Lihat ke Halaman Asli

Auzi Diesta

Mahasiswa Universitas PGRI Madiun

Transformasi Seleksi PTN Tuai Kontroversi

Diperbarui: 28 Desember 2022   19:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Sistem seleksi Perguruan Tinggi Negeri (PTN) yang akan direalisasikan pada tahun 2023 nanti memicu polemik di masyarakat. Penghapusan Tes Kemampuan Akademik (TKA) dan dibukanya kesempatan bagi angkatan tahun sebelumnya menimbulkan persaingan yang lebih ketat serta peluang lolos yang semakin mengecil. Tes Kemampuan Akademik merupakan faktor penting yang seharusnya tetap dipertahankan dalam ujian seleksi masuk perguruan tinggi.

Pada Konferensi Pers "Merdeka Belajar Episode 22 : Transformasi Seleksi Masuk Perguruan Tinggi Negeri (PTN) yang dilaksanakan pada Rabu, 7 September 2022. Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi, Nadiem Makarim mengungkapkan atas penghapusan TKA dan perubahan istilah seleksi. SNMPTN menjadi SNBP (Seleksi Nasional Berdasarkan Prestasi), sedangkan SBMPTN menjadi SNBT (Seleksi Nasional Berdasarkan Tes).

Nadiem mengatakan alasan dihapuskannya TKA karena membuat peserta didik harus banyak menghafal banyak materi pembelajaran di sela kegiatan sekolah sehingga menghabiskan waktu siswa. Menurut Nadiem adanya TKA mendorong semua siswa yang mengikuti seleksi untuk mempersiapkan diri dengan mengikuti bimbingan belajar. Orang tua dan guru juga berperan dalam memberi fasilitas belajar tersebut untuk menunjang siswa.

Tidak ada lagi tes mata pelajaran, sehingga hanya terdapat Tes Potensi Skolastik (TPS) yang mengukur potensi kognitif, penalaran matematika, literasi dalam bahasa Indonesia dan literasi dalam bahasa Inggris pada masing-masing siswa.

Perubahan skema seleksi masuk Perguruan Tinggi Negeri (PTN) ini dianggap mendadak dan merugikan terutama bagi siswa kelas 3 SMA dikarenakan akan mempersiapkan diri untuk mengikuti seleksi tersebut. Dampaknya adalah siswa tidak bisa fokus pembelajaran di sekolah karena memikirkan perubahan ini, dari awal mereka hanya berpacu pada skema seleksi tahun sebelumnya.

Dari kalangan masyarakat, siswa dan orang tua timbul banyak pendapat pro dan kontra terhadap kebijakan ini. Ada yang beranggapan bahwa skema seleksi masuk PTN ini tidak membatasi siswa dalam menentukan program studi sesuai minat dan bakatnya, sehingga dapat mengembangkan kemampuan yang dimilikinya. Siapa pun dapat mengikuti seleksi ini tanpa melihat kurikulum sebelumnya.

Perubahan skema seleksi ini juga menguntungkan para guru karena guru dapat memfokuskan semua mata pelajaran kepada siswa sama rata. Peserta didik yang kurang mampu juga dapat mengikuti dan mendapat kesempatan yang sama. Konsep penalaran yang diterapkan dalam seleksi ini dianggap adil dan memberi kesempatan sukses bagi peserta didik di lingkungan kerja.

Terdapat juga pendapat kontra seperti dari Anggota Komisi X DPR RI dari Fraksi NasDem, Ratih Megasari Singkarru yang menyerukan penundaan. Ia khawatir penerapannya akan menimbulkan persoalan baru dalam pembelajaran. Masih banyak yang harus di evaluasi agar dalam penerapannya sesuai apa yang diharapkan. Jika ingin menerapkan tes masuk PTN dengan menghilangkan tes potensi akademik, harus terlebih dahulu diterapkan secara holistik. Misalnya dimulai dari jenjang sekolah yang paling dini, yaitu sekolah dasar (SD).

Jalur seleksi melalui prestasi dianggap merupakan ketidakadilan, yang terpilih hanya sekolah-sekolah yang terakreditasi A dan B, sedangkan prestasi siswa dapat melampaui jenjang sekolahnya. Jika kebijakan ini diterapkan, dikhawatirkan akan terjadi stagnantasi pada saat masuk di dunia perkuliahan.

Saya rasa sebaiknya Tes Kemampuan Akademik (TKA) ini tidak dihapuskan, karena secara tidak langsung kebijakan ini akan mempengaruhi kualitas pendidikan di Indonesia. Tes Kemampuan Akademik merupakan tes yang menguji materi dasar pembelajaran, jika tes ini dihapus dikhawatirkan peserta didik tidak memiliki bekal saat memasuki dunia perkuliahan nantinya.

Sepertinya menteri Nadiem menggunakan referensi pendidikan di luar negeri yang tidak memiliki penjurusan, namun menurut saya skema ini tidak cocok diterapkan di Indonesia. Dilihat dati kurikulum lama yang menjurus IPA atau IPS, sehingga tidak mudah mentransformasikan sebuah kebijakan baru dengan harapan akan terealisasi dengan baik.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline