Lihat ke Halaman Asli

Aurellia Khansa

IR's Student

Bukannya Kita Terlalu Meromantisasi Masa Lalu?

Diperbarui: 17 Januari 2025   14:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Saat ini, kalau kita buka berbagai platform media sosial kita akan menemukan berbagai konten yang menyiratkan kesedihan atau biasanya disebut konten galau, anehnya lagi konten tersebut begitu diminati pengguna media sosial bahkan berbagai platform media sosial seperti Tiktok, Instagram, dan Youtube seringkali menampilkan konten-konten yang dapat membuat audiens yang menontonnya merasa galau.

Sebetulnya, banyak sekali konten yang beredar di sosial media dan tidak meululu hanya konten sedih saja, namun 

kenapa konten-konten yang menyiratkan nostalgia dan perasaan galau itu seringkali diminati masyarakat?

Hal ini erat kaitannya dengan psikologi manusia, khususnya tentang bagaimana kita memproses emosi dan kenangan. Konten yang memiliki nuansa nostalgia dan galau memiliki daya tarik emosional yang kuat karena mampu menyentuh sisi terdalam perasaan kita. Kenangan tentang masa lalu sering kali membawa perasaan hangat dan nyaman, meskipun kadang diselimuti oleh kesedihan. Perasaan ini menciptakan koneksi emosional yang membuat seseorang merasa lebih "hidup" atau bahkan dimengerti. Di tengah peliknya kehidupan yang serba terburu-buru dan penuh tekanan, banyak orang merasa kehilangan makna dalam hidupnya atau koneksi emosional.

Konten nostalgia atau galau sering kali menjadi medium untuk merasakan kembali emosi yang sudah lama terlupakan, seperti cinta pertama, masa kecil, atau berbagai momen yang pernah dilalui. Selain itu, melihat atau mendengarkan konten yang menyentuh sisi emosional seperti lagu galau atau cerita sedih dapat memberikan efek katarsis, di mana seseorang bisa melepaskan emosi yang terpendam dan merasa lebih lega setelahnya. Tidak jarang, berbagai konten tersebut  juga membantu seseorang merasa bahwa mereka tidak sendirian dalam menghadapi perasaan tertentu.

Bagaimana Platform Media Sosial Membantu Kita Meromantisasi Masa Lalu?

Platform media sosial seperti TikTok, Instagram, dan YouTube juga memperkuat tren ini melalui algoritma mereka. Algoritma ini secara otomatis akan menampilkan konten yang sesuai dengan minat atau reaksi penggunanya, sehingga konten galau atau nostalgia yang sering diminati akan terus bermunculan di feed pengguna. Selain itu, nostalgia juga membuat kita ingin kembali ke masa yang kita anggap lebih sederhana atau bahagia. Konten-konten seperti ini sering kali membawa kita pada momen di mana kita merasa lebih nyaman, sehingga menciptakan perasaan nyaman yang sulit ditolak.

Namun, meski terlihat menyenangkan, terlalu sering meromantisasi masa lalu dapat membuat seseorang terjebak dalam "ilusi" tentang betapa indahnya waktu tersebut. Hal ini dapat membuat seseorang lupa untuk menikmati apa yang ada saat ini dan terus merasa tidak puas terhadap kehidupannya sekarang.

Meski begitu, jika dilakukan dengan bijak, nostalgia dan konten galau dapat menjadi sarana refleksi diri. Hal ini dapat membantu kita mengenang hal-hal baik dari masa lalu namun tetap bisa hidup dan melangkah di masa sekarang. Intinya, meromantisasi masa lalu bukannya salah, namun perlu porsi yang tepat agar  tidak membuat kita mengabaikan masa kini yang juga penuh dengan potensi dan keindahan yang menunggu untuk dirayakan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline