Lelaki itu terkulai lemah di sudut ruangan. Orang-orang masih terus memperolok dirinya. Menyiram tubuh lemahnya dengan air bekas pel, memaki-maki dirinya, menebarkan serbuk-serbuk kapur ke rambut dan wajahnya. Membuatnya terbatuk-batuk. Mereka bahkan memukul bagian tubuhnya dengan kasar. Sementara itu, beberapa orang lain mengobrak-abrik tasnya. Mengeluarkan seluruh isi dalam tasnya hingga jatuh berantakan diatas lantai. Mereka mengambil bukunya dan mencorat-coretnya dengan spidol. Mencorat-coret buku tugas yang baru saja dia kerjakan.
Dia tidak bisa melawan. Dia hanya diam melihat ke sekeliling ruangan. Hampir semua orang di ruangan itu mengebirinya seperti itu. Tak ada yang mau menolongnya. Tidak satupun. Seluruh siswa beserta sebagian siswi penghuni kelas itu bersekongkol memojokannya. Membuatnya lemah tak berdaya, mencaci maki dirinya, merendahkannya. Sedangkan beberapa orang yang tersisa hanya duduk di bangku mereka masing-masing. Bersikap seolah-olah tak melihat dirinya yang diperlakukan hina seperti itu. Mereka acuh tak acuh. Tak ada yang mau menolongnya bahkan meliriknya hanya untuk sekedar melihat raut mukanya yang tersiksa.
Beberapa menit kemudian bel sekolah berbunyi. Para siswa bergegas duduk di bangku mereka masing-masing sembari menahan tawa mereka saat melihat lelaki itu basah kuyup, kotor dan bau. Tak ada yang mau dekat-dekat dengannya.
Dengan langkah gontai, tanpa kata, tanpa suara, dia berjalan menuju bangkunya. Memasukan kembali alat tulisnya yang berantakan ke dalam tas dan duduk di kursinya. Namun seorang perempuan dengan sengaja menggeser kursinya hingga ia terjatuh ke lantai. Dirinya dihujani puluhan suara tawa yang menyayat hati, merobek jantungnya yang lemah. Suara tawa kepuasan mereka terdengar seperti sebuah ledakan bom yang meluluh lantakan jiwanya, menebarkan rasa perih dan sakit yang teramat sangat di hati terdalamnya.
Seorang guru masuk kedalam kelas tersebut, melihat tubuh lelaki itu yang sudah tak karuan.
“Danny, kenapa lagi kamu?” Tanya bu guru tersebut keheranan. Namun lelaki bernama Danny itu hanya diam dan menunduk. Terasa begitu sulit baginya utnuk bicara. Meski untuk bicara tentang kebenaran. Ibu guru itu hanya menatapnya tanpa bertanya untuk kedua kalinya.
“Sebaiknya kamu ke toilet dan bersihkan pakaianmu, setelah itu temui ibu di ruang guru,” ucap bu guru. Danny hanya mengangguk dan berjalan keluar menuju toilet.
“Siapa yang melakukannya?!” tanya ibu guru pada seluruh siswa. Tapi tak ada seorangpun yang mengaku. “Baiklah kalau kalian tidak mengaku, besok bawa orang tua kalian semua ke sekolah ini!” tambahnya. Semua siswa nampak gusar dan khawatir dan tentunya yang semakin kentara adalah, mereka semakin benci pada lelaki diam itu.
Danny masih berusaha membersihkan pakainnya di toilet. Dia memandang ke cermin melihat raut mukanya sendiri di cermin itu. awalnya semuanya baik-baik saja. Wajahnya tampak tegar meski berlumuran kegalauan. Tapi kemudian matanya memerah dan tetesan air perlahan mengalir dari sudut-sudut matanya. Sembari terus mmbersihkan seragamnya dia coba basuh air mata itu tapi tetap saja tak mau berhenti keluar.
“Hey, kawanku kau kenapa?” Tanya suara seorang pria. Danny memandang ke cermin itu. Dia melihat seorang pria sedang bersandar di dinding di samping belakangnya. Wajah pria itu terlihat dewasa namun memakai seragam sekolah yang sama dengannya. Pria itu terlihat tinggi, besar dan gagah dengan otot yang cukup besar menyembul dari lengan seragamnya yang kekecilan.
“Mungkin benar apa kata mereka, aku ini idiot, autis, patung, abnormal,” ucap Danny pada lelaki itu.
“Jangan berkata seperti itu. Mereka hanya iri padamu, kawan. Lupakan saja mereka. Jangan anggap keberadaan mereka. Aku selalu disisimu untuk mendukungmu,”
“Iya, kau benar. Aku tidak butuh teman untuk hidup di sekolah ini. Aku bisa melakukan apapun sendirian,” kata Danny terlihat emosi.
Teman, tak ada dalam kamusnya. Dan baginya, sahabat, hanyalah sebuah mitos. Hanyalah khayalan tingkat tinggi di angan-angan yang tak akan pernah dia dapatkan. Sejak dulu, dia tidak pernah memiliki yang namanya sahabat. Semua orang yang pernah berusaha mendekatinya akhirnya meninggalkan dirinya satu-persatu. Mereka bilang Danny anak Introvert [pendiam]. Bahkan beberapa orang mengatakan bahwa anak introvert hanyalah seonggok patung berjalan atau mayat hidup yang hanya bisa bergerak, tanpa senyum, tanpa suara apalagi bicara.
Danny hidup dalam kesendirian. Tak ada orang yang pernah mengajaknya berteman. Sifatnya yang diam bukan hanya membuat orang bosan, tetapi juga risih dan kesal karenanya. Hanya sepi yang mendampinginya, hanya khayalan yang menjadi teman setianya.
Dikala dirinya sedang membersihkanpakainya tiba-tiba pintu kloset terdengar terbuka tak jauh dari tempat Danny kemudian seseorang keluar dari sana. Seorang perempuan berbadan sedikit gemuk dan kurang cantik. Dia memandang Danny keheranan.
“Ini toilet perempuan kan?” Tanya perempuan itu ragu, ingin memastikan. Danny menggeleng menunjuk symbol ‘pria’ yang ada di pintu keluar.
“Ya ampun, kenapa aku bisa sebodoh ini? Sudah kelima kalinya aku salah masuk toilet,” ucapnya meracau sendiri sembari bergegas keluar dari sana.
“Perempuan itu, sepertinya baik untuk dijadikan teman,” ucap pria yang sedari tadi bersandar tanpa bergerak sedikitpun.
“Aku tidak butuh teman,” tegas Danny sembari keluar toilet menuju ruang guru. Menghadap bu Reni yang menyuruhnya tadi.
“Danny, ibu tidak habis pikir, mau-maunya kamu dipermainkan teman-teman sekelasmu terus,” kata bu Reni seakan ini karena kesalahannya. Tapi Danny tidak bisa bicara untuk membela diri padahal dia hanya ingin bilang ‘itu bukan kemauan saya’.
“Danny, bukannya ibu tidak mengerti kamu. Tapi ini sudah sebelas kalinya kamu diperlakukan seperti ini oleh mereka dan sudah sebelas kalinya ibu harus memanggil orang tua mereka selama setahun terakhir,” ucap guru itu.
“Danny, kamu bukan anak baru lagi disini. Sudah hampir setahun kamu tinggal disini. Apa kamu tidak ingin punya teman? Mencoba menjalin pertemanan dengan seseorang di kelasmu atau di sekolah ini? Apa kamu akan terus diam dan hanya belajar sampai kamu lulus. Tidakkah kamu mau memiliki seorang teman untuk dijadikan teman curhat, berbagi cerita, atau kerja kelompok?”
“Saat ibu tanya alasan mereka selalu jail padamu, karena mereka tidak suka orang yang diam. Mereka bilang kamu angkuh, sombong, dingin. Mereka pernah bilang tidak akan menjaili kamu lagi jika kamu merubah sifat dan sikap diam kamu. Kamu sudah besar, saatnya kamu mampu berinteraksi dengan orang lain. Berteman dan bergabung bersama mereka. Bukannya terus diam,” ucap bu Reni menasehatinya.
“Danny, maaf mulai dari sekarang hingga seterusnya ibu tidak mungkin membantumu lagi. ibu tidak mungkin memanggil orang tua mereka terus-menerus ke sekolah ini. Itu hanya akan menunjukan bahwa di sekolah ini terutama kelasmu memiliki daftar siswa nakal paling banyak. Padahal inti dari kenakalan itu hanya satu,” ucapnya menekankan bahwa inti dari semua ini adalah lelaki pendiam itu.
“Ibu mohon kamu coba dulu berteman baik dengan mereka. Bergabung dengan mereka. Jangan jadi orang pendiam lagi. Sekarang kamu pergi ke kelas kamu,” katanya.
Sembari berjalan Danny tampak gelisah setelah mendengar kata-kata guru itu. Bicara, terutama bicara pada mereka bukanlah hal mudah. Baginya, bicara pada mereka, sama saja dengan telanjang di muka umum atau memperlihatkan pertunjukan komedi pada mereka yang akan membuat mereka tertawa meledek saat mendengar kata-katanya yang terbata-bata. Kemudian mereka akan kembali menghinanya dengan julukan-julukan yang akan membuat hatinya kembali terluka.
Di dalam kelas lain, danny melihat gadis di toilet tadi sedang duduk di bangkunya kemudian dengan kejam teman-temannya memecahkan telur busuk di kepalanya sembari menyanyikan lagu selamat ulang tahun tertawa terbahak-bahak. Gadis itu marah dan melawan teman-teman yang melakukan hal itu padanya. Namun gadis itu tak mampu melawan mereka. Wajah gadis jelek yang kelelahan itu dijadikan bahan hinaan semua orang apalagi ketika telur busuk itu membasahi wajahnya. Membuat wajahnya semakin jelek. Gadis yang tersiksa itu mengingatkan Danny akan dirinya sendiri.
Danny berjalan kembali menuju kelasnya sembari berharap tidak mendapatkan hal yang sama yang dialami gadis itu. Danny duduk di bangkunya. Tak ada barang-barang miliknya di mejanya tersebut. dia melirik kesana kemari berusaha mencari di tengah tatapan mata yang acuh tak acuh. Mereka semua telah berkomplotan menyembunyikan tasnya. Danny kebingungan apa yang harus dilakukannya sekarang. Haruskah bicara? Haruskah marah? Haruskan mencarinya diantara bangku mereka? Haruskah minta tolong, tapi minta tolong pada siapa?
Mereka semua berwajah seperti bayi yang tak berdosa, bersikap seolah tak ada apapun yang terjadi, yang telah mereka lakukan dengan tangan-tangan mereka. Danny bimbang, gelisah, bingung. Danny ingin sekali marah namun entah kenapa suara itu sulit untuk dikeluarkan dari mulutnya.
Pelajaran hampir dimulai. Dia harus menemukan apa yang telah mereka sembunyikan. Dia berjalan mengelilingi kelas itu. satu persatu kolong meja mereka dia intip tanpa izin. Tapi itu adalah tindakan besar yang pernah ia lakukan. Meski sulit tapi itu setidaknya lebih mudah dari pada harus bersuara.
“Mencari apa kau, patung?” Tanya seseorang tersenyum licik.
“Dasar anak bisu idiot, nanya dong ke kita kalau lagi nyari sesuatu. Apa susahnya sih siapa tahu aja kita tahu barang yang kamu cari,” sahut seorang perempuan di sampingnya. Danny tak menyahuti perempuan itu. tak menganggapnya ada.
Ketika dia terus mencari, matanya tertuju pada tong sampah di sudut ruangan. Ternyata benar tasnya ada disana. Danny mengambilnya, namun ketika dia membukanya ada hal menjijikan yang mereka masukan ke dalamnya. Semua peralatan tulisnya berlumuran sesuatu yang membuat hidungnya mengernyit.
“Biar tahu rasa kau anak tolol. Lebih baik mati saja sana dari pada hidup kaya patung!” teriak seseorang. Satu persatu semua orang mentertawakannya. Dirinya dihujani puluhan tawa yang sungguh menyiksa. Air matapun tak sanggup lagi ia tahan. Ia menangis. Menangis deras namun tanpa suara terucap dari mulutnya. Kali ini dirinya sudah sangat terluka. Diapun berlari. Berlari dari suara tawa yang menyayat hati. Meninggalkan tetesan-tetesan air mata yang tercecer di lantai.
Dia berlari ke lantai paling atas. Ke atap gedung. Dia meringkuk dan menangis sejadi-jadinya dibawah terik matahari siang itu. mereka, kehidupannya, sifat pendiamnya membuatnya sungguh sakit. Membuat hatinya berlubang. Semakin lama lubang itu semakin menganga lebar saja. Dan kali ini sulit baginya untuk menutupnya kembali.
Dengan isakan tangis, danny mendekati pagar besi diujung atap gedung sekolah. Hatinya teramat sakit. Dia tak mampu untuk menahan rasa sakit ini. Apapun akan dia lakukan agar sakit itu hilang. Jika itu artinya harus mati, dia sudah siap. Dia harap jika dia pergi semuanya akan selesai. Cukup sudah. Dia tidak ingin menanggung beban ini lagi. sifat ini. Sifat pendiam yang sungguh menyiksa dirinya ini akhirnya mampu mengalahkan dirinya sendiri. Dia tak mampu untuk melawan. Yang bisa dia lakukan kali ini hanya lari. Lari dari kenyataan yang ada. Lari dari masalah yang harusnya dihadapi.
Danny mempercepat langkahnya menuju pagar tersebut. tanpa ragu dia memegang erat batang pagar besi yang melintang. Matanya tertuju kebawah. Melihat sekumpulan orang-orang yang membuat hatinya hancur lebur dan terluka. tak ada lagi kesempatan untuk mengobati hati yang kini berlubang dan tersayat-sayat perih. Sayatan itu bahkan semakin menganga lebar ketika dia mengingat kelakuan orang-orang itu.
Dia mulai memanjat batang besi itu satu-persatu. Tak ada perasaan ragu di hatinya. Dan tinggal satu langkah lagi yang harus dia pijak sebelum akhirnya dia melayang. Terjun bebas menuju kegelapan damai di bawah sana.
Matanya terpejam. Tangisannya kembali mengalir. Membasahi pipinya, dan seragam kusamnya.
“Maafkan aku ibu, aku anak yang tidak berguna. Aku malu pada diriku sendiri. Aku ini lelaki lemah. Aku tidak bisa apa-apa. Hanya bisa menangis dan menangis. Membiarkan mereka melecehkanku tanpa bisa aku melawan…”
“Kau menyerah?” Tanya suara seorang pria dari belakang. “Semudah itukah kau menyerah?”
“Aku lelah…” jawab Danny dengan mata yang masih terpejam.
“Itulah hidup. Hidup memang melelahkan, tapi apa kau pikir mati tidak melelahkan?” Tanya suara itu.
“Tidak. Dengan mati aku bisa tenang,” jawab Danny pasti.
“Benarkah? Kalau begitu boleh aku ikut mati bersamamu?” Tanya suara itu. kata-katanya membuat Danny tersentak. Dia membuka mata. Melihat lelaki itu kini berada di sampingnya.
“Untuk apa kau mati?” Tanya Danny.
“Agar bisa tenang. Aku juga lelah. Lelah menghadapi masalah ini dan itu yang tidak ada habisnya. Jika mati membuatku tidak kelelahan lebih baik aku mati saja,” jawabnya santai.
“Kau tidak mengerti perasaan yang aku rasakan saat ini,” kata Danny.
“Perasaan apa? Apa yang kau rasakan saat ini?” tanya pria itu bingung.
“sakit. Perih.”
“Hanya itu?”
“Sifat ini begitu menyiksa. Kenapa sulit rasanya bagi orang lain agar bisa menerima sifat pendiamku?” Tanya Danny merana.
“Tidak bisakah kamu bicara? Tak bisakah kamu tidak seperti patung?” Tanya balik pria itu.
“Tidak. Sulit rasanya. Rasanya lebih mudah terjun ke bawah sana dari pada berusaha untuk tidak jadi orang pendiam.”
“Tapi, jika itu sulit, kenapa saat ini kau bisa berbicara lancar padaku?”
“Karena kau bukan manusia. Kau hanyalah sesosok karakter yang secara tak sengaja tercipta di pikiranku untuk menghentikanku melompat dari sini,” jawab Danny.
“Tidak. Aku datang bukan untuk menghentikanmu. Aku hanya ingin bilang, bahwa kau tidak sendiri di dunia ini.”
“Aku sendirian! Tidak ada orang yang ingin jadi temanku. Tak ada orang yang mengerti tentang diriku. Kenapa tuhan memberikanku sifat seperti ini? Sifat yang sungguh menyiksa. Aku tidak tahan lagi hidup dengan sifat seperti ini terus!”
“Janganlah kau salahkan tuhan atas apa yang kau miliki ini! Sifat adalah sesuatu yang bisa dirubah. Namun semua itu kembali lagi pada dirimu. Apa kau ingin berubah atau tidak,” ujar pria itu.
“Aku ingin berubah! Aku ingin seperti yang lain. Jika seperti ini terus apa bedanya aku dengan patung!” gusar Danny.
“Lalu usaha apa yang telah kau coba untuk mengubah sifatmu itu? apa kau pernah berusaha?”
“Setiap kali. Setiap waktu aku selalu berusaha mencoba menjadi seperti yang lain, lebih aktif, mampu berbicara, dan berani menolak kelakuan buruk mereka padaku. Tapi setiap kali mencoba, rasa ragu, takut, malu, gelisah selalu merasuki pikiranku. Selalu mempengaruhi. Menyuruhku untuk tetap diam dan tak bertindak apa-apa pada mereka yang selalu menyakitiku. Aku terlalu lemah untuk melawan,” ujar lelaki pendiam itu.
Danny terdiam terpaku. Masih memandang jauh ke bawah. Matanya tertuju kearah anak-anak lain yang sedang bermain basket, kearah perempuan-perempuan yang sedang bercanda dengan temannya di bangku taman, kearah orang-orang yang selalu membuatnya terluka. Air matanya kembali mengalir melihat mereka. Rasa iri, benci, sesal, bergemelut dipikiran dan hatinya. Letih hidup sendiri ditengah keramaian. Lelah hidup di tempat yang seharusnya mudah untuk mencari seorang teman.
“Apa kau ingin punya teman?” Tanya pria itu.
“Untuk apa? Saat ini hal itu sudah tak ada gunanya lagi.”
“Apa kau ingin punya teman? Sahabat yang setia?” tanyanya lagi dengan nada lebih keras.
“Tidak!” tolak Danny. “Aku tidak butuh teman! Aku bisa hidup tanpa yang namanya teman!” tambahnya sedikit berteriak. Untuk beberapa detik mereka kembali terdiam.
“Kau bohong! Kau tidak bisa hdup tanpa yang namanya teman!”
“Aku bisa!” sergah Danny.
“Lalu, kenapa saat ini kau ingin bunuh diri!”
“Sudah aku bilang aku sakit, aku lelah, aku benci dengan diriku sendiri,”
“Tapi selama ini kau tidak hidup sendiri. Selalu ada aku disampingmu. Aku teman setiamu. Aku selalu ada disaat kau terluka. Disaat kau merasa sendirian,” kata pria itu.
“Ya. Tapi kau tidak pernah menolongku. Tidak pernah membantuku. Hanya berdiri memandangiku disaat aku letih dan tersiksa mereka,” balas Danny. “Karena sesungguhnya kau itu tidak ada! Kau hanya khayalan dipikiranku. Kau hanya cerminan diriku yang lain. Kau adalah sosok karakteryang aku inginkan. Karakter yang tercipta dari kepingan-kepingan rasa sakitku. Kau terwujud secara tak sengaja dipikiranku selama ini. Kau ada karena aku menginginkan kau ada,” tambah danny.
“Benarkah?” Tanya pria itu menyindir.
“Kau tidak nyata. Aku bisa saja menghilangkan wujudmu semauku. Ini adalah puncak kesakitanku. Kau tak akan bisa menenangkan hatiku lagi. kau tidak akan bisa mencegahku lagi. tak ada kata darimu yang bisa membuatku membatalkan rencanaku untuk melompat dari sini,”
Danny memanjat kembali pagar yang tinggi itu dan kini dia sudah berada disisi yang satunya. Di luar pagar dan tepat beberapasenti dari kakinya adalah kebebasan. Dia ingin terbebas dari belenggu sifat diam yang menjeratnya selama ini.
“Danny, percayalah. Akan ada orang yang mau jadi temansetiamu. Bukan hanya teman. Tapi sahabat sejati. Sahabat yang akan mengerti kepribadianmu. Bukan hanya mengerti, tapi juga sahabat yang akan membantumu terbebas dari sifatmu. Beri hatimu kesempatan sekali lagi. Tahan rasa sakit itu sedikit lagi,” ujar pria dibelakangnya yang kini tampak transparan.
“Sudah terlalu lama aku menahan perih ini. Aku sudah tidak sanggup lagi,” Danny melebarkan tangannya. Merasakan belaian angin mengalir, menyapa dirinya. Mengajaknya terbang.
“Percayalah, tahan rasa sakit itu sekali lagi. percayalah pada hatimu, pikiranmu, percaya pada dirimu sendiri. Kau tidak sendirian di dunia ini. Jika kau mau mencari, banyak sekali orang yang sifatnya seperti dirimu dan banyak pula orang yang merasa hidupnya tersiksa oleh kepribadian seperti dirimu,” ucap pria khayalan itu sebelum akhirnya dia lenyap bersama hembusan angin.
Pikirannya sudah terhenti, perlawanan diri sendiri yang coba dia tuangkan dalam sosok lain untuk menyelamatkan dirinya kini sudah sirna. Kini dia tak butuh lagi nasihat dan pertimbangan dari sosok lain dirinya tersebut. dia masih terdiam. Memandang ke bawah tanpa rasa takut sedikitpun. Namun detik itu, dirinya mulai ragu, tekadnya sedikit goyah, dan opini-opini bergemelut menjejali otaknya. Kini dirinya menimbang-nimbang, berpikir logis, dan mengingat-ingat perkataan pria fatamorgana itu yang tak lain kata-kata dalam hatinya sendiri.
Dia melihat ke bawah, seorang lelaki sedang dipukuli oleh teman-temannya sendiri, atau seorang gadis yang sedang berjalan mengikuti sekelompok perempuan berpenampilan modis. Gadis itu rela dimanfaatkan oleh yang lainnya hanya demi menjadi teman mereka meski hal itu hanya sia-sia belaka. Tapi itu lebih baik daripada Danny, semenjak dia masuk ke sekolah tersebut, tak sekalipun dia pernah berusaha untuk menjalin pertemanan.
Dia bertanya dalam hati apa itu semua salahnya sendiri? Apakah kesakitan itu datang karena kesalahnya sendiri? Salah karena telah hidup dalam diam? Haruskah dia mencari seorang sahabat? Sahabat yang bisa membantunya keluar dari jerat ‘diam’ itu.
Dia harus mencoba sekali lagi. dia menggenggam erat pagar itu dengan kedua lengannya.
“Hey lihat si patung mau bunuh diri!” seru seorang siswa. Semua orang kini melihatnya. Beragam ekspresi terpampang jelas di wajah mereka. Sebagian malah tersenyum meledek kearah Danny, bahkan ada yang bertaruh bahwa Danny tak akan berani terjun dari sana.
Danny kembali bimbang. Senyuman kepuasan dan rasa ketidakpedulian mereka akan kehidupannya membuat lubang dihatinya semakin menganga.
“Lebih baik mati!” tegasnya dalam hati. Danny melepaskan satu persatu jari-jari tangannya dari pagar itu. siap untuk terbang tapi seorang perempuan meneriakinya. Membuatnya kembali memegang erat pagar besi tersebut.
“Apa yang kau lakukan!” teriak gadis itu.
“Kau akan lihat!” balas Danny. Kali pertamanya dia bicara pada gadis itu.
“Bunuh diri bukanlah solusinya,” kata gadis itu mendekati Danny.
“Lihatlah senyuman licik mereka yang mengharapkan aku mati,”
“Jika kau mati, itu hanya akan membuat mereka tersenyum. Jika kau mati, kau kalah dan itu artinya kau mebiarkan mereka menang semudah itu?”Tanya gadis itu membentaknya.
“Kau tahu siapa aku?” tanyanya. Danny hanya menggeleng. “Banyak yang menderita disini, bukan hanya kau. Aku tahu apa yang kau rasakan saat ini karena aku juga mengalaminya. Apa kau tidak lihat tubuh dan wajahku yang jelek ini? Fisik ini yang membuatku sakit. Membuat mereka tertawa. Membuat hatiku terluka. Bukan hanya itu, aku adalah gadis bodoh. Gadis paling bodoh disini. hal itu membuat beban hidupku semakin besar. Membuat hatiku sangat hancur,” ujar gadis itu sembari mengucurkan air mata.
“Aku tahu bagaimana rasa sakit itu. tapi… tak pernah sekalipun dalam pikiranku untuk mengakhiri hidupku karena itu sama saja artinya membiarkan mereka menang. Menurutku lebih sulit melawan pribadi sendiri dari pada melawan mereka. Jika kau tak bisa melawan sifatmu itu? bisakah kau melawan mereka?” Tanya gadis itu.
Danny menggelang. Mengisyaratkan padanya bahwa itu adalah hal yang sulit.
“Jika kau tidak bisa melakukan hal besar, bisakah kamu bertahan dari serangan mereka. Jangan sampai mereka berhasil menerobos pertahanan hatimu selama ini?” Tanya gadis itu mendekatinya.
“Sulit,” ucap Danny lirih tak kuat lagi menahan perih.
“Aku akan membantumu. Aku mau jadi temanmu. Jika bisa aku ingin jadi sahabatmu,”
“Maukah?” Tanya Danny. Gadis itu menggenggam erat lengan Danny sembari mengangguk pelan.
“Tentu. Aku butuh teman, kau butuh teman. Bukan hanya teman setia apalagi biasa, kita bisa menjadi sahabat. Sahabat sejati. Dengan besama-sama rasa perih itu bisa kita tahan. Tak peduli mereka bilang apa. Tak peduli sekeras apapun mereka menghina dan menyiksamu. Kau tidak akan pernah kalah. Kau, aku, kita akan menang. Karena kali ini kau tidak sendiri. Ada aku disini. Dan lihatlah ke bawah sana. Ada banyak orang seperti kita namun hingga saat ini mereka tetap bertahan. Menahan rasa sakit itu hingga akhir. Bersabar dan percayalah suatu saat kita akan menang. Suatu saat bisa kita tunjukan bahwa kita mampu seperti mereka dan mereka akan kagum pada kita dan menyesal atas apa yang selalu mereka lakukan pada kita,” ujar gadis itu pasti. Danny memandangnya lekat-lekat. Melihat semangat yang luar biasa diantara rasa perih yang juga coba gadis itu tahan.
“Sekarang ikutlah bersamaku sahabatku. Jangan melompat kesana,” ucap gadis itu. Danny mengangguk. Dan akhirnya diapun membatalkan rencana bunuh diri tersebut. Di tengah terik matahari mereka saling menatap.
“Maukah kau berkenalan denganku?” Tanya gadis itu. Danny mengangguk.
“Kenalkan namaku Shanty,” ucap gadis itu.
“Aku Danny.”
Mereka saling berjabat tangan. Menjadi sahabat. Sahabat sejati. Sahabat yang saling mengerti perasaan masing-masing. Sahabat yang akan menolong dikala kesakitan. Sahabat yang akan menghibur dikala perih itu datang. Sahabat yang akan ada disaat mereka berdua tersakiti dunia dan teraniaya oleh kepribadian.
Meskipun rasa perih itu tidak hilang. Meskipun rasa sakit itu tak kunjung pergi. Tapi mereka menyadari. Terutama Danny, rasa sakit itu semakin berkurang dan lubang di hati yang sebelumnya terbuka kini mulai tertutup lagi. ini semua berkat sosok yang bernama sahabat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H