Lihat ke Halaman Asli

Pesan untuk Rhana

Diperbarui: 16 Maret 2016   16:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Bawa aku besertamu. Hn. Tanpa kupinta persetujuan pun, aku pasti menyertaimu. Dari atas awan yang memutih dan mengabu-abu, kulihat selaksa sinar mentari yang mengintip tanpa mengendap-endap, tak tanggung-tanggung hingga menusuk bumi. Kau mengirimkan pesan-pesan percuma kepadaku, beberapa berisi potret alam yang tengah bercengkerama dengan penghuninya tanpa melibatkan bahasa. Aku tak pernah menerima pesan itu, tapi aku mampu melihat mereka, juga melihatmu, meski dengan suara yang diredam. Tentu saja, karena kini aku telah menjadi bisu. 

Empat puluh hari yang lalu, kita masih bertemu. Apakah boleh digolongkan sebagai sebuah pertemuan? Kukira bertemu tak harus berkomunikasi bukan? Anggaplah aku benar, karena kau tidak lagi berkesempatan menudingku salah.

Empat puluh hari yang lalu, mengapa kau tidak menangis untukku? Aku bersyukur kau tidak melakukannya. Namun, mengapa kau sama sekali tidak merindukanku? Ini membuatku ingin hidup dan menendang tulang keringmu hingga kau terjungkal dan terguling-guling kesakitan. Aku pergi, tak yakin diperjumpakan lagi denganmu. Namun, tatapan sedingin esmu tak jua meleleh, apalagi menghangat. Aku pikir kau memang buta rasa, membuatku semakin ingin menendangmu hingga menyusulku. 

Aku masih berputar berkeliling dan keluar masuk di rumahku hingga pagi ketujuhku. Sesekali membuntuti Nikka yang tak pernah kehabisan stamina. Seringnya duduk diam di ruang menonton televisi sembari mengamati wajah mamak, bapak, nini, uwak, lilik, dan semua orang yang mendadak rajin mengunjungi rumahku yang selama ini dingin. Mengapa tak mereka lakukan dari dulu? Terkadang perayaan kematian justru lebih ramai dibandingkan perayaan kelahiran. Ini contohnya. 

Siang, di hari ketujuh, kau datang ke rumahku. Aku menguping dari balik gorden biru pembatas ruang tamu, kau akan kembali pergi ke Timur. Kau meminta izin kepada mamak dan bapakku seperti biasa, dan seperti biasa kau pasti melewatkanku. Terlebih dengan keadaan baruku. Tanpa menaruh curiga, mamak melepasmu pergi seperti biasa. Mamak memang tidak tahu putrinya yang dulu pernah cinta mati kepadamu. Kuralat, payahnya, cinta putrinya sampai mati dan setelah mati. Aku penasaran, Tuhan tidak segera mengirimkan malaikatnya untuk menangkap dan menginterogasiku. 

Kau tak langsung pergi, ketika mamak berbalik masuk. Kau berdiri-diri tanpa bunyi atau ekspresi, hingga mamak pun risih dan tak jadi masuk. Beliau tak bertanya, tapi kau menjawab. Kau bilang kau ingin mengirimkan pesan penting untukku lewat mamak. Mamak sudah pasang telinga, tapi kau justru membatalkannya. Kau tahu? Aku seakan ingin meninju dinding di belakangku, jika aku bisa. Kau selalu saja berubah-ubah. Mungkin ada A hingga Z keputusan yang kau ambil dalam semenit, dari dulu tak berubah sama sekali. Mamak bingung dan kau menghadiahinya dengan senyuman yang basah oleh air mata. Aku tidak tahu kau menangis sedih atau geli. 

"Aku akan mengirimkan pesan-pesanku ke nomor pribadinya saja, Bu Lik." 

"Nomornya rusak bersamaan dengan kejadian itu, Ditya. Sudahlah, Dik Ditya. Kirim doa saja untuknya. Dia lebih butuh. Kamu juga lebih mudah ikhlas. Kami sudah ikhlas. Kamu juga harus, Dik."

"Ya, Bu Lik. Aku pamit."

Aku tidak percaya apa yang kudengar. Apakah kau memang menyukai menyampaikan rahasia kepada makhluk selain manusia? Aku terkejut, kau tampak lebih baik dari es, tapi aku lebih terkejut karena kau menyimpan pesan penting untukku dan bersikeras untuk tetap mengirimkannya meski tak kan pernah kubaca. Aku tak ingin aku tak  membacanya, maka di hari itu aku bertekad meninggalkan rumah dan mengikutimu ke mana pun kau pergi. Timur? Barat? Ke manapun, tak akan kulepaskan.

Pesan pertamamu, kau menyelipkan doa dalam sapa singkat dengan bahasa yang kukenal. Lalu kau menyisipkan penjelasan, "Kau pernah bertanya mengapa aku tak suka membalas pesan atau sapamu? Itu karena aku tak ingin aku terlarut, lalu gila, ketika kau tak lagi mampu mengirimkan pesan atau sapa. Kukira membentengi diri darimu dapat membuatku tetap hidup ketika kematian datang menjemputmu. Namun, ternyata aku tetap terseret, karena telah terlarut bahkan sejak sebelum menyadari aku akan terlarut. Hari ini hari ketujuhmu, tapi aku masih merasakan kehadiranmu di sampingku, mengintipku mengetik setiap huruf untuk pesan ini. Apakah aku penyebabnya?" Dan kau kirim pesan panjang itu ke nomorku. Tanda seru mengekori peringatan yang mengatakan bahwa pesanmu gagal mencapaiku.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline