Lihat ke Halaman Asli

Avanti DM

bukan siapa tak punya apa

Mata Danau

Diperbarui: 23 Oktober 2024   10:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

Jadi to, aku adalah tipe perempuan logis. Jarang menggunakan perasaan dalam memutuskan masalah. Lebih mengedepankan manfaat terutama untuk diri sendiri dan bisa dijalani dibanding mudharat. Satu contoh, ketika teman curhat suaminya selingkuh, 3/4 teman yang mendengarkan curhat mengatakan, "Hajar, labrak, maki-maki" , 1/4 abstein, aku berkomentar, "Terus hasilnya apa?" Semua kepala menoleh padaku, bengong tidak bisa menjawab. Ya kalik setelah dihajar, dilabrak, dimaki maki terus berhenti selingkuh? Tentu tidak. Jadi, apa manfaat melakukan hal yang tidak mendatangkan manfaat? Saranku pada teman adalah : bertahan tanpa harus ribut-ribut, inventarisir aset yang ada kemudian alihkan atas nama anak, mulai produktif minimal biaya makan, menyisihkan uang yang diterima untuk dijadikan aset, ketika tiba waktunya ajukan perceraian. Kalau ingin tetap bertahan, ya jangan cemburuan berbagi suami.

Semua berjalan baik ketika tahun 2014 aku bertugas mengajar di sebuah SMPIT di kota P. Aku yang bangga sebagai perempuan berlogika, diberi peringatan bahwa kesombongan pasti runtuh melalui kisah Qorun dan Fir aun. Bodohnya aku tidak belajar dari sejarah yang sudah tercatat dalam Al Quran. Aku dihantam fakta kekuasaan Allah mutlak dan aku diciptakan olehNya sebagai perempuan dengan perasaan yang dominan. Diawali saat bertatapan dengan mata bocah seperti kedalaman danau dingin gelap tapi menghisap seluruh jiwa meruntuhkan tembok logika. Fix aku gila. Aku jadi baper, mengajarku tidak lagi mengedepankan hubungan kaku guru murid, melainkan penuh canda dan kedekatan meski tetap berbatas, membuat muridku tidak jengah mengungkapkan isi hati mereka. 

Aku jadi berubah hangat tidak lagi galak, sabar mendengarkan ocehan brisik apabila didengar aku yang seminggu lalu, sungguh tidak penting dan menjengkelkan. Hasilnya, tiap aku datang, muridku menyambut dengan sapaan dan senyuman bahkan menghampiri dari lapangan parkir membarengi langkah sampai ke kantor guru hanya untuk bersamaku. Si Mata Danau? Dia jadi motivasiku untuk datang lebih pagi, dan pulang lebih sore. Aku seperti bocil kasmaran. fix Aku gila.

Ada yang tahu? Tentu tidak. Kegilaanku masih berbatas kewarasan, untuk diketahui khalayak umum, cukup kutelan sendiri. Aku tersadar kesombonganku membawa pada titik sekarang, waktu untuk mohon ampun atas keberanian berlaku sombong meski terhadap diri sendiri. Sekarang? Alhamdulillah, aku berhasil melewati fatamorgana Si Mata Danau yang sudah jadi Sarjana Teknik dan tengah mengejar S2 bersama pujaan hatinya. Okey bye Mata Danau. Norma dan agama yang kupegang membantuku tidak mengikuti jejak kisah Emanuel Macron.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline