Siapa tak kenal patung tani, atau lebih familiar disebut tugu tani. Terletak strategis di kawasan Menteng, Jakarta Pusat.
Terpahat sepasang tokoh pria dan wanita yang lazim disebut petani. Sang pria mengenakan pakaian layaknya sedang berladang dan capil yang menutupi kepalanya. Kemudian sang wanita memakai kebaya sambil menyerahkan bekal makanan untuk sang pria. Namun, bukannya cangkul atau alat pertanian lain yang dibawa sang pria layaknya umumnya petani. Sang pria tersebut menenteng senjata laras panjang yang dipasangi bayonet pada ujungnya. Tanda siap berperang.
Hal tersebut menuai kontroversi selama ini. Patung tersebut identik dengan isu "Angkatan Kelima" gagasan PKI tentang buruh dan petani yang dipersenjatai. Diketahui sejak tahun 1962, Indonesia memiliki empat angkatan bersenjata yaitu Angkatan Darat, Laut, Udara, serta Kepolisian. Lalu, pada tahun 1991 kepolisian dan ABRI resmi berpisah. Kemudian isu angkatan kelima ini menyeruak pada Januari 1965 ketika Perdana Menteri Cina menawarkan bantuan 100.000 unit senjata api. Pihak Angkatan Darat melalui Jend. Yani menolak rencana angkatan kelima tersebut, menurutnya jelas menimbulkan situasi bahaya apabila buruh tani yang tidak terlatih kemudian dipersenjatai. Hal tersebut nampaknya pecah menjadi peristiwa gestok, selain kurang mesranya hubungan Angkatan Darat dan PKI.
Namun agaknya hal tersebut kurang relevan. Patung tugu tani tersebut selesai dibuat pada tahun 1963, selang dua tahun sebelum pecahnya gestok. Presiden Soekarno kala itu sedang berkunjung ke Uni Soviet pada tahun 1959, awalnya beliau terkesima dengan tata kota dan patung-patung di negara tersebut. Atas dasar itu lah, Presiden Soekarno ingin membuat semacam patung perjuangan yang bercirikan kearifan lokal Indonesia. Ditunjuklah pemahat bapak-anak Matvey Manizer dan Ossip Manizer oleh PM Uni Soviet.
Bagi Soekarno, petani adalah cerminan bangsa Indonesia saat itu. Nilai nilai kerakyatan tergambar pada sosok petani. Petani turut pula berjasa dalam merebut kemerdekaan. Mereka menyediakan pangan dan bahkan ikut membantu gerilya. Ketersediaan pangan menentukan hidup dan matinya suatu bangsa. Setelah selesai pada tahun 1963, patung tersebut diberi nama "Patung Pahlawan". Meskipun lebih familiar disebut tugu tani atau patung tani. Tertera pula kalimat sakral dari sang Proklamator yang dikenang hingga kini
"Hanja Bangsa jang Menghargai Pahlawan Pahlawannja dapat Menjadi Bangsa jang Besar".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H