Relevansi Pemikiran Ekonomi Islam Abu Yusuf
Oleh : M. Auritsniyal Firdaus
Alumni S1 Jurusan Muamalah Fakultas Syariah IAIN Walisongo Semarang
Mahasiswa S2 Prodi Hukum Bisnis Syariah Jurusan Hukum Islam Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Biografi Abu Yusuf
Nama asli Abu Yusuf adalah Ya’qub bin Ibrahim bin Habib bin Khunais bin Sa’ad al-Anshari al-Jalbi al-Kuhfi al-Baghdadi, lahir di Kufah pada tahun 133 H atau 731 M dan wafat di Baghdad pada tahun 182 H atau 798 M. Abu Yusuf belajar dari banyak ulama besar, antara lain seperti : Abu Muhammad Atho bin as-Saib al-Kufi, Sulaiman bin Mahran al-A’masy, Hisam bin Urwah, Muhammad bin Abdurahman bin Abi Laila, Muhammad bin Ishaq bin Yassar bin Jabbar, dan al-Hajjaj bin Arthah. Selain itu juga belajar dengan Abu Hanifah selama 17 tahun. meskipun ia sebagai murid Abu Hanifah, ia tidak sepenuhnya mengambil pendapat Abu Hanifah. Diantara murid-muridnya yang menjadi tokoh besar antara lain : Muhammad bin al-Hasan al-Syaibani, Ahmad bin Hambal, Yazid bin Harun al-Washiti, al-Hasan bin Ziyad al-Lu’lui, dan Yahya bin Adam al-Qarasy. Di sisi lain, sebagai salah satu bentuk penghormatan dan Pengakuan pemerintah atas keluasan dan kedalaman ilmunya, Khalifah Dinasti Abasiyah, Harun ar-Rasyid, mengangkat Abu Yusuf sebagai Ketua Mahkamah Agung (Qadhi al-Qudhah). Beberapa karya tulisnya yang terpenting adalah, al-Jawami’, ar-Radd ala Siyar al-Auza’i, al-Atsar, Ikhtilaf Abi Hanifah wa Ibn Abi Laila, Adab al-Qadhi, dan al-Kharaj. Salah satu karya Abu Yusuf yang sangat monumental adalah Kitab al-Kharaj (buku tentang perpajakan). Penulisan kitab al-Kharaj versi Abu Yusuf didasarkan pada perintah dan pernyataan Khalifah Harun ar-Rasyid mengenai berbagai persoalan perpajakan. jizyah, dan shodaqah, yang dilengkapi dengan cara bagaimana mengumpulkan serta mendistribusikan setiap jenis harta tersebut sesuai dengan syariah Islam berdasarkan dalil-dalil naqliah (al-Qur’an dan Hadits) dan aqilah (rasional). Sekalipun berjudul al-Kharaj, kitab tersebut tidak hanya mengandung pembahasan tentang al-Kharaj, melainkan juga meliputi berbagai sumber pendapatan negara lainnya, seperti ghanimah, fai, kharaj, ushr, jizyah, dan shodaqah, yang dilengkapi dengan cara bagaimana mengumpulkan serta mendistribusikan setiap jenis harta tersebut sesuai dengan syariah Islam berdasarkan dalil-dalil naqliah (al-Qur’an dan Hadits) dan aqilah (rasional).
Pemikiran Ekonomi Islam Abu Yusuf
Pandangan Abu Yusuf menekankan memenuhi pentingnya kebutuhan rakyat dan mengembangkan berbagai proyek yang berorientasi kepada kesejahteraan umum. Mengenai tentang pengadaan fasilitas infrastruktur, Abu Yusuf menyatakan bahwa negara bertanggung jawab untuk memenuhinya agar dapat meningkatkan produktifitas tanah, kemakmuran rakyat serta pertumbuhan ekonomi. Ia berpendapat bahwa semua biaya yang dibutuhkan bagi pengadaan proyek publik, harus ditanggung oleh negara. Pemikiran Abu Yusuf yang berkaitan dengan pengadaan barang-barang publik tersebut jelas menyatakan bahwa proyek irigasi sungai-sungai besar yang manfaatnya digunakan untuk kepentingan umum harus dibiayai oleh negara. Abu Yusuf menyarankan agar negara menunjuk pejabat yang jujur dan amanah dalam berbagai tugas. Dalam kerangka lain pula, Abu Yusuf berpendapat bahwa negara harus memberikan upah dan jaminan di masa pensiun kepada mereka dan keluarganya yang berjasa dalam menjaga wilayah kedaulatan Islam atau mendatangkan sesuatu yan baik dan bermanfaat bagi kaum muslim.
Abu Yusuf telah meletakkan prinsip-prinsip yang jelas selama berabad-abad, dikenal dengan canons of taxtion. Prinsip tersebut antara lain : kesanggupan membayar pajak, pemberian waktu yang longgar, bagi pembayar pajak, dan sentralisasi pembuatan keputusan dalam administrasi pajak. Sebuah studi perbandingan menunjukkan bahwa, beberapa abad sebelum keuangan publik dipelajari secara sistematis di Barat, Abu Yusuf telah berbicara tentang kemampuan untuk membayar pajak dan kenyamanan dalam membayar pajak. Dalam hal penetapan pajak, Abu Yusuf cenderung negara menyetujui negara mengambil bagian dari hasil pertanian dari para penggarap daripada menarik sewa dari lahan pertanian. Cara ini lebih adil dan tampaknya akan memberikan hasil produksi yang lebih besar dengan memberikan kemudahan dalam memperluas tanah garapan. Dengan kata lain, ia lebih merekomendasikan penggunaan sistem Muqasamah (Proporsional Tax) daripada sistem Misahah (fixed Tax) yang telah berlaku sejak masa pemerintahan Khalifah Umar hingga periode awal pemerintahan Dinasti Abasiyah.
Terhadap administrasi keuangan, Abu Yusuf mempunyai pandangaan berdasarkan pengalaman praktis tentang administrasi pajak dan dampaknya terhadap ekonomi. Penekanannya pada sifat adminitrasi pajak berpusat pada penilainnya yang kritis terhadap lembaga Qabalah, yaitu sistem pengumpulan pajak pertanian dengan cara ada pihak yang menjadi penjamin serta membayar secara lumpsum kepada negara dan sebagai imbalannya, penjamin tersebut memperoleh hak untuk mengumpulkan kharaj dari para petani yang menyewa tanah tersebut, tentu dengan pembayaran sewa yang lebih tinggi daripada sewa yang diberikan kepada negara. Setelah beliau membahas mengenai sistem pajak yang baru, beliau mengatur teknis ukuran pajak yang wajib dikeluarkan oleh wajib pajak (tax payer) dengan sistem muqasamah, beliau menyatakan : Aku berpendapat wahai Amirul Mukminin, bahwa tanah pertanian penghasil gandum dan jelai yang irigasinya alami, maka dikenai pajak 2/5 adapun yang teririgasi dengan menggunakan alat maka dikenai pajak 1/5,5. Adapun buah kurma, anggur, ruthab (kurma muda), dan perkebunan, maka dikenai pajak sebesar 1/3, dan perkebunan tersebut di saat musim panas dikenai pajak sebesar 1/3 dan perkebunan tersebut di saat musim panas dikenai pajak sebesar 1/4 (dari hasil panen), pengambilan pajak tersebut tidak boleh dengan kira-kira. Jika hasil panen tersebut dijual kepada pedagang, maka pajaknya senilai dengan yang telah ditentukan, jangan sampai para wajib pajak terbebani dan pemerintah pun jangan sampai rugi, maka ambilah dari wajib pajak yang sesuai denga kewajibannya, apapun pilihannya, yang terpenting meringankan bagi wajib pajak. Jika nilai dari jual hasil panen lebih meringankan, maka lakukanlah.
Melimpahnya hasil pertanian pada saat itu di Irak dan meledaknya industri dalam negeri, mengakibatkan berkembangan transaksi perdagangan internasional, para pedagang berpikir untuk mengekspor barang dagangan ke pasar internasional. Agar tidak terjadi over supply di dalam negeri. Adapun di dalam sistem perdagangan internasional ada sistem usyr atau bea cukai seperti yang sudah diterapkan Umar bin Khatab. Kemudian Abu Yusuf melanjutkan peraturan tersebut, dari pernyataan beliau dapat disimpulkan :
- Besaran pajak yang dikenakan adalah 2,5% bagi muslim, 5% bagi ahl dzimah, dan 10% bagi ahl harbi.
- Jika kaum muslimin melintasi pos be cukai dengan membawa barang dagangan dan bersumpah telah membayar zakat, maka 2,5% yang menjadi usyr tidak lagi dikenakan, karena usyr bagi kaum muslim adalah zakat.
- Barang yang diharamkan oleh Islam, lalu dibawa oleh orang kafir baik dzimmi maupun harbi, tetap dikenakan pajak jika nilainya mencapai atas minimal wajip pajak (200 dirham), karena barang-barang tersebut merupakan barang bernilai bagi mereka, walaupun bagi kaum muslim tidak bernilai.
- Batas minimal jumlah barang dagangan yang dikenakan pajak atau bea cukai adalah 200 dirham.
- Pajak bea cukai hanya dikenakan bagi yang melintas dengan barang dagangan, bukan barang pribadi yang dapat