Lihat ke Halaman Asli

Aura Mutiara

Mahasiswa Univ. Pamulang

Menghadapi Perlambatan Pertumbuhan Ekonomi

Diperbarui: 9 Desember 2023   21:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Perekonomian dunia pascapandemi sepertinya masih harus menapaki jalan terjal nan berbatu. Proyeksi dari berbagai lembaga ekonomi dan keuangan dunia, seperti Bank Dunia, Dana Moneter International (IMF), dan Organisasi Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) sepakat memangkas pertumbuhan ekonomi global 2023.


Sejumlah faktor yang memengaruhi perlambatan pertumbuhan ekonomi global itu, seperti inflasi inti yang masih relatif tinggi, suku bunga yang tinggi, beban utang yang tinggi, perdagangan dan investasi global yang melambat imbas fragmentasi geopolitik yang meningkat, dan populasi yang cenderung menua.
Di saat yang sama, China sebagai kekuatan ekonomi terbesar kedua di dunia yang juga kerap jadi penyelamat, di kala perekonomian global mengalami kelesuan, ternyata juga mengidap perlambatan.


Menurut Michael Pettis, Guru Besar ilmu Keuangan dari Sekolah Management Guanghua, Universitas Peking, jika tidak ada terobosan kebijakan pemerintah China untuk menyeimbangan lagi kinerja konsumsi dan investasi, maka pertumbuhan ekonomi China di masa mendatang berpotensi turun ke di level sekitar 2%---3% per tahun dari saat ini di level 4%---5%. Sepanjang Januari---Mei 2023, nilai akumulasi surplus neraca perdagangan turun sebesar 15,9% (YoY) dari periode yang sama tahun 2022 menjadi US$16,6 miliar.
Sepanjang Januari---Mei 2023, penerimaan pajak tumbuh sebesar 17,7% (YoY) menjadi Rp 830,29 triliun. Hasil ini lebih rendah dibandingkan dari periode yang sama tahun 2022 yang tumbuh sebesar 53,5% (YoY).

Stimulasi daya beli ini bisa dilakukan melalui kebijakan relaksasi moneter. Meski begitu, mengingat masih tingginya inflasi di negara-negara maju, membuat bank sentral, khususnya The Fed masih akan melanjutkan kenaikan suku bunga, setidaknya dua kali lagi hingga akhir tahun ini. Situasi ini, membuat Bank Indonesia (BI) akan memilih mempertahankan suku bunga kebijakan (BI-7DRR) di level 5,75% dan tidak terburu-buru untuk memangkas suku bunga. Kebijakan untuk mempertahankan suku bunga sebagai upaya untuk menjaga stabilitas nilai tukar dan menjangkar inflasi agar berada dalam lintasan yang diharapkan.


Oleh sebab itu, kebijakan fiskal lebih efektif dalam menstimulasi daya beli. Apalagi, sampai dengan Mei 2023, APBN masih mencatatkan surplus sebesar Rp204.3 triliun (0,97% dari PDB).
Ekspansi fiskal masih terbuka lebar untuk dilakukan, tanpa mengabaikan konsolidasi fiskal, yaitu mengembalikan defisit APBN maksimal 3% dari PDB sesuai dengan mandat UU No. 2/2020.
Bagaimanapun, sebagian besar pendapatan masyarakat dialokasikan untuk pengeluaran makanan dan transportasi. Sehingga, jika harga bahan pangan cenderung naik, maka akan mengurangi alokasi pengeluaran untuk nonmakanan, seperti belanja durables goods dan aktivitas leisure lainnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline