Lihat ke Halaman Asli

Festival Mimpi (Aku, Kau, dan Adikku)

Diperbarui: 22 Februari 2016   22:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Semalam aku bermimpi. Di dalam mimpiku ada kau dan Setia. Kalian sedang bermain dengan kamera di tepi sungai besar, yang airnya setinggi lutut. Di mimpiku itu sedang musim kemarau dan diadakan festival sesuatu yang sangat meriah. Aku pergi mengunjungi festival itu bersama beberapa orang, yang aku tak yakin siapa mereka. Namun, sebelum mencapai area festival, aku menghentikan langkah karena melihat kalian berdua. Aku ingin menghampiri kalian. Namun, ternyata kita berseberangan. Aku mencari-cari jembatan. Namun, sepertinya tidak ada jembatan di dekat tempat itu. Aku hanya memandang kalian dari kejauhan. Aku berpikir, bagaimana mungkin di sekitar area festival seperti ini tidak ada jembatan atau apa pun yang menghubungkan daratan yang kupijak dengan daratan di seberang sungai ini, tempat festival berlangsung, juga tempat kalian tengah mengistirahatkan diri. Lalu aku tersadar, festivalnya dilaksanakan di seberang sungai ini. Apakah panitianya sengaja melewatkan soal jembatan ini? Apa mereka tak ingin orang-orang di seberang, seperti aku dan orang-orang yang datang bersamaku, mendatangi festival mereka? Atau mereka lupa? Lupa? Lupa akan hal sekrusial akses ini? Kemudian aku mulai sangsi untuk mendatangi festival tersebut.

Tunggu, orang-orang yang tadi datang bersamaku? Di mana mereka? Sepertinya, mereka pergi meninggalkanku yang tengah memperhatikan kalian berdua dan memikirkan festival serta jembatan. Apakah mereka tetap pergi ke festival? Atau mungkin sudah sampai di sana? Kemudian aku merasakan sesuatu menggoresku, tapi badanku tak terluka. Aku tertunduk. Aku kira aku memikirkan sesuatu, tapi aku tak yakin apakah aku benar-benar memikirkan sesuatu. Aku hanya merasakan nyeri akibat goresan yang tak tampak itu.

Ketika aku memutuskan untuk mengalihkan pikiran, mataku secara reflek membelokkan arah pandangan. Imaji segerombol bocah tertangkap oleh kedua mataku. Tidak! Mereka nyata. Mereka tengah bermain dengan sangat bergembira di hadapanmu, di sungai itu, sungai di antara kalian berdua dan aku. Namun, kalian sepertinya tak tertarik untuk menghiraukan kegiatan mereka. Kalian tetap berbincang akrab, sembari mengelap lensa kamera.

Aku, entah bagaimana, sudah tak lagi tertarik pada kalian. Aku memusatkan perhatian dan pengamatanku pada bocah-bocah yang berbasah-basah di dalam sungai. Tetiba mataku terpaku pada sesosok anak laki-laki yang tampak familiar. Dia tertawa bahagia setiap salah satu rekan bermainnya mengguyurnya dengan air sungai, yang tetap jernih, meskipun saat itu kemarau. Tak butuh waktu lama, aku pun berhasil mengenalinya. Dia adikku. Adik pertamaku.

Tanpa pikir panjang, aku memanggilnya. Aku tidak tahu tindakan reflek macam apa yang telah kulakukan. Panggilan pertamaku tak membuatnya menoleh. Dia belum dengar. Kupanggil lagi dia, lebih keras dan lebih sering. Dia berhenti tertawa dan lebih menegakkan berdirinya. Kini tampak jelas dia bertelanjang dada, tubuh atasnya tak berbaju. Kepalanya celingak-celinguk mencari-cari sumber suaraku. Rekan-rekannya pun bergeming, sesekali turut membantu mencari. Posisinya membelakangiku, pantas dia lama menyadari keberadaanku. Kupanggil dia sekali lagi dan kali ini dia berhasil mendeteksi arah suaraku.

"Hmm," gumamnya seraya mengangkat badannya sendiri dari sungai, menjauhkannya dari rekan-rekan bermainnya. Dia menemuiku, setelah mengambil kaos putih yang diparkirnya di tepi sungai, tepi sungai di mana aku tengah berdiri.

Dia? Dari mana dia memanjat? Cepat sekali? Apakah begitu cara menyeberangi sungai ini? Tak ada jembatan, apakah harus betul-betul ke bawah dan menyeberanginya langsung? Aku menelusuri bibir sungai yang cukup tinggi ini, mencari-cari jalan atau setidaknya tempat landai yang paling mungkin dapat dilalui untuk turun ke sungai. Sial sekali aku tak memperhatikan dengan baik bagaimana tata cara yang dilakukan adikku hingga dia sampai di sini, di hadapanku.

Dia sudah di hadapanku?

Lantas apa yang akan kulakukan padanya sekarang, setelah dia sudah ada di hadapanku? Bahkan aku tidak memiliki alasan untuk memanggilnya. Aku hanya ingin memanggilnya. 

Dia terdiam, sama sepertiku. Kami hanya saling pandang. Dia tak menanyakan apa pun dan aku bersyukur dia tak bertanya.

Kondisi saling diam itu berlangsung sangat lama. Biasanya aku akan sangat bosan ketika terlibat dalam kondisi seperti itu. Namun, kali ini aku menikmatinya. Aku tak bosan, walau hanya berdiri diam dan memandangnya. Aku sendiri tidak tahu bagaimana dengannya karena wajahnya sama sekali tak menyumbangkan ekspresi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline