin (08/01/18). Budhi lantas bertanya kepada para peserta, "Apa yang bisa kita ambil dari kisah yang saya sampaikan tadi?"
Para peserta silih berganti menjawab. Bahwa pengembangan wisata berbasis masyarakat adalah proses panjang yang tidak bisa dipaksakan. Para aktor yang menginisiasi dan berkepentingan untuk membangun wisata harus melalui langkah-langkah yang panjang dan melelahkan. Budhi mengisahkan bahwa masa-masa awal pembangunan Dieng Culture Festival hanya dihadiri oleh 12 orang pengunjung. Meski demikian, para penggerak wisata di sana terus melangkah dengan sabar hingga sekarang event budaya tahunan tersebut telah terdaftar sebagai salah satu event nasional yang dihadiri minimal 12 ribu pengunjung.
Partisipasi menjadi titik mula dalam pengembangan wisata berbasis masyarakat. Dengan partisipasi dari semua pihak khususnya masyarakat desa, iklim wisata akan terbangun. Ketika semua orang turut mendukung, maka para wisatawan akan merasa nyaman berdiam di desa.
Sebuah kesalahan berpikir menurut Budhi, jika mengembangkan desa wisata difokuskan pada bagaimana membangun destinasi. Destinasi memang penting, tapi bukan yang pertama yang perlu dipikirkan. Baginya, orang, komunitas atau masyarakat adalah aspek pertama yang harus "ditata" terlebih dahulu. Keterlibatan semua orang untuk menjadikan desanya sebagai lokasi yang nyaman bagi para wisatawan adalah hal pokok yang harus dituntaskan terlebih dahulu.
"Membuat orang merasa senang, membuat orang merasa nyaman seperti di rumah sendiri, itulah kunci dari pengembangan wisata," lanjut Budhi.
Selain partisipasi, prinsip yang harus dijaga dalam pengembangan wisata adalah menjaga kebudayaan. Tiga pilar pembangunan berkelanjutan menjadi acuan dalam hal ini. Wisata tidak boleh hanya mengedepankan tujuan ekonomi tapi juga keberlanjutan sosial budaya dan lingkungan.
"Misalnya saya bikin panggung jazz, tapi tetap saja ada Lengger (tari tradisional Banyumas)," tuturnya.
Inti wisata berbasis masyarakat bukan soal bagus atau tidaknya destinasi. Perubahan pola pikir masyarakat adalah hal yang lebih utama. Dalam sebuah desa wisata, satu penduduk dengan penduduk lain harus memiliki keramahan yang sama. Ketika disambut dengan keramahan semua penduduk desa, secara otomatis wisatawan akan merasa senang dan akan kembali datang ke desa tersebut. Karenanya partisipasi masyarakat dan keramahan mereka inilah yang akan menjadi faktor keberlanjutan wisata berbasis masyarakat.
Memahami Cara Generasi Milenial Berkomunikasi