Lihat ke Halaman Asli

Aura Saskia Faulin

Mahasiswi Sastra Belanda

Pandangan Media di Belanda dan Indonesia terhadap Pelanggaran HAM "Peristiwa Westerling"

Diperbarui: 21 Juni 2022   08:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pembantaian Westerling. foto/www.dictio.id

Dari masa ke masa, media massa terus berkembang menjadi sarana komunikasi massa yang berperan sebagai komunikator dan penggerak perubahan di lingkungan masyarakat yang mempengaruhi dan menjangkau masyarakat melalui pesan berupa informasi. Isu HAM merupakan isu menarik yang perlu diperhatikan saat ini. 

Maka dari itu, media massa memiliki kemampuan untuk mensosialisasikan konsep HAM kepada publik, dengan harapan khalayak memiliki pengetahuan dan pemahaman yang cukup untuk meningkatkan kesadaran terhadap isu-isu sosial, khususnya isu HAM. 

Pembantaian Westerling di Sulawesi Selatan menyebabkan beberapa pelanggaran Hak Asasi Manusia ,yaitu kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity) dan kejahatan perang. Pelanggaran HAM ini menyebabkan banyaknya tanggapan yang diberikan masyarakat di media massa tidak hanya di media Indonesia namun di media Belanda juga memberikan tanggapan terhadap hal itu.

Media massa di Belanda memiliki pandangan yang berbeda dalam menanggapi tragedi pembantaian Westerling di Sulawesi Selatan. Masyarakat Belanda memiliki pandangan masing-masing dalam memperdebatkan fakta yang terdapat dalam peristiwa Westerling. 

Pendapat ataupun fakta yang mereka ketahui tentang peristiwa tersebut dituangkan dalam media massa yang berupa buku. Salah satu buku berbahasa Belanda yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia berjudul “Di Belanda Tak Seorang pun Mempercayai Saya” berisi tentang keterangan-keterangan sejarah yang ditulis oleh seorang anak pelaku yang menjadi bagian pasukan yang dipimpin oleh Kapten Westerling. Seorang anak pelaku ini memiliki rasa ‘penasaran’ untuk mengetahui peranan ayahnya selama ayahnya menjadi bagian pasukan Westerling. 

Dalam buku ini diceritakan bahwa Peristiwa Sulawesi Selatan diartikan sebagai suatu peristiwa yang khas dalam sejarah Belanda, namun peristiwa itu (melibatkan aksi kekerasan yang dilakukan Kapten Westerling beserta pasukan ayahnya dan telah menyebabkan jatuhnya banyak korban tewas di Sulawesi Selatan) dinyatakan hanya sebagai kelanjutan dari pelatihan yang sebenarnya. 

Hasil penelitian yang ditemukan dalam buku ini adalah hal yang diungkapkan selama ini, tidak terpikirkan oleh sebagian bangsa Belanda maupun bangsa Indonesia juga.

Mengapa mereka orang Belanda tidak percaya atas pembunuhan rakyat Sulawesi Selatan yang kejam dalam jumlah yang besar dan mengapa tindakan pembunuhan itu harus terjadi?

Biasanya masyarakat hanya mendengarkan informasi sejarah dari satu sisi tanpa melihat sisi yang lainnya. Dapat disimpulkan dalam buku ini bahwa adanya kepercayaan penulis terhadap kekejaman yang dilakukan Westerling bersama pasukannya menelan banyak korban dan pembantaian yang dilakukan ini termasuk dalam pelanggaran berat HAM (termasuk dalam kejahatan perang). Buku ini akan membuka pikiran masyarakat Belanda tentang apa yang terjadi di Sulawesi Selatan dan dampak adanya perang yang dipaksakan oleh pemerintah Belanda di sana. 

Kebanyakan masyarakat Belanda ketika mengetahui betapa kejamnya pembantaian Westerling, mereka sulit mempercayai apa yang diungkapkan dalam buku ini. Buku ini tidak menganggap bahwa kekerasan sebagai fenomena yang biasa namun individu mungkin terjebak dalam situasi yang memaksa mereka untuk mengikuti kemanusiaan. 

Sebaliknya, seorang individu memiliki kemungkinan untuk memanifestasikan sisi kekerasan mereka jika sebuah kelompok mengizinkan mereka untuk melakukannya. Kekerasan memberikan alternatif lain terhadap dominasi permusuhan terhadap musuh ketika datang ke periode revolusi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline