Lihat ke Halaman Asli

Pihak yang Berpotensi Melakukan Fraud di Era JKN

Diperbarui: 17 Juni 2015   14:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao



Tepat di bulan Januari 2015 ini, BPJS genap berusia 1 tahun. Sejak pelaksanaannya di awal tahun 2014 lalu yang mengundang banyak pro dan kontra, kini BPJS masih berjalan sesuai dengan amanat UUD 1945 dan masih terus memperbaiki serta meningkatkan pelayanannya untuk mencapai universal health coverage di tahun 2019 nanti.

Meskipun baru berusia satu tahun, bukan berarti di era Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) ini tidak terjadi berbagai macam kecurangan, atau biasa disebut fraud. Sayangnya, baik masyarakat maupun pihak penyelenggara JKN, dalam hal ini BPJS, masih belum peduli akan terjadinya fraud. Definisi dari fraud sendiri adalah kesengajaan melakukan kesalahan terhadap kebenaran untuk tujuan mendapatkan sesuatu yang bernilai atas kerugian orang lain atau mendapatkannya dengan membelokkan hukum atau kesalahan representasi suatu fakta, baik dengan kata maupun tindakan; kesalahan alegasi (mendakwa orang melakukan tindakan criminal), menutupi sesuatu yang harus terbuka, menerima tindakan atau sesuatu yang salah dan merencanakan melakukan sesuatu yang salah kepada orang lain sehingga dia bertindak di atas hukum yang salah (Black’s Law Dictionary). Dari definisi tersebut diketahui bahwa fraud sangatlah perlu perhatian khusus dalam penanganannya.

Fraud pada era JKN dapat terjadi pada semua proses pelayanannya, baik itu hal-hal yang paling kecil sampai yang besar. Pada saat registrasi peserta, fraud bisa terjadi ketika peserta memalsukan identitasnya. Sampai saat ini, peserta yang mendaftar ketika baru jatuh sakit cenderung lebih banyak dibanding peserta mendaftar yang masih sehat. Dalam Peraturan Presiden No.111 Tahun 2013 tentang perubahan atas Peraturan Presiden No. 12 tentang Jaminan Kesehatan, dijelaskan bahwa jika terjadi keterlambatan iuran peserta akan dikenakan denda sebesar 2% per bulan dari total iuran yang tertunggak. Peserta yang memalsukan identitasnya dan tidak melanjutkan pembayaran iuran setelah kembali sehat, bisa saja mendaftarkan kembali dengan identitas yang berbeda untuk menghindari pembayaran ditambah denda iuran.

Selain fraud yang dilakukan peserta, pihak Pemberi Pelayanan Kesehatan (PPK) di era JKN ini juga berkesempatan besar untuk melakukan fraud. Bentuk fraud yang bisa dilakukan oleh PPK antara lain memberikan pelayanan lebih sedikit atau lebih banyak dari yang seharusnya dibutuhkan oleh peserta. Hal ini tentunya merugikan peserta dan tentunya BPJS Kesehatan sebagai pihak penyelenggara, dalam kasus ini peserta tidak mendapatkan pelayanan yang sesuai dengan kebutuhan medisnya sehingga bisa jadi peserta harus kembali lagi ke PPK untuk mendapat pelayanan yang optimal. Pihak BPJS juga menjadi pihak yang dirugikan apabila PPK Primer mengurangi pelayanan dan juga waktu pelayanan, padahal setiap bulannya BPJS telah membayarkan kapitasi untuk digunakan PPK memberikan pelayanan yang optimal bagi pesertanya. Pada tingkat PPK rujukan, fraud juga bisa terjadi bila PPK melakukan klaim untuk pelayanan yang sebenarnya tidak dilakukan oleh PPK tersebut. Tentunya dalam hal ini BPJS kembali menjadi pihak yang dirugikan.

Terakhir, pihak BPJS sendiri sebagai pengelola dana juga tidak lepas dari potensi fraud. Perlunya transparansi dana yang dikelola oleh BPJS untuk menghindari terjadinya korupsi, gratifikasi dan efisiensi dana publik yang diamanatkan. Seperti kita ketahui, setiap bulannya jutaan orang membayar iuran premi dan mempercayakan BPJS untuk mengelola dana amanat tersebut.

Ada beberapa cara yang bisa dilakukan untuk menghindari fraud di era JKN ini. Pertama, perlunya sosialisasi yang lebih massive lagi mengenai program JKN ini agar seluruh lapisan masyarakat memahami dengan baik. Kedua, perlunya peraturan atau ketentuan hukum yang jelas dan tegas mengenai sanksi apabila ada pihak yang melakukan fraud. Selain itu, pemerintah juga perlu menetapkan standar pelayanan, standar obat dan alat kesehatan yang dapat menjadi acuan dalam semua tindakan pelayanan kesehatan, sehingga apabila terjadi fraud dapat ditelusuri dan diidentifikasi berdasarkan acuan yang sudah ditetapkan tersebut. Karena sampai saat ini BPJS belum melindungi hak para pesertanya secara tegas apabila peserta tidak mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis.



Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline