Lihat ke Halaman Asli

Bangsa Anti-Klimaks?

Diperbarui: 25 Juni 2015   08:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Sekali lagi, sepak bola Indonesia kandas di partai final! Kanvas prestasi olahraga bangsa ini kembali mendapat torehan tinta pucat. Pertanda apakah ini? Hanya sekedar hasil akhir sebuah pertandingan sepak bola bahwa harus ada yang menang dan kalah? Mungkin terlalu naif untuk segera menjawab kekecewaan rakyat negeri ini dengan jawaban: menang atau kalah adalah hal yang wajar dalam sebuah pertandingan.

Betapa tidak, grafik dengan panah menghujam bumi itulah yang terpampang di statistik prestasi sepak bola negeri ini. Energi dan euforia di awal kompetisi begitu membuncah hingga melecut optimisme seluruh rakyat bangsa ini melambung tinggi. Tentu masih segar dalam ingatan kita gelegar harapan dan optimisme begitu menggelora ketika timnas senior berhasil melaju ke babak ketiga kualifikasi piala dunia zona Asia. Sampai-sampai, tiga kekalahan beruntun pun masih belum mampu membuka mata para penggila sepak bola tanah air akan realitas menukiknya grafik prestasi timnas. Kesadaran akan kegagalan baru datang setelah kekalahan keempat, kelima dan seterusnya hingga diyakinkan dengan skor telak, 10-0!

Saat euforia itu meredup, nyala optimisme kembali disulut oleh kiprah gemilang timnas U-23 hingga menembus final SEA Games 2011. Tetapi, kembali, di partai puncak, justru anti-klimaks yang diwacanakan. Bahkan, sesaat setelah itu, punggawa-punggawa utama PSSI resmi tercerai berai hingga melahirkan dualisme liga dengan akibat: timnas U-23 yang sudah solid pun berantakan! Akhirnya, 9 Maret 2012, kekalahan 0-2 timnas U-21 dari tuan rumah Brunai Darussalam menambah tebal wacana anti-klimaks itu. Pertanyaan pun menghantui, apakah kita sedang berjalan menuju identitas ‘bangsa anti-klimaks’?

Pertanyaan tersebut datang bukan saja karena anjloknya prestasi kesebelasan timnas Indonesia. Bukan! Pertanyaan itu datang karena hampir di semua lini kehidupan berbangsa kita seakan kedodoran. Di bidang politik, puncak perlawanan terhadap kediktatoran Orba dengan tumbangnya rezim Soeharto dan lahirnya pemerintahan reformasi pada lebih dari satu dasawarsa silam memercikkan harapan akan lahirnya Indonesia baru yang benar-benar merdeka dari penjajahan apa pun! Namun hingga kini pemerintahan reformasi itu belum juga menampakkan tajamnya taring watak reformis. Korupsi justru semakin canggih dan sistemik dalam tubuh birokrasi negara sendiri. Kerukunan dan kesatuan semakin sering tercabik.

Coba saja lihat juga di lini yang lain seperti ekonomi, budaya, pertahanan-keamanan dan sebagainya! Ah, kita tidak pernah terlahir sebagai bangsa pecundang! Apalagi bangsa anti-klimaks. Tak pernah ada manusia yang dilahirkan untuk tidak bertumbuh dan berkembang! Maka bangsa ini pun tak pernah ditakdirkan untuk menjadi bangsa kaum kalah! Ingat itu, bro!

Aurelius Teluma




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline