Lihat ke Halaman Asli

Munculnya Cyber Religion: Menjajahi Persinggungan Antara Ajaran Al-Qur'an dengan Ajaran Radikal

Diperbarui: 15 Oktober 2024   10:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Alam dan Teknologi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Anthony

Disusun oleh : Aulia Sinta Ayu Bidari

Pendahuluan

Saat ini, perkembangan teknologi berkembang pesat. Pesatnya perkembangan teknologi menjadi sumber informasi yang berpengaruh kepada internet, sehingga perkembangan internet inilah yang dapat mengubah perilaku masyarakat dengan mudah menerima informasi dari media sosial. Media sosial dipandang sebagai ruang virtual yang efektif dan mudah untuk kebutuhan beragama. Misalnya, informasi yang dituangkan dalam bentuk tulisan, video ataupun gambar. Semua orang bisa berdakwah melalui media sosial, sehingga media sosial ini menjadi alat penyebaran kajian keislaman. Akan tetapi, di era sekarang media sosial yang dijadikan tempat berdakwah bisa memberikan ajaran yang tidak ramah sekaligus radikal. Dengan demikian, pemberian informasi yang tidak ramah dan radikal akan bertentangan dengan ajaran nash Al-Qur'an dan Hadits serta pendapat para ulama. 

Cyber religion merupakan aktivitas penyampaian pesan keagamaan melalui dunia maya (cyber) ke seluruh dunia yang mudah diakses kapanpun dan di manapun tanpa batas waktu dan jarak (Malik, 2021). Maksudnya, cyber religion merupakan penyebaran agama di media sosial yang mengkaji tentang keagamaan. Agama yang disebarluaskan di media sosial merupakan agama yang eksklutif di dunia maya, yang mana informasi tentang keagamaan di media sosial dapat dinikmati pada tingkat yang cukup besar dari realitas virtual. Contohnya,informasi terkait tentang keagamaan sering kali ditonton oleh orang tua, dewasa, maupun remaja. Maka dari itu, bijaklah menggunakan media sosial agar tidak mudah menerima informasi yang tidak akurat.

Munculnya Cyber Religion

Dalam ajaran agama pasti memiliki kegiatan berdakwah yang di dalamnya berbentuk komunikasi keagamaan atau yang mengkaji tentang agama tersebut. Dakwah yang dilakukan di era sekarang, mayoritas sudah disebarluaskan melalui media sosial yang diberi tempat oleh karakteristik internet. Sehingga interaksi sosial keagamaan yang muncul di internet merupakan bentuk fasilitas dakwah secara online (Iqbal, 2016). Cyber Religion yang merujuk pada fenomena praktik keagamaan dan ajaran agama berinteraksi dengan dunia digital. Akan tetapi, munculnya cyber religion dapat terjadi persinggungan antara ajaran Al-Qiur'an dengan radikal. Dalam konteks ini, mencakup bagaimana ajaran Al-Qur'an dan interpretasi radikal dapat tersebar dan dipraktikkan melalui media sosial. Proses ini menciptakan pertentangan antara ajaran Al-Qur'an dan ideologi radikal, yang sering kali memanfaatkan media sosial dan forum online untuk menyebarkan pemikiran mereka. Sehingga, orang yang menonton konten tentang penyebaran agama yang bersifat radikal dapat terpengaruh dari pemikiran mereka.

Persinggungan Ajaran Al-Qur'an dan Radikalisme

Dalam era digital, perluasan syiar agama dari dimensi nyata ke dunia maya memungkinkan ajaran Islam untuk diakses lebih luas, tetapi juga membuka peluang bagi interpretasi yang lebih ekstrem. Beberapa kelompok radikal menggunakan internet untuk merekrut anggota dan menyebarkan ideologi mereka, sering kali dengan mengutip ayat-ayat Al-Qur'an di luar konteks yang tepat. Fenomena ini menunjukkan bahwa radikalisasi dapat terjadi melalui media digital, di mana ajaran yang seharusnya damai dapat disalah artikan untuk mendukung tindakan kekerasan tersebut. Sejarah radikalisme di Indonesia, misalnya, menunjukkan bahwa interaksi antara budaya lokal dan ajaran Islam dapat menghasilkan berbagai aliran, termasuk yang ekstrem. 

Ada pula fenomena terjadinya persinggungan antara ajaran Al-Qur'an dengan radikal yang menjadi permasalahan, karena perbedaan pemikiran. Sehingga, dapat dikatakan permasalahan tersebut menjadi radikalisme, yang mana pemikiran tersebut bertentangan dengan ajaran Al-Qur'an dan Hadits. 

Contohnya, tragedi pengeboman yang dilakukan di Bali oleh Para Ustadz seperti Ali Imor, Amrozi bin H Nurhasyim, Imam Samudra (Abdul Aziz), Ali Gufron (Mukhlas) dengan alasan untuk menghentikan tempat kemaksiatan (Ni Kadek Restu Tresnawati, 2023). Sumber : https://www.detik.com/bali/berita/d-6978644/jejak-pelaku-bom-bali-i-dari-teror-ke-penjara-hingga-nasibnya-kini 

Mereka mengajarkan bahwa pengeboman itu diperbolehkan untuk menghentikan tempat kemaksiatan. Mereka menganggap pengeboman sebagai perbuatan nahi munkar, padahal melakukan nahi munkar itu bisa dengan cara yang ma'ruf atau ahsan (baik) dan tidak harus dengan cara pengeboman, apalagi tidak semua orang bali tersebut adalah orang muslim dan cara pengeboman seperti itu juga bisa merusak nama baik islam dan agama islam akan dianggap sebagai agama teroris.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline