Lihat ke Halaman Asli

Aura Salsabila Karlan

Mahasiswa, Ilmu Komunikasi.

Strategi Pencitraan Politik saat Pilpres 2024 di Era Media Sosial : Menarik Perhatian Gen Z

Diperbarui: 26 Desember 2024   20:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Maswadi Rauf, seorang ahli politik, menyatakan bahwa komunikasi politik merupakan bagian dari studi ilmu politik karena pesan-pesan yang disampaikan dalam proses ini memiliki karakteristik politik. Pesan-pesan tersebut berhubungan dengan kekuasaan negara, pemerintahan, serta tindakan komunikator sebagai pelaku politik. Komunikasi politik dapat dilihat dari dua perspektif: sebagai praktik politik dan sebagai kajian ilmiah. Sebagai praktik politik, komunikasi politik melibatkan pengiriman pesan bernuansa politik oleh aktor politik kepada pihak lain, yang bersifat nyata dan terjadi dalam kehidupan sosial. Sementara itu, sebagai kajian ilmiah, komunikasi politik dipahami sebagai salah satu komponen dalam aktivitas politik yang berlangsung dalam sistem politik. Untuk Kesimpulan, Menurut Harsono Suwardi (1997), komunikasi politik dapat dipahami dari dua perspektif: dalam arti sempit dan dalam arti luas.Dalam arti sempit, komunikasi politik merujuk pada segala bentuk penyampaian pesan, baik melalui simbol, kata-kata tertulis atau lisan, maupun isyarat, yang bertujuan memengaruhi posisi seseorang dalam suatu struktur kekuasaan tertentu. Sementara itu, dalam arti luas, komunikasi politik mencakup segala bentuk penyampaian pesan, terutama yang berisi informasi politik, dari suatu sumber kepada sekelompok penerima pesan.

Dalam dunia politik, pencitraan sering kali dikaitkan dengan upaya menonjolkan diri atau partai secara berlebihan, baik melalui ideologi, visi, berbagai perubahan, maupun simbol-simbol tertentu. Tujuannya adalah untuk mempermudah pemilih mengingat partai atau kandidat tertentu. Inti dari politik pencitraan adalah menciptakan kesan yang memikat, mengagumkan, membangkitkan rasa penasaran, serta membangun kedekatan yang sengaja dirancang demi meningkatkan popularitas. Masalahnya, pencitraan tidak selalu mencerminkan perilaku asli seseorang. Gambaran diri individu sengaja dibentuk untuk memengaruhi pandangan orang lain. Dalam dunia politik, perilaku yang ditunjukkan oleh seorang calon kepada masyarakat seringkali tidak sesuai dengan karakter dan kepribadian aslinya. Politik dapat mengubah perilaku seseorang dari biasa menjadi luar biasa, atau dari normal menjadi tidak wajar. Kita sering menyaksikan politisi yang tampaknya berperilaku dengan dorongan yang bertentangan dengan dirinya sendiri, seperti senyuman yang dipaksakan, pujian yang terkesan terlalu tulus, perhatian yang berlebihan, atau kebaikan yang muncul tanpa alasan jelas. Fenomena ini sering menimbulkan banyak pertanyaan, yang terkadang hanya bisa dijawab melalui pengalaman sebelumnya.

Dalam era digital, komunikasi politik telah mengalami perubahan besar, dengan media sosial menjadi alat utama dalam kampanye dan interaksi dengan masyarakat sekaligus membangun citra politik. Platform seperti Instagram, TikTok, dan X (Twitter) telah merevolusi cara politisi menyampaikan pesan dan membentuk citra mereka. Kini, viralitas dan branding politik menjadi elemen utama dalam strategi komunikasi politik di Indonesia. Meski membawa peluang, fenomena ini juga memunculkan tantangan yang perlu dikaji lebih lanjut.

Branding politik adalah upaya membentuk persepsi publik melalui pengemasan pesan, gaya komunikasi, dan aktivitas yang menonjolkan aspek tertentu dari seorang politisi. Di media sosial, hal ini sering diwujudkan melalui konten yang mencuri perhatian, seperti video emosional, foto yang estetik, atau narasi yang mudah dipahami. Instagram, sebagai platform berbasis visual, menjadi pilihan utama untuk menampilkan sisi personal para politisi. Misalnya, momen bersama keluarga atau kunjungan ke pasar tradisional sering digunakan untuk menciptakan kesan dekat secara emosional dengan audiens.

Sementara itu, TikTok dengan format kontennya yang ringan dan dinamis menjadi sarana baru untuk menjangkau generasi muda. Para politisi menggunakan platform ini untuk tampil lebih santai, seperti mengikuti tantangan tarian atau membuat video humor. Contohnya, pasangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar kerap menggunakan TikTok untuk membagikan momen di balik layar kampanye, seperti interaksi dengan relawan atau masyarakat di pelosok. Strategi ini bertujuan menampilkan sisi humanis dan merakyat.

Di sisi lain, X (Twitter) dimanfaatkan untuk diskusi politik yang lebih serius, termasuk merespons isu terkini secara langsung. Pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka sering memanfaatkan platform ini untuk menyampaikan pandangan mereka terhadap isu nasional, seperti kebijakan ekonomi atau perubahan iklim, sehingga menunjukkan kompetensi intelektual mereka. Integrasi penggunaan ketiga platform ini menciptakan narasi yang terstruktur, meskipun sering kali lebih menonjolkan citra daripada substansi. Hal ini menjadi salah satu tantangan utama dalam Pilpres 2024, di mana keberhasilan kandidat semakin ditentukan oleh kemampuan mereka menarik perhatian pemilih di dunia digital.

Media sosial telah secara signifikan mengubah cara politik dijalankan dan bagaimana masyarakat berinteraksi dengan politik. Di era digital ini, politisi harus mampu memanfaatkan teknologi komunikasi yang semakin maju untuk menjangkau audiens yang lebih luas, terutama generasi muda yang kritis dan mudah terpengaruh oleh konten visual serta emosional dibandingkan kampanye konvensional atau pidato politik. Pemilu 2024 menjadi ujian penting untuk memahami bagaimana politik modern beradaptasi dengan perubahan besar dalam lanskap komunikasi ini, terutama melalui potensi viralitasnya. Sebuah konten, seperti video atau meme, dapat dengan cepat menjangkau ribuan bahkan jutaan orang dalam waktu singkat. Potensi ini memberikan keuntungan besar bagi politisi yang mampu memanfaatkannya untuk menciptakan momentum kampanye. Namun, viralitas ibarat pedang bermata dua. Di satu sisi, konten yang viral mampu meningkatkan visibilitas dan menarik perhatian khalayak luas. Di sisi lain, fenomena ini sering kali mengorbankan kualitas diskusi politik, karena konten yang viral cenderung lebih berfokus pada aspek hiburan atau emosional dibandingkan pembahasan kebijakan yang mendalam.

Viralitas di media sosial membuka peluang besar bagi politisi untuk menjangkau audiens luas dalam waktu singkat. Sebuah video yang menjadi viral, misalnya, dapat menciptakan momentum kampanye yang sulit dicapai melalui media tradisional. Namun, viralitas juga memiliki risiko. Konten yang viral sering kali lebih mengedepankan aspek sensasional daripada nilai informatif, sehingga fokus dapat beralih dari isu-isu mendasar ke hal-hal yang bersifat superfisial.

Dalam Pilpres 2024, viralitas memainkan peran krusial dalam membentuk opini publik. Pasangan Ganjar Pranowo-Mahfud MD, misalnya, mencuri perhatian dengan video kampanye mereka tentang "Green Indonesia 2045" yang viral di TikTok. Video tersebut menyoroti inisiatif transisi energi bersih melalui pemasangan panel surya di sekolah-sekolah, memicu diskusi luas di kalangan anak muda peduli lingkungan. Pesan ini berhasil menarik perhatian anak muda yang peduli pada isu lingkungan. Dalam beberapa hari, video tersebut memicu diskusi publik yang luas, memperkuat citra Ganjar-Mahfud sebagai pasangan yang peduli pada masa depan bumi dan generasi muda.

Strategi berbasis viralitas juga tercermin dalam kolaborasi dengan influencer. Pasangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar, misalnya, bekerja sama dengan sejumlah influencer terkenal untuk mempromosikan program pendidikan inklusif. Meski berhasil menarik perhatian generasi muda, pendekatan ini menuai kritik karena dianggap lebih berfokus pada popularitas dibandingkan substansi kebijakan.Sebaliknya, pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka sempat mengalami serangan balik ketika unggahan lama mereka di media sosial diangkat kembali dan menjadi bahan perdebatan publik.

Namun, viralitas juga memiliki sisi gelap. Beberapa politisi terlalu mengandalkan influencer atau strategi pemasaran berbasis clickbait untuk memperoleh perhatian dengan cepat. Meskipun efektif dalam menarik pemilih muda, pendekatan ini sering mendapat kritik karena dinilai mengabaikan substansi dan lebih mengutamakan popularitas jangka pendek. Tidak jarang, konten viral juga disertai informasi yang tidak akurat atau bahkan hoaks yang merugikan pihak lain, seperti yang terjadi dalam sejumlah kampanye negatif di media sosial yang dirancang untuk merusak reputasi lawan politik.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline