"maaf ya, kamu ga lolos tahap pemberkasan." Satu kalimat yang tidak ingin aku dengar. Semua usaha, tenaga, dan pikiran aku kerahkan untuk kompetisi ini. Tapi di tahap pertama aku sudah gagal. Mereka di luar sana tinggal ngomong, 'belum rezeki, bisa dicoba lagi' tapi mereka tidak merasakan apa yang aku rasakan. Apa yang aku perbuat. Apa yang aku siapkan.
Terdengar ketukan pintu dari luar. Lantas aku membuka dan menemui mama sedang berdiri dengan nampan di tangannya. "Raka kenapa?" aku hanya menjawab dengan gelengan kepala. Mama tersenyum lantas menebak apa yang terjadi. "Ga lolos kompetisi?" aku mengangguk dan mulai berkata, "Iya ma. Di tahap awal aja aku udah gagal. Baru juga tahap pemberkasan." Mama hanya tersenyum.
"Masih banyak yang belum Raka explore di dunia ini. Masih ada tahun depan Raka. Di dalam satu tahun ini, kamu bisa mengexplore yang belum kamu explore. Lalu tahun depan kamu coba lagi kompetisi itu dan mama yakin kamu pasti lolos." Aku bertanya-tanya, mengexplore apa? Mama hanya menjawab dengan ssenyuman dan mulai bercerita.
"Dulu mama itu suka sekali tenis. Mama dari TK sudah ikut nenekmu latihan tenis. Sampai waktu SD mama diikutin lomba dan menang. Disitu mama mulai berharap kalau bisa jadi atlet tenis. Mama tekuni semuanya. Latihan setiap hari, dari siang sampai adzan maghrib, waktu hari libur latihan, waktu ujian mama dapet dispen untuk latihan, semua mama lakuin.Berkali-kali mama ga lolos kompetisi. Tapi apa? Mama ga nyerah. Mama bakal evaluasi apa yang salah dari permainan mama. Dari hasil evaluasi itu, mama perbaiki. Mencoba lebih baik dari sebelumnya. Melihat teman-teman mama yang sudah jauh di atas mama, bikin mama termotivasi untuk bisa menjadi mereka. Karena satu Raka." Lantas mama terdiam dan aku menunggu jawaban dari mama. "Guru terbaik itu adalah pengalaman kamu sendiri. Apa yang kamu lihat dan kamu rasa, hanya kamu yang tahu. Dan hanya kamu yang mengerti dan bisa bagaimana perasaan itu diolah."
Aku terdiam dan mulai mencerna perkataan mama. Mama pun lanjut bercerita. "Akhirnya, waktu mama kelas sebelas, ada pemilihan atlet tenis se-Jawa Timur. Mama sudah lolos saat itu. Hanya tinggal menunggu waktu keberangkatan. Tetapi itu semua sirna karena suatu sore. Waktu itu, mama mengendarai motor dan mengalami tabrakan yang cukup parah. Kaki mama hampir lumpuh. Mama tidak bisa berlari, bahkan berjalan pun mama tidak bisa. Impian mama lenyap saat itu. Nangis, marah, kesal menjadi satu. Semua yang mama bangun dari TK, sirna karena kecelakaan itu. Kecewa? Banget Raka. Tapi kalau kecewa saja tapi tidak ada aksi, ya sama saja bohong. Akhrinya pikiran mama bergelut dan mengikhlaskan pemilihan atlet itu. Mama bertekad untuk sembuh."
Mama mengambil nafas, lalu melanjutkan. "Akhirnya mama sembuh dan tidak menjadi atlet. Mama mengubur mimpi mama dan memilih untuk menjadi ibu rumah tangga untuk mengurusmu. Karena mama yakin, pengalaman yang mama dapatkan dari TK hingga SMA itu akan membuahkan hasil. Kamu lihat sekarang, mama bisa menjadikan tenis itu sebagai hobi dan itu memberikan mama teman-teman baru. Jadi Raka, perjalananmu masih panjang. Pengalaman yang kamu dapatkan sekarang masihlah sedikit. Kamu harus semangat dan mengevaluasi apa yang salah dari tahun ini dan memperbaiki untuk tahun depan. Sedih boleh, tapi besok harus semangat lagi ya nak?" Aku tersenyum lantas memeluk mama. Mama benar. Guru terbaik ialah pengalaman dan diri kita sendiri. Karena yang mengerti perasaan, ya kita sendiri. Yang bisa mengubah untuk menjadi lebih baik, ya kita sendiri. Bukan mama, papa, maupun orang lain.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H