Lihat ke Halaman Asli

Lizz

TERVERIFIKASI

Ketika SMS Sudah Tak Praktis Lagi

Diperbarui: 24 Juni 2015   02:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tentu saja judul di atas adalah pendapat pribadi saya. Berdasarkan apa yang saya rasakan. Menurut analisa ngawur saya sendiri. Bisa saja orang lain berpendapat tidak sama. Itu adalah hak tiap orang.

Oke, sudah cukup intronya. Mari kita mulai konsernya.

SMS atau Short Message Service adalah layanan dari operator untuk pengiriman pesan singkat melalui ponsel. Ada tarif tertentu yang ditetapkan operator, yang besarnya bervariasi untuk pengiriman tiap SMS oleh masing-masing operator.

Munculnya layanan pesan pendek atau SMS ini sukses melibas habis layanan pager yang sempat booming di pertengahan tahun 90-an. Bila layanan pesan melalui operator pager hanya berlaku searah, maka SMS bisa cepat berbalas. Menjamin makin lancarnya komunikasi yang cukup murah (bila dibandingkan dengan telepon langsung) bagi dua orang atau lebih yang berbeda tempat. Apalagi ada tarif khusus yang lebih murah bila SMS dilakukan pada nomor yang berasal dari operator yang sama.

Saya cuma jadi penonton kejayaan pager. Tapi saya adalah penikmat kejayaan SMS. Apalagi kalau bukan sebagai jembatan hubungan serius saya dengan (calon) suami (saat itu)?

Sebagai karyawan kelas menengah (ke bawah), punya ponsel adalah suatu kemewahan tersendiri buat saya. Harga ponsel bekas saat itu sudah lebih dari gaji saya sebulan. Sudah menyentuh angka jutaan. Belum lagi harus beli nomor yang mahalnya minta ampun. Itu pun sudah bukan nomor yang cantik. Harganya sudah ratusan ribu sendiri.

Tapi namanya sudah kadung kasmaran (untungnya jadi suami-istri beneran), mbok yao sampe melet kecekik harga ya tetap saja semangat empat lima memburu ponsel (bekas) plus nomornya (baru). Nabung dulu. Bukan kredit. Jadi bisa rada sombong bilang beli cash! Tunai!

Dan mulailah saya berpetualang dari satu SMS ke SMS yang lain. Sambung-menyambung karena layanannya cuma maksimal 140 karakter. Kalau mau cerita panjang lebar sama si dia, siasatnya cuma satu, pakai singkatan sebanyak-banyaknya. Bikin puyeng. Kadang-kadang sampai dibelain bete juga.

Ketika teknologi makin berkembang dalam hitungan bulan, maka produsen ponsel pun mulai menggelindingkan produk dengan layar makin lebar, berwarna, dan bisa menampung tulisan SMS yang lebih panjang. Tak hanya 140 karakter saja. Bisa menulis SMS sekenyangnya. Tapi... operator kan tentunya tidak mau rugi. Tarifnya dipatok tetap maksimal 140 karakter per SMS. Sama juga bo'ong sih sebenarnya. Hanya saja tetap lebih praktis karena tidak usah berkali-kali tekan tombol send.

Belakangan muncul lagi layanan berbalas pesan melalui jalur internet. Chatting istilahnya. Dan ketika layanan internet dirasa semakin murah, maka booming-lah segala bentuk layanan berbalas pesan melalui internet ini. Diawali dengan layanan chatting berdasar kesamaan platform email (YM, GTalk yang sekarang sudah berubah jadi Hangouts, dll.). Kemudian berkembang menjadi lintas platform dengan menggunakan aplikasi khusus (ebuddy, nimbuzz, apa lagi ya... banyak pokoknya!). Dan berkembang lagi dengan munculnya BBM yang terkesan eksklusif. Dan makin berkembang lagi dengan munculnya OS Android untuk ponsel (dan tab).

Ponsel berbasis Android dengan cepat menguasai pasar. Karena rentang harganya luas. Bisa dibeli oleh yang berpenghasilan cekak maupun yang berpenghasilan maksimum. Tinggal pilih merk yang disukai dan harganya sesuai kantong. Ponsel berbasis OS Java pun mulai tergusur. Bahkan kabarnya BB pun mulai jatuh pamornya. Lebih-lebih ketika BBM pun pada akhirnya bisa dioperasikan melalui ponsel Android murah (merk lokal/merk Cina).

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline