Melaporkan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan menjadi kewajiban penting bagi wajib pajak, memberikan pemerintah data keuangan yang mendukung pengelolaan keuangan negara. Meskipun SPT Tahunan meminta informasi rinci mengenai aset, seperti tanah, bangunan, dan kendaraan, banyak yang lupa atau mengabaikan pelaporan dengan benar.
Kesulitan dalam pengelolaan informasi, penilaian aset, dan ketidakpahaman seringkali menjadi penyebab utama kelalaian ini. Selain dampak administratif, pelaporan aset yang tidak akurat dapat mengakibatkan konsekuensi hukum dan ketidaksetaraan dalam sistem perpajakan. Wajib pajak lanjut usia juga mungkin lupa melaporkan perolehan harta, menimbulkan potensi kelalaian dalam pelaporan.
Harta, sebagai unsur inti dalam SPT Tahunan, mencakup seluruh kepemilikan wajib pajak, termasuk tanah, bangunan, kendaraan, dan investasi lainnya. Meski formulir SPT meminta informasi terperinci mengenai harta, banyak yang lalai atau mengabaikannya. Kelalaian ini bukan sekadar masalah administratif, tetapi memiliki dampak serius terhadap kepatuhan perpajakan dan konsekuensi hukum.
Pelaporan harta yang akurat bukan hanya kepatuhan formal, melainkan bentuk transparansi keuangan pribadi, mendukung sistem perpajakan yang adil. Melibatkan wajib pajak dalam pengungkapan harta memastikan kontribusi setimpal dengan kekayaan, mendukung pembangunan dan kebijakan nasional.
Artikel ini akan membahas mengenai permasalahan umum terkait kelalaian dalam melaporkan harta pada SPT Tahunan, dampaknya secara keseluruhan, dan langkah-langkah yang dapat diambil untuk meningkatkan kesadaran dan kepatuhan wajib pajak dalam hal ini.
Aturan yang Berlaku
Seperti yang kita ketahui bahwa setiap hal mengenai tata cara perpajakan sudah diatur dalam sebuah UU KUP sehingga semua sudah tercantum dengan jelas dan apa sanksi bagi yang melanggarnya. Sesuai dengan Pasal 3 ayat 1 UU KUP yang berbunyi, "Setiap Wajib Pajak wajib mengisi Surat Pemberitahuan dengan benar, lengkap, dan jelas, dalam bahasa Indonesia dengan menggunakan huruf Latin, angka Arab, satuan mata uang Rupiah, dan menandatangani serta menyampaikannya ke kantor Direktorat Jenderal Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar atau dikukuhkan atau tempat lain yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak." Hal yang bisa digarisbawahi adalah pengisian SPT harus benar, lengkap, dan jelas.
Selain itu, Pasal 3 ayat 2 UU KUP yang berbunyi, "Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (1a) mengambil sendiri Surat Pemberitahuan di tempat yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak atau mengambil dengan cara lain yang tata cara pelaksanaannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan." Menjelaskan bahwa dalam memberi kemudahan bagi Wajib Pajak, maka formular Surat Pemberitahuan disediakan pada kantor-kantor DJP dan tempat lain yang ditentukan oleh Dirjen Pajak yang mudah terjangkau, dan juga Wajib Pajak bisa mengakses situs ataupun web dalam mengisi Surat Pemberitahuan.
Sama dengan Pasal 3 ayat 1 UU KUP, Pasal 4 juga berbicara demikian bahwa setiap Wajib Pajak diharuskan mengisi dan menyampaikan Surat Pemberitahuan dengan benar, lengkap, jelas, dan menandatanganinya. Pasal 28 ayat 7 menyatakan bahwa, "Pembukuan sekurang-kurangnya terdiri atas catatan mengenai harta, kewajiban, modal, penghasilan dan biaya, serta penjualan dan pembelian sehingga dapat dihitung besarnya pajak yang terutang."
Pembahasan