Lihat ke Halaman Asli

Hujan di Malang (2)

Diperbarui: 4 November 2023   15:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerbung. Sumber ilustrasi: pixabay.com/Yuri B

Malang, 10 November 2022

Jam pelajaran terakhir di hari ini ialah matematika. Tiga puluh dua orang di kelas sedang memikirkan bagaimana solusi untuk memecahkan persoalan-persoalan di kertas yang berjumlah 20. Begitupun aku. Aku selalu mencoba semua cara untuk bisa menemukan jawaban dari soal nomer 9. Tatkala aku mengedarkan pandanganku ke jendela kelas. Terlihat di sana awan mulai menggelap dan angin menyapa kasar dedaunan di pohon. Melihat dedaunan yang bergerak kesana kemari mengikuti pergerakana air. 

Terlihat seekor tupai berada di ranting pohon yang kebingungan ia akan menuju kemana untuk tempat perlindungan dirinya dari air hujan yang akan menghujam antero malang. Di sela-sela arenunganku, terbesit di pikiranku suatu rumus yang belum aku gunakan sebelumnya. Maka aku cepat-cepat menulis rumus itu dan mulai mengerjakan ulang soal tersebut. Ketemu! Lantas aku melanjutkan memecahkan persoalan di nomer berikutnya hingga tuntas.

"Akhirnya selesai juga hari ini. Hari ini gila banget, kita ada 3 ulangan." Ucap Ova, sahabat baikku. "Iya, resiko sekolah disini Va. Akademiknya harus ditingkatin." Ia mengangguk lantas kami berjalan keluar kelas untuk bersantai di balcon depan kelas kami yang berada di lantai dua. Air mulai jatuh secara perlahan. Kami berdiam selama satu menit dan air mulai jatuh dengan cepat secara beriring-iringan. Lantas, kami membahas suatu topik yang sudah semestinya kami bahas di masa akhir sekolah menengah pertama kami. 

Tentang kita akan lanjut kemana setelahnya. "Kamu mau lanjut mana Ren?" Ucap Ova sembari menjulurkan tangannya agar dibasahi oleh beberapa rintik air hujan. "Aku mau lanjut di sebelah Va. Biar sekalian 6 tahun di Jalan Bandung." "pasti bisa masuk disana kamu Ra, kamu kan pinter.Aku hanya megamini dan mulai bermain air dengan Ova. Ia juga bercerita bahwa ia akan mengejar salah satu SMA Negeri di Malang. Aku pun mendukung keputusannya. Walau akhirnya kami tidak akan berlari bersama di satu lintasan lagi, tetapi aku akan tetap mendukungnya di lintasan lain. 

"Katanya kalau kita berdoa waktu hujan itu, mudah dikabulkan Ra. Soalnya hujan itu kan rahmat Tuhan yang lagi turun." Aku menyetujui perkataan Ova, "iya bener. Aku juga pernah denger itu. Ayo kita berdoa supaya kita bisa masuk SMA impian kita." Ova mengangguk dan berteriak "Ya Allah, semoga bulan Juli aku ada di daftar siswa SMA Tugu." Aku pun menyusul, "Ya Allah, semoga bulan maret tahun depan aku bisa duduk di kelasnya MAN Dua." Kita tertawa sambil memainkan rintik hujan kembali. Kami layangkan doa tersebut dan berharap akan terjadi di waktu yang akan datang. 

Tentang hujan hari ini dan bagaimana aku mengetahui fakta bahwa tahun ini adalah tahun terakhirku duduk di kursi kelas sembilan. Tahun terakhirku bersama teman-teman yang sudah menemaniku dari kelas 7. Tahun terakhirku bisa menyapa Ova di setiap harinya. Menerima kenyataan bahwa tersisa tujuh bulan ini untuk berlari bersama-sama dengan Ova dan mereka.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline