Lihat ke Halaman Asli

Topeng

Diperbarui: 25 Oktober 2015   21:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hiburan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Suguhan musik yang dimainkan Iwan Fals semalam, benar-benar menggetarkan jiwa. Stadion Kridosono menggema dengan lagu-lagu kritik sosial. Alunan musiknya sungguh berkelas. Wajar jika fans bang Iwan (Orang Indonesia, Baca: OI) begitu militan, kemana dia manggung, selalu ada. Semalam, saya melihat 2 bus dari rombongan asal Pati, mereka nglurug ke Jogja demi melihat petikan gitar dan siulan harmonika dari bang Iwan. Itu belum termasuk rombongan dari luar kota yang lain.

Saya mendapatkan beberapa catatan menarik ihwal konser tadi malam. Pertama, ketika masuk antrian, saya membayangkan dengan kejadian (tragedi) di Mina bulan lalu, yang menewaskan ratusan orang. Bagaimana suasana yang mengerikan yang dialami oleh para jamaah haji di Mina itu? baru antri tiket saja seperti itu. Oh ya, bagaimana ya kabar terakhir kasus Mina itu? adem ayem kelihatannya.

Kedua, ribuan orang yang memadati stadion. Dari berbagai aliran, golongan dan sekte OI; tumplek blek, mereka rukun, tidak ada tawuran, gesekan sudah biasa karena menikmati lagu yang maha dahsyat. Para jama'ah Slankers dan OI rukun-rukun saja, walaupun mereka sama-sama mempunyai 'nabi' yang berbeda, tetapi mereka disatukan dalam rahim Indonesia. Saya kemudian berfikir, bisakah ormas Islam Indonesia ini berjiwa seperti penonton konser semalam? tidak perlu melakukan pelarangan ibadah dan takut dengan perbedaan, apalagi bawa pentung segala. Tugas kita adalah, bagaimana cara menyadarkan mereka, kalau kita itu orang Indonesia?

Masak sama kumpulan anak muda Rausyan Fikr yang diskusi tentang filsafat, takut sih? Masak berIslam harus kayak kamu semua?--kalau ditilik dari konser semalem--masak berjoged harus disamakan gayanya? Apabila gaya jogedmu tidak seperti ini, maka kamu sesat! sebegitukah? Justru dengan perbedaan seharusnya bisa menjadi kekuatan, seberapa besarkah kita bisa menghargai perbedaan berjoged atau ber-Islam?

Ketiga, adalah belajar dari sosok Bento. Semalem, Iwan Fals membawakan lagu bento. Bento itu orangnya licik. Dia selalu memanfaatkan kepentingan dan kekuasannya untuk menumpuk kekayaan dengan melakukan tipu muslihat. Ngalor-ngidul ngomongin soal moral dan keadilan, tetapi hanya dijadikan alat politik dan pembenar demi menggilas musuh-musuh politiknya. "Saya baru nyadar, kalau para koorporasi dan pembakar hutan itu orang-orang bento". Cetus Iwan Fals. Sebagaimana yang kita tahu bersama, kasus Asap, sampai saat ini belum juga usai.

Jangan dikira, yang terlihat di layar kaca sebagai sosok yang ksatria, baik, jujur, adil, tetapi dibelakang layar ternyata sebagai dalang kerusakan lingkungan, Siapa duga? banyak mereka melalui iklan di tivi-tivi, mengkampanyekan soal lingkungan, tetapi siapa sangka mereka adalah dalang dari semua itu? pembakaran hutan!

Dan atau, di mana-mana dia menggunakan topeng 'ke-KIAI-an, ke-Ustadz-an, dan ke-Ulama'an-nya. Tetapi, siapa yang bisa menyangka kalau kerusuhan, pertikaian antara saudara, dan peristiwa amuk massa itu justru dia sendiri skenarionya?

Jogja, 25-10-2015

   

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline