Lihat ke Halaman Asli

Identitas Bahasa Gaul Anak Muda (Tinjauan Cultural Studies)

Diperbarui: 26 Juni 2015   14:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Seorang filsuf Neo-Kantian, Ernst Cassirer pernah menyebutkan bahwa manusia adalah makhluk simbolik (animale symbolicum), artinya manusia mampu menciptakan tanda-tanda berupa simbol yang telah diberi makna dalam suatu sistem kode yang sudah disepakati bersama dalam komunitas tertentu, termasuk bahasa. Bagi Cassirer, bahasa sejak awalnya merupakan usaha manusia mengenali benda-benda yang ada di dunia dengan dasar prinsip identitas dan/atau prinsip perbedaan. Bahasa dipahami sebagai representasi dari benda-benda dan dunia. Bahasa sebagaimana yang dikatakan juga oleh Sumarsono dan Partana (2002:20), sering dianggap sebagai produk sosial atau produk budaya, yang merupakan wadah aspirasi sosial, kegiatan, perilaku masyarakat, dan penyingkapan budaya termasuk teknologi yang diciptakan oleh masyarakat pemakai bahasa. Bahasa bisa dianggap sebagai “cermin zamannya”, artinya bahwa bahasa di dalam suatu masa tertentu mewadahi apa yang terjadi dalam masyarakat.

Dalam realitas sosio-budaya, Keraf (1980:3) dalam pandangan yang lain melihat fungsi bahasa apabila ditinjau dari dasar dan motif pertumbuhannya yaitu sebagai alat untuk menyatakan ekspresi diri, alat komunikasi, alat untuk mengadakan integrasi dan adaptasi sosial, dan alat untuk mengadakan kontrol sosial. Dengan begitu, bahasa sebagai alat untuk menyatakan ekspresi diri dipergunakan untuk mengkespresikan segala sesuatu yang tersirat di dalam pikiran dan perasaan penuturnya, sementara ungkapan pikiran dan perasaan manusia dipengaruhi oleh dua hal yaitu oleh keadaan pikiran dan perasaan itu sendiri. Ekspresi bahasa lisan dapat dilihat dari mimik, lagu/intonasi, tekanan, dan lain-lain. Ekspresi bahasa tulis dapat dilihat dengan diksi, pemakaian tanda baca, dan gaya bahasa. Ekspresi diri dari pembicaraan seseorang memperlihatkan segala keinginannya, latar belakang pendidikannya, sosial, ekonomi. Selain itu, pemilihan kata dan ekspresi khusus dapat menandai identitas kelompok dalam suatu masyarakat.

Sedangkan bahasa sebagai alat komunikasi bermakna bahwa bahasa mempunyai fungsi sosial dan fungsi budaya. Bahasa sebagai fungsi sosial adalah sebagai alat perhubungan antar anggota masyarakat. Sedangkan sebagai aspek budaya, bahasa bermakna sangat luas mencakup budaya modern dan tradisional.

Dari berbagai penjelasan tentang bahasa di atas, maka bahasa dalam tulisan ini akan dimaknai sebagai bahasa yang menandai identitas kelompok dalam suatu masyarakat dan berarti juga bahasa tersebut merepresentasikan identitas sosial yang ada di masyarakat.

Identitas Sosial dan Identitas Bahasa
Dalam masyarakat modern, semua orang berupaya menunjukkan identitas, status bahkan kelas yang direpresentasikan dalam penggunaan bahasanya. Identitas itu sendiri dapat diartikan sebagai hasil dari sebuah konstruksi sosial. Konstruksi terhadap identitas berawal dari sumber-sumber imajiner yang menentukan posisi atau lokasi kita dalam interaksi sosial. Dengan kata lain, karena identitas berkenaan dengan “posisi—lokasi” subjek di dalam lokus sosial, maka identitas bukanlah suatu objek atau substansi yang bersifat esensial, melainkan situasional (Mendieta, 2003: 408).

Identitas pribadi atau seseorang ‘meng-konstruksi-kan suatu proses dialogis yang menandai batasan-batasan apa saja mengenai diri-nya dan apa saja yang membuatnya sama atau berbeda dengan orang lain’ (Stuart Hall, 1992). Jadi, menurut Stuart Hall, identitas seseorang tidak dapat dilepaskan dari “sense” (rasa/kesadaran) terhadap ikatan kolektivitas. Dari pernyataan tersebut, maka ketika identitas diformulasikan sebagai sesuatu yang membuat seseorang ‘memiliki atau berbagi kesamaan’ dengan orang lain, maka pada saat yang bersamaan juga identitas memformulasikan “otherness” (keberbedaan) atau sesuatu yang diluar persamaan-persamaan tersebut. Sehingga karakteristik identitas bukan hanya dibentuk oleh ikatan kolektif, melainkan juga oleh kategori-kategori pembeda (categories of difference). Oleh karena itu, menurut Judith Butler (1992), konstruksi mengenai identitas melibatkan seluruh peluang-peluang dari berbagai kategori pembedaan kolektif yang saling berkompetisi dan, karena itu, kategori-kategori identitas tidaklah bersifat deskriptif, melainkan bersifat normatif.

Dengan pemaknaan tersebut identitas pada muaranya juga mengandung unsur di luar diri seseorang sehingga identitas tidak semata berarti identitas diri melainkan telah menjadi identitas sosial. Ketika identitas sosial direpresentasikan lewat bahasa maka kelahiran atas identitas bahasa pun tidak lepas dari sebuah proses konstruksi sosial karena ia telah bersentuhan dengan aspek lain dari identitas diri atau seseorang.

Untuk sampai pada pemahaman tentang identitas sosial, maka peranan bahasa menjadi sangat penting. Tanpa bahasa, konsep keorangan dan identitas tidak akan bisa kita pahami. Secara umum dapat dikatakan, seorang individu melalui proses sosial tentu akan melewati tahapan sosialisasi dan atau akulturasi, oleh karena itu dalam kedua proses sosial ini bahasa merupakan media yang tidak terlepaskan. Akhirnya, persoalan identitas adalah persoalan kesamaan dan perbedaan, soal personal dan komunal atau sosial, seperti yang dikatakan Weeks yaitu “soal apa yang kamu miliki secara bersama-sama dengan beberapa orang dan apa yang membedakanmu dengan orang-orang lain (Weeks, 1990:89)

Identitas Bahasa Gaul: Representasi Anak Muda dan the others terhadap Bahasa Baku (orang tua)

Bahasa apapun sebenarnya memiliki relasi antara struktur (gramatikal) dan konteks (leksikal). Sebagaimana yang ditunjukkan melalui diagram triadiknya Saussure, bahasa terdiri dari langue (sistem) dan parole (tuturan). Tetapi persoalan sistem kebahasaan seperti itu, penulis tidak mencobanya untuk diungkapkan lebih jauh, sekiranya yang ditekankan di sini adalah persoalan parole atau tuturan.
Pada perkembangannya penggunaan bahasa tuturan bermetamorfosa menjadi kekuasaan simbolik yang berwujud metabahasa atau wacana. Selain itu kode bahasa sering menentukan bagaimana pengetahuan itu dapat diproduksi bahkan direproduksi sebagai gambaran pencitraan suatu simbol pemaknaan yang melampaui ketidakberhinggaan makna yang polisemik. Berdasarkan pengamatan Derrida, bahasa dan praktek pemaknaan terhadap suatu teks dapat ditelusuri dari ‘jejak-jejak’-nya (traces). Menurutnya, “tidak ada yang di luar teks”, semua berada pada lingkaran teks-teks itu sendiri yang saling bersinergi dan over lapping. Di sisi lain, Foucault memberikan kita alat yang baik untuk memahami bahasa yang secara luas diderivasikan dari praktik diskursif yang terangkai antara pengetahuan dan kekuasaan.

Berangkat dari atas, kita dapat melihat bahwa pertautan bahasa (tuturan maupun teks) dan kondisi sosial masyarakat sangatlah kompleks. Aspek keberadaan seseorang mencerminkan pola bahasa yang khas yang biasa digunakan oleh masing-masing kelompok masyarakat dalam arena kebudayaan global atas transformasi teknologi informasi yang semakin kabur batas-batasnya. Meskipun demikian, kelompok masyarakat tertentu justru memberikan ‘batas-batas” lain yang berfungsi menciptakan kode bahasa mereka sendiri. Sehingga hanya mereka yang menjadi bagian atau yang kerap menggunakan bahasa itu, yang dapat mengerti dan memahami maksud ungkapannya. Artinya, agar dapat masuk menjadi bagian kelompok komunitas, mereka harus tahu apa saja kode-kode bahasa yang digunakan. Sebelum terlalu jauh, kelompok yang dimaksud ini adalah masyarakat yang ada di kalangan anak muda/remaja.

Pola dan kode bahasa yang paling sering dipakai seperti singkatan, akronim, atau “permainan” kata-kata. Tujuannya adalah untuk mengekspresikan pendapat atau ungkapan mereka. Beberapa kejadian lainnya, mereka terkadang menciptakan ungkapan-ungkapan baru yang sifatnya tidak baku. Bahasa seperti inilah yang kemudian banyak dikenal dengan istilah bahasa gaul. Di samping bukan merupakan bahasa yang baku, kata-kata dan istilah dari bahasa gaul ini memberikan “batas-batas” lain tadi yang disepakati bersama. Secara sosiologis, menurut Peter Berger, pembatasan yang dilakukan mereka merupakan bagian dari konstruksi sosial yang dirangkai sedemikian rupa akibat dari gejala proses interaksi kultural dan kompleksitas kehidupan sosial lainnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline