Lihat ke Halaman Asli

Aulia Suciati

Tukang Cerita

Obrolan Malam dengan Dia

Diperbarui: 10 Juli 2018   18:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ilustrasi: w-dog.net

Ada yang kupikirkan saat ini--yang memang sedang heboh-hebohnya menggerayangi pikiranku tak karuan. Tentang dia. Tak kutemui jawaban, dari mana aku bisa menyukai dirinya. 

Kita memang sering bersama sejak SMA. Dia baik, mau menemani aku yang nyaris tak berteman dan nyaris selalu kesepian. Aku kagum padanya, dia mau main denganku yang membosankan, bahkan ketika yang lainnya sedang melakukan hal yang asyik. Bahkan sampai sekarang, dia masih baik padaku. 

Aku selalu mengatakan ini pada diriku, jangan menyukainya, berterima kasihlah padanya karena dia mau menemanimu, jangan melunjak! Tentu kutahan kuat-kuat, tapi siapa yang tahu kekuatan macam apa yang dimiliki perasaan ini, yang bisa menghancurkan bendungan terbesar yang sudah kudirikan susah payah.

Dia menjadi jauh lebih istimewa dari sebelumnya. Aku malu pada benda-benda di angkasa yang menatapku iba. Dia hanya berbaik hati padaku, kenapa aku menuntutnya untuk lebih baik lagi padaku? Begitu tak berterima kasihnya kah aku padanya?

Kuangkat cangkir di atas meja di samping kananku, kuteguk tehnya pelan-pelan, tak ingin lidahku terbakar. Aku tak langsung menaruhnya. Kupandangi dulu gelombang kecil di dalamnya. Tiba-tiba aku jadi gugup. Kepalaku mengangkat, tapi kutahan tak melihat ke langit, tak mau dikasihani lagi. Kuhempaskan sebagian karbondioksa. Gugupnya tak juga hilang.

Telingaku menangkap suara bising mesin motor, perlahan mendekati rumahku. Begitu akrab, indah, juga horor. Aku menaruh cangkir teh itu kembali ke atas meja terburu-buru, membuat sedikit dari isinya tumpah. Namun tak kupikirkan. Hanya suara motor itu yang kubiarkan menguasai seluruh perhatianku. Aku berdiri tegap. Kakiku tak bisa mengangkat, berat sekali. Suara motor itu berhenti di depan pintu rumahku. Astaga, aku harus apa...?! Tak ada hal lain yang memenuhi penglihatanku selain sosok yang dengan sibuk membuka helm dan turun dari motor itu dari balik pagar yang rendah.

Aku semakin gugup saat dia memanggil namaku. Seolah ada kekuatan magis yang mengantarku menuju pagar, memberikan akses padanya untuk masuk. Rasanya aku tidak sambil berpikir sama sekali.

"Lama, ya?" Tanya dia, sambil membuka retsleting jaket hitamnya, mengekspos kemeja putih di dalamnya.

Aku menggeleng. "Nggak, kok."

Aku mempersilakannya untuk duduk. Kami pun duduk. Dia di kanan, aku di kiri.

Dia melihat secangkir teh di atas meja. "Sampai sambil ngeteh gini. Maaf, ya..."

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline