Lihat ke Halaman Asli

Di Balik 'The Great Firewall'

Diperbarui: 26 Juni 2015   01:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

There is more to life than increasing its speed”

--------Mahatma Gandhi


Apakah Anda mengenal sebuah negara bernama China? Tentunya Anda akan menjawab ‘iya’ dengan yakin. Siapa tak kenal negara China, sebuah negara macan Asia yang mematahkan anggapan bahwa negara komunis tak akan maju secara ekonomi. Di saat negara-negara maju di barat kelimpungan akibat krisis ekonomi global di awal tahun 2009, China merupakan satu-satunya negara yang ekonominya tetap tumbuh tak tergoyahkan (www.dw-world.de, 2009). Namun, siapa sangka bahwa negara yang kekuatan ekonominya kini sangat diperhitungkan di percaturan ekonomi dunia tersebut sangat kurang akses informasinya. Di negara China, yang menganut ideologi komunis dengan sistem komunikasi tersentralisasi, masyarakat luas tidak diizinkan untuk mengakses internet secara bebas. Banyaknya sensor dan pemblokiran terhadap akses internet di China membuat negara tersebut diijuluki sebagai ’Great Firewall’. Hanya menjelang event-event tertentu lah China memberikan kemerdekaan bagi akses internet, salah staunya menjelang Olimpiade Beijing 2008. Atas dasar internasionalisasi sebagai tuan rumah, China baru mengizinkan akses internet secara bebas di seluruh wilayah China. Namun hal tersebut hanya berlangsung selama olimpiade terseut berlangsung dan hanya kepada pihak yang berkepentingan dengan pelaksanaan olimpiade, seperti wartawan asing.



Negara China menjadi contoh nyata bahwa, disadari atau tidak, arah perkembangan sebuah teknologi di suatu negara, khususnya teknologi komunikasi, sangat ditentukan oleh aspek politik, ekonomi, sosial, dan budaya (poleksosbud) yang berkembang di negara yang bersangkutan. Aspek-aspek yang dimaksud ialah mencakup ideologi yang dianut negara dan kepentingan-kepentingan tertentu yang dimiliki negara tersebut, juga isu-isu poleksosbud yang berkembang di negara tersebut. Hal ini sesuai dengan konsep perspektif payung yang dikemukakan oleh August Grant yang menganalogikan teknologi komunikasi sebagai gagang atau tangkai dalam sebuah payung, sedangkan tudung payung tersebut mereprsentasikan sistem politik, sistem ekonomi, sistem sosial, sistem budaya, dan sistem komunikasi yang dianut di negara tersebut. Sebagai sebuah tudung, sistem-sistem tersebutlah yang menentukan, mengarahkan, dan membatasi sejauh mana sebuah teknologi komunikasi di suatu negara akan berkembang (Grant, 2004).

Perspektif pertama yang kita gunakan ialah dari kacamata politik. Cukup banyak isu-isu politik yang berkaitan dengan teknologi komunikasi. Bagaimana arus komunikasi berjalan ditentukan oleh sistem politik yang digunakan. Apabila sistem politiknya otoriter dan terpusat pada pemerintah, maka kebebasan arus informasinya pun dibatasi. Konsekuensinya, tidak dikenal adanya freedom of speech atau konsep bahwa opini dan isi media seharusnya bebas dari sensor dan larangan pemerintah. Dan yang terjadi ialah pemerintah membatasi arus informasi dari media kepada khalayak, terutama informasi-informasi yang dinilai mengancam status quo, dengan menggunakan stabilitas pemerintahan sebagai alasan. Pembatasan ini dilakukan pemerintah dengan cara mengeluarkan berbagai kebijakan dan regulasi yang melegitimasi pembatasan arus informasi dari media, seperti contoh di atas, yaitu negara China. Pembatasan akan akses internet ini, akan menjadi faktor penghambat (inhibiting factor)bagi perkembangan teknologi internet di China. Selain freedom of speech, isu politis lainnya ialah mengenai libel atau pencemaran nama baik yang semakin marak seiring dengan teknologi media yang semaik berkembang. Oleh karena itu, tak selamanya pembatasan teknologi melalui regulasi merupakan suatu hal yang buruk. Regulasi sangat diperlukan untuk menunjang aspek kultural dari teknologi itu sendiri. Misalnya saja, dari segi politis, perkembangan teknologi menciptakan adanya pergeseran makna kekuasaan politis. Mereka yang berkuasa ialah yang dapat menguasai media. Oleh karena itu, dalam hal ini regulasi diperlukan untuk mengindari adanya monopoli media oleh pihak-pihak yang memiliki kepentingan tertentu.

Ditinjau dari aspek ekonomi, sistem ekonomi yang dianut suatu negara juga turut menjadi kunci determinasi. Apabila negara tersebut menganut paham liberal dengan menonjolkan sistem pasar bebas, maka akan berkembang berbagai macam teknologi yang menunjang kemudahan dan kebebasan bertransaksi, misalnya melalui situs-situs online shopping dan bebasnya commercial speech atau iklan-iklan yang termuat dalam media massa. Kembali kepada contoh di awal yaitu negara China, satu akses internet yang diblokir oleh pemerintah China ialah situs-situs online shopping asing seperti amazon.com dan ebay.com. Hal tersebut dilakukan pemerintah China sebagai bentuk proteksi terhadap produk dalam negeri. Selanjutnya, isu ekonomis lain yang muncul mengiringi perkembangan teknologi komunikasi lain ialah mengenai commercial speech atau teknologi komunikasi periklanan. Di Amerika, isu ini cukup menjadi perhatian, karena terjadi penyimpangan commercial speech secara nyata. Pada dasarnya, tujuan iklan ialah untuk kepentingan bisnis, tetapi seiring berkembangnya teknologi komunikasi periklanan, para pelaku bisnis sering memanfaatkannya untuk menipu konsumen secara halus dan elegan sebagai bentuk penipuan yang tidak disadari. Misalnya saja penggunaan tokoh-tokoh palsu sebagai teaser sebuah produk dan disebarkan dengan luas di jaringan internet. Selain itu terdapat isu mengenai capture theory yang menjelaskan bahwa regulasi yang ditetapkan merupakan implikasi dari ketergantungan pihak pembuat kebijakan terhadap industri media dan informasi karena kepentingan-kepentingan tertentu. Contoh terjadinya capture theory di Indonesia ialah ditundanya implementasi sistem TV berjaringan yang telah diatur dalam UU Penyiaran 2002, bahkan terdapat wacana untuk merevisi UU tersebut. Hal tersebut mengindikasikan adanya kepeningan tertentu yang dimiliki oleh para pembuat kebijakan dan dependensinya terhadap industri media dan informasi. Hal-hal semacam inilah yang membuat regulasi mengenai penggunaan teknologi komunikasi di bidang ekonomi menjadi penting.

Kacamata berikutnya yang kita gunakan ialah kacamata sosio-kultural. Ditinjau dari aspek sosial, perkembangan teknologi komunikasi telah membawa perubahan sosio-kultural yang cukup signifikan dalam masyarakat, seperti contohnya yang dapat kita lihat secara jelas dalam kehidupan sehari-hari, yaitu pergeseran pola interaksi sosial akibat pengaruh media. Di era di mana komputerisasi dan gelombang internet melanda, interaksi manusia tidak hanya berjalan secara konvensional melalui tatap muka dan secara fisik, tetapi juga melalui media elektronik seperti sms, telepon, tele-conference, sampai yang sekarang marak, yaitu melalui situs-situs jejaring sosial. Jika menilik ke negara China yang menjadi objek studi kali ini, perlu diketahui sebuah fakta bahwa meskipun China menetapkan regulasi ketat yang membatasi akses internet secara bebas bagi warganya, sebuah riset membuktikan bahwa pengguna internet di China lebih sociable dan lebih menggemari situs-situs social networking daripada user di Inggris (www.dailysocial.net, 2010). Realitas sosial inilah yang mungkin membuat pemerintah China memblokir internet karena danya kekhawatiran akan perubahan pola sosial yang pada kondisi ekstrim dapat menyebabkan revolusi dengan dimulai dari gerakan sosial melalui internet. Sebagai contoh, gerakan sosial dengan memanfaatkan teknologi internet ini telah teruji efektivitasnya di Indonesia. Anda tentu ingat bagaimana media massa mem-blow-up kasus Prita Mulyasari sehingga setiap orang concern dengan kasus tersebut. Isu-isu sosio-kultural teknologi komunikasi lainnya ialah mengenai pricvacy dan pornografi. Efek kultural yang timbul dari pesatnya kemajuan teknologi komunikasi ialah minimnya batas-batas privasi seseorang. Teknologi mutakhir seperti internet yang mampu menyimpan personal database seseorang secara lengkap dan dapat menampilkannya, sehingga menjadi area yang rawan pelanggaran privasi. Pornografi juga menjadi salah satu isu krusial ketika kita membicarakan kemajuan teknologi komunikasi. Mudahnya akses terhadap situs-situ porno secara tak langsung turut bertanggungjawab terhadap degradasi moral bangsa. Di Indonesia, banyak kasus-kasus pelanggaran privasi dan pronografi yang berkaitan dengan penggunaan teknologi komunikasi yang tidak dapat diatasi karena tidak adanya payung hukum yang jelas. Oleh karena itu, regulasi yang mendetail secara teknis dan substantif diperlukan agar adopsi terhadap perkembangan teknologi diimbangi oleh budaya menghargai social value yang kuat di masyarakat.


Referensi :

Grant, August. (2004). Communication Technology Update and Fundamental. Boston : Focal Press.

Straubhaar, Joseph & LaRose, Robert. (2006). Media Now : Communication Media in the Information Age. Belmont, CA : Wadsworth.

www.dailysocial.net/2010/03/23/user-internet-di-china-lebih-sosial-dari-uk/

www.dw-world.de/dw/article/0,4493734,00.htm

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline