[caption caption="Ilustrasi - pengamen cilik (TRIBUNNEWS/DANY PERMANA)"][/caption]Saat itu, hujan berderai di sekitar stasiun. Aku tidak tahu apakah hal yang sama terjadi di tempatmu, Kawan. Kuhitung beberapa tetesannya, hingga lama-lama aku tertidur sembari memangku koran.
Aku bermimpi bertemu dengan seorang bapak tua dengan semangat yang tak kalah dari semangat pemuda berumur 17 tahun. Entah mengapa aku menyimpulkannya sebagai seorang tua, padahal rambutnya jauh dari kata ubanan, senyumannya tak diikuti keriput atau lekuk-lekuk aliran keringat. Hanya saja, ia terlihat jauh lebih tua dariku. Tua pengalamannya. Aku yang hanya seorang loper koran adalah seseorang yang dangkal pengalaman dan rendah pengetahuan.
Si Bapak terlihat kalem. Kalem di awal ternyata pecicilan di tengah perkenalan. Si Bapak menggandeng seorang wanita sebaya dengannya. Wanita yang tak kalah semangat dengannya, tak kalah mempesonanya dengan si Bapak. Lalu, aku mulai memanggilnya dengan sebutan si Ibu.
Si Bapak dan Ibu ini menyapaku terlebih dulu. Dua batang lollypop susu disodorkan kepadaku. Aku sempat curiga jangan-jangan lollypop itu sudah diberi racun atau setidaknya obat tidur. Terbayang adegan di mana aku sedang mengemut-emut lollypop dengan beringas, lalu aku tiba-tiba pingsan dan si Bapak Ibu itu menjarah barang-barangku dan kabur meninggalkanku, membiarkanku jadi gelandangan. Namun, setelah kupikir-pikir, barang apa yang bisa mereka rampas dariku? Koran-koran pagi yang hingga semalaman ini belum juga laku?
Aku menerima lollypop susu yang terlihat mahal itu. Aku cicipi dan aku biarkan rasanya meleleh di permukaan lidahku. Manis dan legit. Manis sekali, meskipun itu ada di dalam mimpi. Aku tahu ini mimpi dan aku masih tak ingin terbangun: karena aku pikir ini akan menjadi mimpi yang sangat indah; karena aku mengharapkan hal-hal lain yang lebih menakjubkan terjadi setelah aku menghisap lollypop ini; karena aku merindukan sosok bapak dan ibu yang belum pernah kuraba jemari tangannya sama sekali.
Aku menatap wajah Bapak dan Ibu itu. Mereka tersenyum haru. Seolah-olah adegan seorang loper koran mengemut lollypop merupakan adegan paling mengharukan yang pernah mereka temui sepanjang hidup mereka. Si Ibu mendekat, seolah-olah akan mengatakan sesuatu. Dia semakin dekat dan dekat hingga wajah kami hanya berjarak beberapa senti. Tiba-tiba bibirnya mendekat ke telinga kananku dan berbisik, "Dek, mau nggak ngamen bareng kami? Kami kekurangan personel nih. Kami pernah dengar suara adek loh. Nggak parah-parah amat nyanyinya."
Belum sempat aku terkaget, si Bapak itu sudah mengimbuhi, "Iya, Dek. Kami butuh vokalis. Aku main perkusi dan harmonika, sedangkan istriku terbiasa main gitar sambil menyanyi, tapi sayang sekali suaranya sangat tidak enak didengar!" kata si Bapak sambil melirik ke arah si Ibu yang sekarang sedang melemparkan tatapan mematikan kepadanya. Si Bapak lantas mengangguk-angguk minta maaf kepada si Ibu yang tersenyam-senyum palsu. Aku bisa menebak si Ibu pasti sedang menunda emosinya yang sebetulnya siap meletus.
Aku harus mencerna tawaran mereka setidaknya selama semenit. Hingga mereka panik dan mengira aku pingsan sambil melotot, aku masih enggan menanggapi tawaran mereka. Aku memikirkan kawanku yang saat ini belum datang ke stasiun. Jika aku pergi dengan mereka, aku takut aku tidak akan bertemu lagi dengan kawan tercintaku itu. Aku tak bisa mendengarkan senandung lembutnya lagi, aku akan kehilangan senyum dan tawanya untuk waktu yang lama, hingga mungkin suatu saat kami berpapasan di suatu tempat saat aku tampil dan dia sedang melambai-lambaikan koran kepada calon pembeli.
Namun, toh aku kembali berpikir, ini adalah mimpi, semuanya akan berakhir saat aku terbangun dan aku masih tidak ingin kehilangan kesempatan ini. Meskipun pada awalnya aku sempat berpikir bahwa si Bapak dan si Ibu ini adalah sepasang suami-istri kaya raya yang sedang mencari anak adopsi lalu berniat mengadopsiku setelah melihatku, tapi aku tetap senang jika aku berada di dekat orang-orang yang menginginkanku. Aku senang di dekat mereka, meskipun mereka hanya pengamen yang mengadakan penampilan di pinggir jalan. Kawanku, maaf aku meninggalkanmu, sekali ini saja, di mimpi ini saja.
Kudekati gitar itu. Gitar si Ibu yang tersandar pada salah satu tiang peron. Kupetik satu per satu dawainya. Merdu. Dari dawai pertama hingga keenam, dari yang paling nyaring hingga paling dalam. Aku menyukai suaranya, lalu aku mengangguk pada si Ibu.
*****