Lihat ke Halaman Asli

Kepemimpinan Etis pada Peristiwa Minyak Tumpah Karawang

Diperbarui: 23 Februari 2021   04:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Image: greenpeace.org

Oil spilling lepas laut Karawang

Hampir dua tahun yang lalu, pada hari Jumat, 12 Juli 2019 pukul 01.30 waktu setempat di sumur offshore blok YYA-1 milik Pertamina Hulu Energi Offsore North West Java (PHE ONWJ) lepas laut Karawang muncul gelembung gas diikuti dengan peristiwa oil spilling dari kedalaman 2,700 meter di bawah permukaan laut. Setelah peristiwa tersebut terjadi, minyak mentah yang merupakan golongan senyawa bersifat B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun) mencemari laut utara Karawang dan meluas hingga ke wilayah kepulauan Seribu.

Imbasnya, obyek wisata pantai Pisangan di Karawang menjadi sepi pengunjung. Nelayan urung melaut karena hasil tangkapan menurun drastis, misal komoditas rajungan, sebagai hasil laut yang dominan, biasanya didapatkan sebanyak 10 sampai 50 kilogram dalam satu kapal, namun setelah peristiwa tumpahnya minyak, nelayan hanya berhasil menangkap 1 sampai 2 ekor saja. Peristiwa tersebut juga berdampak pada permasalahan kesehatan. Sebanyak 900 orang merasakan gatal-gatal setelah ikut membersihkan limbah minyak di pantai.

Menurut VP Relation PHE ONWJ Ifki Sukarya, pihaknya telah mengambil tindakan untuk menutup sumur YYA-1 secara permanen. Sementara itu, direktur utama Pertamina Nicke Widyawati menyatakan pihaknya terus berupaya untuk menahan agar tumpahan minyak tidak meluas dengan melakukan proteksi berlapis di sekitar anjungan. Selain berusaha untuk menutup sumur, pihaknya juga akan bertanggungjawab terkait isu lingkungan. Selebihnya, pihaknya berkomitmen untuk terus mengejar sisa tumpahan kemanapun berada di lautan.

Flashback deep water horizon

Kejadian minyak tumpah di perairan Karawang tersebut mengingatkan pada peristiwa Deep Water Horizon yang terjadi 10 tahun lalu, yaitu peristiwa rig pengeboran minyak offshore milik perusahaan minyak BP yang meledak di teluk Meksiko. Kejadian tersebut mengakibatkan 11 pekerja meninggal dan 17 lainnya terluka dan menyebabkan kebocoran minyak mentah sebanyak 8.000 barel atau setara dengan 1,3 juta liter sehari yang berlangsung selama 87 hari. Kejadian tersebut mempunyai dampak luar biasa kepada isu lingkungan, ekonomi dan kesehatan.

Menurut opini Corkindale (2010) di dalam rubrik Harvard Business Review yang berjudul Five Leadership Lessons from the BP Oil Spill, berkaitan dengan kepemimpinan etis, para petinggi BP pada saat itu dituding tidak berhasil dalam menghadapi krisis tersebut, diantaranya: tidak mengimplementasikan budaya organisasi yang sesuai, tidak bisa bekerjasama dalam rangka menghadapi krisis, tidak hadir untuk melayani perusahaan, orang dan komunitas serta tidak mampu menjadi pemimpin di luar jabatan fungsional untuk mengatasi krisis.

Peran kepemimpinan etis dalam krisis (failures)

Menurut Coldwell (2016) di dalam penelitiannya yang berjudul Ethical Leadership in Crisis Management: The Role of University Education, ada dua skema dari peran kepemimpinan etis dalam mengelola krisis. Tahap pertama adalah secepatnya harus ada pengakuan oleh perusahaan dan menemukan orang yang bertanggung jawab yaitu, seorang pemimpin yang dapat menyediakan keterbukaan informasi kepada media mengenai sebab-akibat dan tindakan manajemen apa yang akan diambil dalam mengelola krisis tersebut. Para petinggi Pertamina serta PHE ONWJ langsung menggelar konferensi pers guna mengonfirmasi tindakan untuk memperkecil dampak buruk dari kejadian. Nicke juga mempunyai rencana atas pertanggungjawaban terhadap isu lingkungan, ekonomi dan kesehatan. Namun sampai tulisan ini disusun, belum ada tanggapan resmi dari Pertamina atau PHE ONWJ mengenai penyebab terjadinya kejadian tersebut, hanya Kementerian ESDM melalui Direktur Teknik dan Lingkungan Migas, Adhi Wibowo yang menyatakan bahwa penyebab kejadian tersebut adalah ledakan prematur yang merusak pipa bor, namun masih perlu ditelusuri lebih lanjut mengenai penyebab pastinya.

Tahap kedua adalah solve the crisis lewat mekanisme restrukturisasi organisasi lalu dikomunikasikan secara luas untuk membangun kembali kredibilitas perusahaan. Hal tersebut harus diikuti dengan pernyataan yang jelas dari perusahaan mengenai kepedulian dan pertanggungjawaban perusahaan terhadap dampak ekonomi, sosial, lingkungan dan lainnya. Hasilnya, telah dikonfirmasi bahwa PHE ONWJ akan membangun sumur baru di bawah laut Karawang yang berlokasi dekat dengan area sumur YYA-1 sembari tetap fokus untuk menutup sumur yang bocor serta menyelesaikan permasalahan terdampak.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline