Lihat ke Halaman Asli

UKT Melonjak: Peluang Perbaikan atau Ancaman Ketidakadilan?

Diperbarui: 5 Juni 2024   15:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi yang menggambarkan tekanan finansial yang dihadapi mahasiswa dalam membayar ukt yang tinggi. /VOA Islam

Kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT) di berbagai perguruan tinggi negeri (PTN) di Indonesia selalu menjadi topik yang kontroversial dan memicu perdebatan sengit.

Uang Kuliah Tunggal (UKT) adalah sistem pembayaran biaya kuliah dan memainkan peran yang sangat penting dalam pendanaan pendidikan tinggi di Indonesia. UKT bertujuan untuk meningkatkan aksesibilitas dan kualitas pendidikan.

Menurut Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 25 Tahun 2020 mengatur Standar Satuan Biaya Operasional Pendidikan Tinggi (SSBOPT) yang menjadi dasar penetapan Uang Kuliah Tunggal (UKT) di Perguruan Tinggi Negeri (PTN). Pasal 2 ayat (3) menyatakan bahwa SSBOPT menjadi acuan untuk menentukan UKT. Sumber pendapatan utama PTN untuk biaya operasional ini berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Peraturan ini memastikan penetapan biaya pendidikan di PTN sesuai dengan standar yang konsisten dan adil.

Namun, alokasi Anggaran Pendidikan hanya sebesar 20 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang dianggap tidak cukup untuk membiayai pendidikan tinggi di kampus. Apakah kondisi ini mendorong perguruan tinggi melakukan penyesuaian dengan menaikkan besaran Uang Kuliah Tunggal (UKT) ?.

Isu ini memunculkan dua pandangan yang bertolak belakang: apakah kenaikan UKT merupakan investasi yang diperlukan untuk meningkatkan dan perbaikan kualitas pendidikan, atau justru eksploitasi yang membebani mahasiswa dan keluarga mereka?

Kenaikan UKT dapat dilihat dari dua perspektif. Sebagai investasi, kenaikan UKT dapat meningkatkan kualitas pendidikan dan fasilitas kampus, yang pada gilirannya memberikan manfaat jangka panjang bagi mahasiswa. Namun, jika tidak diimbangi dengan kebijakan yang memastikan aksesibilitas bagi semua kalangan, kenaikan UKT lebih cenderung menjadi eksploitasi. 

Ini terutama terlihat ketika mahasiswa dari latar belakang ekonomi menengah ke bawah harus menanggung beban keuangan yang berat tanpa jaminan peningkatan signifikan dalam kualitas pendidikan yang mereka terima.

Pendukung kenaikan UKT seringkali merujuk pada perlunya investasi dalam peningkatan kualitas pendidikan. Argumen ini mencerminkan realitas bahwa universitas memerlukan sumber daya finansial yang memadai untuk menyediakan fasilitas modern, memperbarui kurikulum, dan mempertahankan tenaga pengajar berkualitas. Mereka berpendapat bahwa kenaikan UKT adalah langkah yang diperlukan untuk memastikan keberlangsungan universitas dan peningkatan mutu pendidikan.

Institut Teknologi Bandung (ITB) adalah salah satu perguruan tinggi negeri terkemuka di Indonesia yang juga mengalami kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT) pada beberapa kesempatan. Rektor ITB, Prof. Reini Wirahadikusumah mengatakan "Kenaikan UKT di ITB adalah hasil dari evaluasi mendalam mengenai kebutuhan operasional dan pengembangan universitas. Kami berkomitmen untuk memastikan bahwa dana dari UKT digunakan secara transparan dan akuntabel untuk meningkatkan kualitas pendidikan dan fasilitas kampus."

Namun, pandangan kritis juga menyoroti konsekuensi sosial dan ekonomi dari kenaikan UKT. Mahasiswa, terutama mereka dari latar belakang ekonomi rendah, seringkali menjadi korban dari kebijakan ini. Mahasiswa dari keluarga kaya akan tetap dapat membayar biaya yang lebih tinggi, sementara mereka yang berasal dari keluarga kurang mampu akan semakin tertinggal.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline