Lihat ke Halaman Asli

New Signs*1:Kematian Mimpi 26 Mei 2012

Diperbarui: 25 Juni 2015   02:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

By: ACL

Aku berdiri di sudut ini. Mungkin sudah berjam-jam berlalu. Aku terus berdiri di samping belakang ibuku. Terkadang mengikutinya berjalan kian kemari melakukan hal-hal yang tak aku mengerti. Aku tidak merasa lelah. Aku berjalan tapi tidak seperti berjalan. Aku serasa melayang namun kakiku jelas-jelas menginjak tanah.

Sudah berjam-jam berlalu. Aku heran banyak sekali orang-orang yang berdatangan. Aku tak ingat apapun tentang ini. Apa ibuku mengadakan pengajian disini? Kenapa mereka semua tampak sedih? Berduka cita seperti tengah kehilangan seseorang.

Aku lihat ibuku berjalan ke ruangan lain. Dia terduduk di depan sesuatu di ruangan itu. sesuatu yang tertutup kain putih. Aku ingin melihatnya namun para orang tua menghalangi pandanganku. Di samping sesuatu yang tertutup kain putih itu aku melihat sebuah foto dan plat nama yang ditulis spidol hitam di samping foto tersebut. DANI RAMDANI nama yang tertulis disana. Membuat aku terkejut bukan kepalang dan ketika kulihat baik-baik foto tersebut ternyata itu adalah foto diriku sendiri.

Aku terdiam membisu, terpatung kaku, tubuhku gemetar, lunglai namun kenapa diriku tidak terjatuh tidak tersungkur ketanah atau pingsan. Diriku seakan seonggok besi. Kaku. Sungguh aku tidak percaya dengan apa yang aku lihat ini. Ini… mustahil. Sebenarnya apa yang tengah terjadi disini? Kenapa mereka bermuram durja? Kenapa ibuku bersedih hati? Apa yang dia tangisi? Apa yang ada dibalik kain putih itu?

Aku bergerak maju. Menyisip diantara orang-orang. Mencoba mendekati ibu. Cuma ada ibuku disini. Tak ada orang yang aku kenal lagi selain ibuku di ruangan ini. Wajah yang lainnya tampak asing. Aku tak mengenal mereka. Di ruangan ini tak ada ayahku, Ayah tiriku, Kakakku dan istrinya, atau keluarga besar ibuku. Kemana mereka? Dan rumah siapakah ini? Aku tidak kenal dengan rumah ini?

Aku melihat dengan pasti apa yang ada dibalik kain putih itu. itu… aku.. itu tubuhku… bagaimana mungkin? Sebenarnya apa yang telah terjadi? Apa aku sudah mati…?

“Aku mati?” tanyaku tak percaya. Kapan aku mati? Apa ini mimpi? Ya! Ini pasti mimpi! Bukankah aku sudah sering mimpi tentang kematian dan hari kiamat? Ini pasti salah satu mimpiku. Aku harus keluar dari mimpi yang menyesatkan ini!

Aku pejamkan mataku. Namun mimpiku tak beralih juga. aku terus berada di ruangan ini. Aku tidak bisa mengenyahkan mimpi ini. Apakah ini nyata? Kalau aku sudah mati? Aku lihat ibuku mulai melekatkan kain kafan itu di jasadku sembari berurai air mata, menahan isakan tangis.

Dia mengusap lembut pipi dingin lelaki itu.

“Dani, ibu sayang kamu…” ucapnya berbisik di telinga tubuh yang tak lain adalah jasadku.

“Ibu, apa ibu tidak bisa melihatku? Aku disini ibu. Disamping ibu,” ucapku padanya. Namun ibu dan semua orang yang ada disini tak menyadari keberadaanku. Mereka berjalan lalu lalang, bicara, berduka cita namun tak dapat merasakanku. Arwahku.

Aku berharap ada seseorang di rumah ini yang dapat melihatku. Aku hanya ingin bilang bahwa aku ada disamping ibuku. Aku ingin memberi petunjuk pada semua orang bahwa aku ada di rumah ini.

“Ibu… aku disini..” ucapku menangis. Namun dari mataku tak keluar setetes air matapun.

Aku memandangi beberapa orang di ruangan ini, mengira-ngira adakah orang yang dapat melihatku. Sekali saja. Orang yang mau menyampaikan pesanku pada ibuku sebelum aku dikuburkan. Di ruangan ini ada pak ustad, pak haji, para santri. Aku harap ada dari mereka yang bisa melihatku.

Pandanganku langsung tertuju pada pak ustad yang baru saja datang dan duduk di sudut lain ruangan ini. Segera, aku menghampirinya…

“Pak, bapak bisa melihat saya?” tanyaku disampingnya. Namun pak ustad itu terdiam membisu dengan tatapan memandang kosong kedepan.

“Pak, lihat kemari. Aku ingin ngomong sesuatu sama bapak,” ucapku teguh.

“Pergilah! Pergilah dari dunia ini! Tempatmu sekarang bukan disini! Pergilah! Jangan mengganggu keluargamu dan pemakamanmu,” ucap pak ustad itu padaku tanpa sedikitpun melirik ke arahku.

“Aku hanya ingin bicara sebentar sama bapak. Aku cuma mau bilang…”

“Cukup!!! Pergi kau setan!” teriak pak ustad itu padaku. Semua orang memandangnya keheranan.

“Kenapa pak?” tanya ibuku mendekatinya.

“Anak ibu ada disini. Dia tidak mau mati dalam tenang,” ucapnya.

“Dani? Dimana?” tanya ibu.

“Di hadapanmu,” ucapnya.

“Dani, benarkah kau ada disini?” tanya ibu berurai air mata.

“Iya bu, ini aku. Aku disini,” ucapku tapi aku tahu dia tak akan bisa mendengarkanku.

“Dani, pergilah. Sekarang tempatmu bukan disini lagi. pergilah dengan tenang. Jangan mengganggu keluargamu,” ucap pak ustad ke arahku seakan mengusir.

Aku mengangguk. Tak mengelak lagi. Aku juga tak sanggup melihat kesedihan ibu yang menderu-deru. Aku tak sanggup melihat tangisnya. Tapi ada hal yang masih mengganjal di hatiku sampai detik ini.

“Sebelum aku pergi aku ingin bertanya satu hal. Apa yang terjadi? Bagaimana aku mati?” tanyaku.

“Kamu dan kakakmu mengalami tabrakan. Kakakmu sedang kritis di rumah sakit dan kamu… meninggal,” ujarnya. “Sekarang pergilah dengan damai,” tambahnya.

Alasan sederhana. Kematian dengan alasan yang terlalu sederhana untuk membuat arwahku gentayangan. Mereka bilang manusia yang mati dan arwahnya gentayangan hanyalah orang-orang yang masih mempunyai urusan dengan dunia dan mempunyai alasan yang cukup kuat. Tapi bagiku apakah alasan tabrakan sederhana itu cukup kuat? Ataukah adala alasan kuat lain?

Aku bergerak menuju keluar rumah. Aku dengar ibuku masih menangis dengan histeris. Pak Ustad dan yang lain berusaha membuatnya tenang.

Alasan lain? Urusan lain? Hari apa sekarang? Aku coba gali kembali memori dalam ingatanku yang kian detik kian redup. Tapi aku tak bisa ingat apa-apa kecuali kenangan terakhir. Detik-detik terakhir dimana aku dibonceng kakakku dengan motornya.

Aku terdiam tersudut. Terpatung kaku. Terpaku dalam waktu yang membeku. Aku duduk diujung jalan. Sendirian, terpuruk dalam ketidakpastian. Meringkuk tanpa ada orang-orang disekitarku. Di dimensi baruku…

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline