Euthanasia dan legalisasinya telah menjadi topik perdebatan banyak orang sejak dahulu. Variasi paradigma dari publik dan berbagai perspektif mengenai euthanasia terus bertambah dan masih menjadi kontroversi hingga saat ini.
Secara singkat, Euthanasia sendiri merupakan tindakan medis yang bertujuan untuk mengakhiri rasa sakit dari pasien yang biasanya dilakukan dengan pengajuan dari pasien itu sendiri atau keluarganya. Bentuk euthanasia dapat berupa euthanasia aktif, pasif, sukarela, dan terpaksa.
Euthanasia sukarela ialah saat prosedur ini dilakukan atas permintaan langsung dari pasien, sedangkan di beberapa situasi dimana pasien sudah tidak memiliki kesadaran permintaan tersebut diwakilkan oleh keluarga terdekat dan disebut euthanasia terpaksa.
Berlangsungnya proses euthanasia dapat berupa euthanasia aktif, yakni dimana petugas medis secara langsung melakukan tindakan untuk mengakhiri hidup pasien, dan euthanasia pasif dimana dilakukan pembatasan alat penunjang hidup pasien. Salah satu tindakan euthanasia yang paling dikenal adalah 'suntik mati', dimana suntikan ini akan menghentikan jantung pasien dan mengakhiri hidupnya.
Di banyak kasus, kasus euthanasia pasif sulit untuk dibuktikan. Kematian dalam dunia kedokteran didefinisikan dari berhentinya fungsi sirkulasi yakni jantung dan pembuluh darah dan tidak dapat dikembalikan lagi. Pasalnya penghentian alat-alat penunjang hidup pasien dan apakah itu menjadi parameter indikator euthanasia pasif pun masih harus ditinjau lebih lanjut.
Hak Untuk Hidup sebagai Hak Asasi
Beberapa negara telah melegalkan tindakan euthanasia, salah satunya ialah negara yang pertama melakukan deklarasi legalisasi euthanasia, yakni Belanda. Belanda menyatakan praktik euthanasia bagi para pasien yang secara medis dinyatakan tidak memiliki harapan untuk sembuh.
Hal ini menimbulkan banyak perdebatan karena dianggap menyalahi konsep Hak Asasi Manusia (HAM), moral, dan juga agama dimana ketiga hal tersebut menjunjung tinggi kehidupan manusia.
Dari perspektif HAM, praktik euthanasia sendiri dinilai menyalahi salah satu hak fundamental yakni hak untuk hidup. Hak untuk hidup dalam HAM merupakan salah satu non-derogable rights atau hak yang wajib dipenuhi tanpa terkecuali. Proses penghilangan nyawa secara sengaja bertentangan dengan hak pasien untuk hidup yang seharusnya dilindungi oleh negara.
Kendati demikian, eksistensi hak untuk hidup juga menimbulkan konsekuensi logis lainnya berupa hak untuk mati. Manusia yang memiliki hak untuk 'mempertahankan kehidupannya' dalam hal ini dapat diinterpretasikan bahwa manusia pun punya hak untuk tidak 'mempertahankan kehidupannya' yang juga linear dengan hak pasien untuk menentukan nasibnya sendiri.