Lihat ke Halaman Asli

Refleksi Hijrah Nabi

Diperbarui: 17 Oktober 2015   17:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Tidak terasa, saat ini kita sudah masuk pada tahun 1437 Hijriyyah. Tidak seperti ketika datang Tahun Baru Masehi yang disambut dengan penuh semarak dan suka cita oleh seluruh elemen masyarakat di pelosok dunia. Akan tetapi, Tahun Baru Hijrah lebih disikapi oleh kaum Muslim dengan biasa-biasa saja. Tidak dengan semarak foya-foya pesta kembang api dan hingar bingar suara sepeda motor. Akan tetapi dengan renungan dan do’a bersama.

Ketika menjelang tahun baru kemarin, di sore harinya, kita membaca do’a akhir tahun bersama keluarga, dan seusai maghrib, kita membaca do’a awal tahun, ada juga di beberapa masjid yang mengadakan khataman al-qur’an dan pengajian. Inilah yang membedakan kaum Muslimin dengan umat yang lain.

Sehingga, momentum pergantian tahun hijriyah adalah sebagai ajang untuk merenungi kembali kondisi masyarakat kita saat ini. Tidak lain karena peristiwa Hijrah Nabi saw. sebetulnya lebih menggambarkan momentum perubahan masyarakat ketimbang perubahan secara individual. Perubahan dari masyarakat yang penuh dengan praktik-praktik kemusyrikan, menuju ketauhidan. Perubahan dari kemunafikan menuju sidiq, jujur, terpercaya. Perubahan dari kemaksiatan menuju ketaatan. Perubahan dari kesia-siaan menuju kemanfaatan.

Itulah sebenarnya hakikat dari pergantian tahun hijriyah. Bagaimana kita mampu merenungi kembali makna dari hijrahnya Nabi Muhammad Saw dari Makkah ke Madinah. Makkah sebagai simbol masyarakat jahiliyyah, penuh dengan praktik-praktik kemusyrikan, dan sifat kejam dari kalangan kafir Quraisy kepada Nabi, sehingga Nabi menuju Madinah, sebagai simbol masyarakat yang maju, madani dan berperadaban. 

Oleh sebab itu, tahun hijriyah ini mengingatkan kepada kita semua, sejauhmanakah hilangnya praktik-praktik korupsi dan ketidakjujuran di tengah-tengah kita? Kalau toh pada kenyataannya, para tokoh politik, jaksa agung, hakim, satu persatu diseret oleh KPK. Di sisi lain, sejauhmanakah umat Islam bisa berpikir maju tanpa memusuhi umat agama lain, baik dengan cara melakukan perusakan ataupun pembakaran tempat ibadah? Sehingga peristiwa yang terjadi di Aceh Singkil kemarin, seharusnya bisa dihindari. Karena pembakaran gereja hanya meninggalkan dendam dan kebencian, bukan semakin memajukan peradaban Islam. Apalagi momentumnya kemarin bertepatan dengan pergantian tahun baru hijriyah.

Bukan persoalan rumah ibadah siapa yang dirusak sebenarnya. Akan tetapi, persoalannya adalah kebencian dan ketidakmampuan kita hidup dengan sesama. Itulah yang fatal. Hal ini patut menjadi renungan kita bersama, tidak hanya umat Islam saja, namun juga umat-umat yang lain. Bahwa Indonesia tidak hanya milik umat Islam, tetapi juga milik umat-umat beragama yang lain.

Di dalam sebuah hadis, Nabi Saw bersabda.

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم :

“Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, ia berkata : “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda :

 لاَ تَحَاسَدُوا وَلاَ تَنَاجَشُوا وَلاَ تَبَاغَضُوا وَلاَ تَدَابَرُوا

“Kamu sekalian, satu sama lain Janganlah saling mendengki, saling menipu, saling membenci, saling menjauhi

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline