Dunia pendidikan memang perlu diperhatikan dan direaktualisasikan secara berkala. Mengingat pendidikan memegang peranan penting dalam mencetak pion-pion bangsa yang berkualitas. Di samping itu, pendidikan juga berjalan berdampingan dengan berbagai konteks kehidupan berbangsa. Buktinya dunia pendidikan saat ini mendapat sorotan khusus atas keluarnya RUU SISDIKNAS. Pasalnya RUU SISDIKNAS dinilai tidak melibatkan masyarakat utamanya pelaku pendidikan untuk merekontruksi SISDIKNAS dari Undang-Undang sebelumnya. Salah satu hal yang mencolok adalah bahasa Indonesia yang tidak disebutkan sebagai bahasa pengantar pendidikan.
SISDIKNAS sebagai sistem yang mengatur pendidikan di Indonesia (resminya disebut dengan Undang-Undang Republik Indonesia nomor 20 tahun 2003) memuat pasal yang menyampaikan secara jelas bahasa pengantar pendidikan yaitu bahasa Indonesia. Secara khusus bahasa Indonesia digunakan sebagai bahasa pengantar pendidikan dimuat dalam pasal 33 Bab IV tentang bahasa pengantar. Berbeda dengan isi RUU SISDIKNAS saat ini, bahasa Indonesia tidak dicantumkan pasal yang mengatur penggunaan bahasa pengantar.
Secara umum perbedaan pada konteks bahasa Indonesia dalam hal ini, dapat dilihat melalui pasal 33 UU No 20 Tahun 2003 dan pasal 81 RUU SISDIKNAS. Pada pasal 33 menegaskan bahwa bahasa Indonesia sebagai bahasa negara menjadi bahasa pengantar dalam pendidikan nasional, baik di tahap penyampaian materi pengetahuan maupun keterampilan, serta penggunaan bahasa asing di satuan pendidikan tertentu untuk mendukung kemampuan berbahasa Inggris peserta didik. Berbeda dengan isi pasal 33 UU No 20 Tahun 2003 yang menjabarkan secara rinci eksistensi keberadaan bahasa Indonesia di dunia pendidikan, pasal 81 RUU SISDIKNAS hanya menyebutkan bahasa Indonesia sebagai mata pelajaran berbentuk muatan wajib dan tidak disebutkan keberadaannya sebagai bahasa pengantar pendidikan.
Padahal munculnya keberadaan bahasa Indonesia apabila ditelusuri sejarahnya menjadi sarana pemersatu pemuda bangsa di tengah warna-warni keberagaman Indonesia. Kedudukan bahasa Indonesia tidak hanya sebagai alat komunikasi antarbudaya melainkan bagian dari lambang identitas nasional. Selain itu, penyelenggaraan pendidikan saat ini tidak terlepas dari sejarah di masa lampau. Maka dari itu, penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar pendidikan perlu ditindaklanjuti melalui sebuah peraturan tertulis dan disebutkan dengan jelas seperti peraturan sebelumnya. Mengingat Indonesia adalah negara hukum dan berbagai program pendidikan sedang digencarkan, seperti pemerataan pendidikan.
Hal itu tidak menutup kemungkinan setiap peserta didik maupun pelaku pendidikan lainnya melakukan mobilitas di beberapa satuan pendidikan sehingga proses komunikasi membutuhkan jembatan yang dapat diterima kedua belah pihak. Sebenarnya penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar di tengah era globalisasi dapat membantu peserta didik menemukan identitasnya, memupuk rasa bangga, setia, nasionalisme, dan bentuk penghargaan pada bahasa persatuan Indonesia yaitu bahasa Indonesia.
Pastinya terdapat pihak pro dan kontra terhadap draft RUU mengenai bahasa pengantar pendidikan. Sebagian pihak berfikir tidak tercantumnya bahasa pengantar dalam proses penyelenggaraan pendidikan berarti bebas untuk menggunakan bahasa apapun sebagai bahasa pengantar. Hal ini disebabkan oleh pemikiran yang dilandasi sudah saatnya untuk bebas belajar bahasa, penggunaan bahasa asing sebagai bentuk mengikuti perkembangan peradaban apalagi generasi saat ini dituntut untuk siap dan sigap atas segala perubahan yang terjadi dengan cepat.
Tuntutan-tuntutan untuk melek dengan perkembangan peradaban yang terjadi di dunia pendidikan khususnya, menyebabkan peserta didik bahkan warga sekolah lainnya berfikir bahwa bahasa Indonesia sudah tidak lagi penting untuk dipelajari, karena keberadaannya sudah tergeserkan dengan bahasa asing. Hal ini menyebabkan sebagian pihak membutuhkan kejelasan terkait penggunaan bahasa pengantar.
Pihak yang mempertanyakan hilangnya aturan terkait penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar dalam RUU SISDIKNAS, juga didasari oleh berbagai faktor. Hal mendasar yang menjadi faktor tersebut, yaitu munculnya bentuk bahasa gaul yang menyebabkan eksistensi kaidah bahasa Indonesia menjadi menurun. Tidak sedikit peserta didik yang kurang menguasai bahasa Indonesia baik secara tertulis maupun lisan. Apabila tidak dilatih dan dibiasakan menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar terutama dalam penyelengaraan pendidikan, maka nasib eksistensi bahasa Indonesia akan semakin turun.
Kedudukan bahasa Indonesia dalam dunia pendidikan tidak hanya berdiri menjadi bagian dari materi dan berakhir nilai tapi, perlu implementasi nyata yang dipraktikan berkali-kali. Mengingat citra bahasa Indonesia sebagai identitas bangsa Indonesia pastinya menggabarkan pula identitas para generasinya dan budaya luhur bangsanya. Tidak akan baik didengarkan apabila bahasa Indonesia lebih benar diucapkan oleh bangsa luar dibandingkan generasi sendiri. Sebuah komedi besar apabila hal itu sampai terjadi dan citra bahasa Indonesia dalam bangsa sendiri direbut begitu saja.
Melihat fenomena tersebut, terbesit pertanyaan. Bagaimana kelanjutan eksistensi bahasa Indonesia? Mengapa RUU SISDIKNAS tidak menjabarkan fungsi bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar pendidikan melainkan sebatas bentuk muatan wajib? Apa motif yang melatar belakangi bahasa pengantar pendidikan tidak disebutkan dengan jelas dalam RUU SISDIKNAS? Kapan pemerintah membuka ruang diskusi terkait reaktualisasi terhadap RUU SISDIKNAS? Suara siapa yang akan diyakini agar bahasa Indonesia tetap menjadi bahasa pengantar pendidikan dan diatur secara jelas seperti peraturan sebelumnya?
Lima pertanyaan di atas bisa jadi mewakili sekian pertanyaan yang terbesit dari berbagai pihak. SISDIKNAS yang dirancang sedemikian rupa, seakan menjadi pemantik berbagai pihak untuk sekadar mengumpat maupun menyampaikan pendapat. Pendidikan yang menjadi tonggak utama peradaban bangsa tentunya tidak lepas dari berbagai sorot mata. Utamanya sebuah proses reaktualisasi tentunya membutuhkan perhatian secara komprehensif dan mengakomodasi berbagai elemen, tanpa terkecuali penyusunan RUU SISDIKNAS.