Kemudahan manusia dalam berkomunikasi dan mengakses sesuatu pada masa kini tentu tidak pernah terlepas dari kecanggihan internet. Bertukar kabar, mencari informasi, membuat iklan, bekerja, atau sekedar menghibur diri menjadi lebih mudah dengan adanya media sosial. Tak dapat dipungkiri, kehadiran media sosial sedikit banyak telah mengubah atau bahkan membentuk budaya baru dalam masyarakat. Salah satu budaya yang terpengaruh karena adanya internet dan media sosial adalah budaya ucapan belasungkawa.
Jika biasanya orang-orang mengucapkan belasungkawa dengan bertatap muka, mengirim papan bunga duka cita, dan menyampaikan lewat tutur kata secara langsung, kini orang-orang dapat dengan mudah menyampaikan belasungkawa melalui unggahan media sosial berbentuk poster yang dibuat secara digital menggunakan komputer atau gawai mereka masing-masing.
Di Indonesia, sering sekali dijumpai poster ucapan belasumgkawa yang diunggah ke media sosial, hal tersebut berlangsung hingga kini dan menjadi budaya masyarakat.
Apakah masyarakat di berbagai belahan dunia lainnya juga memiliki budaya mengucapkan belasungkawa?
Ternyata budaya ucapan belasungkawa tak hanya terdapat di Indonesia saja. Merek dagang terkenal milik Amerika Serikat, Nike contohnya.
Pada tragedi yang menimpa Kobe Bryant dan sang putri waktu lalu, merek dagang yang tersohor akan produk sepatunya tersebut turut mengucapkan belasungkawa melalui akun sosial media Twitter dan Instagram.
Dalam unggahan tersebut, Nike mengucapkan belasungkawa mendalam yang berupa tulisan serta foto sang legenda bola basket tersebut dengan latar berwarna hitam.
Tak sampai disitu pula, saat kematian Ratu Elizabeth II September lalu ramai sekali ucapan belasungkawa yang datang dari seluruh pemimpin dan masyarakat di penjuru dunia. Tak ketinggalan, bahkan lembaga tertinggi segala jenis pertandingan otomotif, FIA (Fédération Internationale de l'Automobile) juga turut mengucapkan belasungkawa atas kematian Ratu pemegang takhta Inggris terlama sepanjang sejarah tersebut. Terakhir, CEO dari seri balapan mobil dunia, F1 yang dinaungi pula oleh FIA, menyatakan bela sungkawanya melalui akun media sosial Twitter @F1.
Kilas balik tragedi Kanjuruhan dan ucapan belasungkawa tokoh-tokoh politik negara yang menuai kontroversi
Dunia sepak bola Indonesia tengah berduka pasca tragedi Kanjuruhan yang menewaskan 132 orang pada 1 Oktober 2022 lalu. Peristiwa yang menyebabkan jatuhnya ratusan korban tersebut menarik perhatian publik.
Ucapan belasungkawa berdatangan dari masyarakat Indonesia, entah dari kalangan borjuis maupun proletar, semuanya memperlihatkan sisi empati dan rasa duka mendalam atas tragedi tersebut. Tak terkecuali tokoh-tokoh politik negara, yang menunjukkan eksistensi mereka dengan turut mengunggah pesan duka yang berwujud poster ucapan belasungkawa.
Saya melihat seringkali ucapan belasungkawa yang diusung figur-figur tersebut berbeda dari kebanyakan ucapan belasungkawa lainnya. Entah untuk menunjukkan eksistensi mereka atau bagaimana, seringkali tokoh politik di negara kita menyisipkan foto mereka, mulai dari pose berdoa bahkan sampai gerakan tangan di dada sebagai tanda simpatik Perilaku yang ditunjukkan tokoh-tokoh tersebut mengherankan saya, apakah perlu sampai mencatutkan foto disertai gelar dan jabatan mereka dalam dunia politik yang tidak terkira panjangnya itu?
Sayangnya, langkah tokoh-tokoh politik tersebut dalam menyampaikan duka citanya menuai banyak pertentangan dari masyarakat. Budaya ucapan belasungkawa yang dilakukan tokoh-tokoh politik tersebut dinilai nir empati, tak sopan, dan tak tahu malu.
Anggapan tersebut ditujukan setelah berbagai media sosial milik tokoh politik maupun partai pengusungnya mengunggah poster ucapan belasungkawa dengan meletakkan foto sang figur politik, sehingga publik berasumsi bahwa mereka hanya menjadikan ucapan belasungkawa tersebut sebagai ajang pamer eksistensi demi mendapat atensi dan simpati. Ironi. Ucapan belasungkawa yang seharusnya bermakna empati, tampaknya tak berlaku pada sebuah figur-figur politik yang “katanya” mewakili suara rakyat di negeri ini.
Budaya ucapan belasungkawa figur politik atas tragedi Kanjuruhan sebagai socially necessary illusions dan ideologi kapital simbolik
Terry Eagleton dalam bukunya yang berjudul Ideology An Introduction menyebutkan bahwa dua poin definisi ideologi yang disebutkannya adalah ideologi sebagai ilusi yang diperlukan secara sosial dan konjungtur wacana juga kekuasaan (Eagleton. 1943: 1-2). Budaya ucapan belasungkawa yang diusung oleh aktor-aktor politik atas tragedi Kanjuruhan disebut sebagai socially necessary illusions atau ilusi yang diperlukan secara sosial karena dinilai memiliki unsur pencitraan di dalamnya.
Semata-mata ucapan belasungkawa tersebut dilakukan untuk menciptakan ilusi yang dikira dapat bernilai baik di mata masyarakat padahal sebenarnya tidak. Sejak dahulu sudah menjadi ciri khas bagi aktor politik tersebut untuk unjuk diri dalam setiap ucapan baik ucapan belasungkawa maupun ucapan sukacita yang mereka sampaikan, dan hal tersebut sudah menjadi kultur yang sulit untuk dirubah.
Barulah ketika tragedi Kanjuruhan lalu, budaya mereka ini semakin gencar menjadi kontroversi karena dinilai tidak pantas dan dicap nir empati. Budaya ucapan belasungkawa yang diusung mereka kerap kali disebut sebagai ajang eksistensi, ideologi yang menjadi ilusi untuk mendapatkan citra dan aksi panjat sosial.
Budaya tersebut sebagai konjungtur wacana dan kekuasaan dapat disebut sebagai pertarungan kapital. Terlihat bagaimana para aktor politik tersebut gencar mengunggah ucapan belasungkawanya, seakan tak mau kalah menunjukkan eksistensinya demi mendapatkan pengakuan. Pertarungan kapital ini menurut Bourdieu adalah pertarungan yang dilakukan manusia yang bertujuan untuk mendapatkan keuntungan.
Bukan hanya keuntungan material saja, melainkan keuntungan simbolik. Keuntungan simbolik ini memiliki maksud mendapatkan pengakuan atas hirarkinya dalam kelas sosial. Jika kita amati, tokoh-tokoh politik tersebut sah kedudukannya dalam kelas sosial sebagai penguasa karena berada dalam tampuk pemerintahan. Budaya ucapan belasungkawa yang mereka lakukan sejak dahulu menjadi kebiasaan praktik (habitus) yang ditujukan guna memperlihatkan kepada masyarakat eksistensi mereka sebagai tokoh politik dan mendapatkan atensi sebagai bekal perjalanan politik mereka.
Seperti yang kita tahu, semakin seseorang muncul dan banyak dikenal, semakin mudah untuk mendapat simpati. Dalam hal politik ini, mereka berusaha untuk dikenal sehingga mempermudah langkah mereka dalam usaha branding diri sebagai tokoh politik yang ingin dikenal dan disegani.
Realitas-realitas tersembunyi di balik aktivitas budaya ucapan belasungkawa oleh tokoh-tokoh politik di media sosial dilihat melalui pandangan strukturalisme Levi-Strauss
Budaya ucapan belasungkawa oleh tokoh-tokoh politik negara di media sosial sebagai konjungtur wacana dan kekuasaan kemudian berhubungan dengan pandangan Levi-Strauss terhadap budaya sebagai sistem simbolik dalam strukturalisme. Levi-Strauss merupakan pemikir strukturalis yang memandang budaya sebagai sistem simbolik. Budaya sebagai totalitas kompleks yang memiliki unsur-unsur berkaitan dengan satu sama lainnya dalam satu kesatuan (Piaget. 1960).
Hubungan antara unsur-unsur tersebut kemudian disebut struktur yang dianalisis dalam strukturalisme. Dalam teorinya, Levi-Strauss berpendapat bahwa seluruh kebudayaan yang ada memiliki struktur pembentuk awal yang sifatnya universal. Konsep strukturalisme mengungkap bahwa terdapat realitas tersembunyi yang ada pada ekspresi budaya. Bagaimana strukturalisme berusaha untuk mengungkap aturan-aturan yang mendasari pemikiran manusia yang terungkap melalui aktivitas budaya yang dilakukannya sendiri.
Karena itulah Levi-Strauss menganggap budaya adalah sebuah sistem simbolik, disebabkan oleh realitas-realitas yang disembunyikan di dalamnya menurut konsep strukturalisme. Tanpa disadari konsep strukturalisme tersebut juga terdapat di dalam budaya mengucapkan bela sungkawa yang diusung oleh tokoh-tokoh politik Indonesia di media sosial saat tragedi Kanjuruhan beberapa waktu silam.
Sistem simbolik ini dikendalikan oleh pihak-pihak yang memiliki kekuasaan di atasnya. Realitas-realitas yang disembunyikan terlihat pada aktivitas budaya ucapan belasungkawa tersebut yang merupakan simbol yang dirasa perlu dimasukkan agar mendapatkan pengakuan. Secara tidak langsung industri yang berkembang di era digital ini juga sebagai pemegang kendali atas hal yang terjadi tersebut.
Melalui sosial media, tokoh-tokoh politik tersebut menerapkan kampanye terselubung. Kecepatan dan kepraktisan menjadi kekuatan yang kemudian membentuk sebuah alasan mengapa praktik kampanye tersebut dilakukan orang-orang di balik ucapan belasungkawa tersebut melalui media sosial. Dampaknya tentu lebih besar dibandingkan dengan menyelenggarakan kampanye secara langsung, belum lagi media sosial menjadi hal yang utama di masa kini, ditambah penggunaannya bersifat lower cost provider (strategi biaya rendah).
Realitas tersebut secara mendalam menguak kembali realitas di dalamnya, bahwa praktik yang secara tak langsung tampak seperti kampanye tersebut memiliki tujuan—yang berarti realitas lainnya—untuk keperluan jangka panjang dan kepentingan penguasa. Budaya mengucapkan belasungkawa yang diusung tokoh-tokoh politik tersebut di media sosial membawa mereka ke dalam pengakuan masyarakat, menetap dan menjadi pengingat dalam benak masyarakat sebagai branding diri. Branding diri itulah yang akan mereka bawa untuk keperluan pemilihan umum saat pergantian kekuasaan. Menurut pengalaman saya, orang-orang cenderung memilih apa yang mereka ingat atau membekas dalam ingatan mereka, entah sebelumnya pilihan mereka itu baik ataupun buruk. Hal itulah yang boleh jadi merupakan alasan mengapa strategi branding diri menjadi kunci agar seorang politikus menjadi besar namanya. Ya, karena ia diingat oleh orang banyak.
Politikus tak seharusnya terus menerus mengedepankan ego
Apa yang kita lihat melalui tragedi Kanjuruhan seharusnya membuka mata para politikus di negara ini, bahwa keputusan mereka mencari atensi di tengah tragedi tak selayaknya menjadi apresiasi dan mendapati simpati. Malah, apa yang mereka pikir sebagai langkah untuk memantapkan diri menuju kursi negeri menjadi serangan yang memang akan mendatangkan branding diri, namun imbasnya juga mempermalukan diri sendiri. Tidak masalah jika kampanye sebagai bekal persiapan diri dilakukan secara terbuka pada kanal media sosial agar masyarakat juga bisa melihat dan merasakan, namun jangan melulu memberi makan ego, apalagi sampai mempergunakan situasi.
Kedepannya semoga politikus di negeri kita semakin menyadari bahwa mendapatkan simpati dan atensi masyarakat tidak sampai harus mempermalukan diri sendiri, cukuplah menjadi pribadi yang apa adanya tanpa bersembunyi dibalik simbol-simbol strukturalisme yang masyarakat juga dapat mengerti.
Daftar Pustaka
Eagleton, Terry. 1993. Ideology an Introduction. New York. Verso.
Sutrisno, Mudji & Hendar Putranto. 2005. Teori-teori Kebudayaan. Yogyakarta. Kanisius.
Strukturalisasi Anthony Giddens. Jawa Tengah. 25 (01).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H