[caption caption="sidang MKD"][/caption]
Hari-hari terakhir ini kita disuguhi tontonan seputar Sidang Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR tentang kasus pencatutan Presiden Jokowi oleh Ketua DPR dan pengusaha ternama negeri ini dalam lobi Freeport. Berhari-hari hampir selama 24 jam media cetak, online dan elktronik mengangkat tema yang “membosankan” ini. Membosankan ? Iya betul-betul membuat jengah, sebuah skenario media luar biasa untuk membentuk persepsi public, sampai lupa akan substansi lain, apa itu? Rakyat tidak akan jadi makin sejahtera dengan tontonan macam ini, Kemiskinan di Papua masih tinggap tinggi, Daerah dimana Freeport bercokol sejak puluhan tahun silam. Sidang yang tak lebih dari sekedar komite etik sedemikian dibesar-besarkan, bahkan di set up dengan gaya Peradilan, lengkap dengan sebutan “Yang Mulia” dan Toga. Bukan bermaksud skeptis, tapi tontonan ini benar-benar membosankan semakin mengaburkan fakta lain bagaimana dengan pelaksanaan UU Minerba? Indikasi pelanggaran sudah ada, berupa ekspor konsentrat yang masih diizinkan, atau bagaimana kabar regulasi yang mengatur kontrak karya Freeport kapan akan dibahas? Pun Mekanisme Divestasi Saham jika jadi dilakukan siapa yang akan diuntungkan? Publik dibuat lupa dan kabur akan hal-hal ini, padahal eksekutif dan legislative mesti bersatu padu mengatasi hal ini. Apa lacur, tontonan sidang MKD tak lebih menjadi delegitimasi kekuatan eksekutif dan legislative sebagai para pelaku Parodi dan makin layak untuk ditertawakan.
Wajar Gelisah, bahkan Prof. Rhenald Kasali dalam Koran Jawa Pos edisi Selasa,8 Desember 2015, mengangkat tema sebutan Yang Mulia yang berada di titik nadir, Yang Mulia yang tidak mulia lagi, jadi bahan olok-olok dan meme yang beredar luas di social media. Sidang MKD memang menjadi menarik, sudah beberapa kali Ketua DPR dipanggil oleh MKD, teguran demi teguran dilayangkan, apakah berefek jera? Sejauh ini tidak juga, dan sepertinya MKD akan menjadi alat kelengkapan dewan yang semakin disorot kedepan, bisa jadi akan semakin banyak anggota DPR yang dilaporkan karena kasus-kasus lain.
Sungguh sangat disayangkan, Melihat Fenomena sidang MKD ini kita seakan lupa akan nasib persoalan sebenarnya, bagaimana nasib Freeport ke depan di Indonesia?, apalagi jika benar ada surat dari Menteri ESDM pada Freeport bahwa memberikan jaminan perpanjangan setelah 2019, saat kontrak Freeport selesai. Meski dengan catatan menunggu pembahasan Regulasi selesai oleh Pemerintah dan DPR. Ataupun lobi-lobi elit politik lain Akankah Freeport hengkang kaki dari Indonesia setelah 2021?
Ketika berkesempatan mengunjungi kawasan Timika pada medio 2014 -di wilayah inilah Freeport beroperasi- benar-benar terlihat sebuah kesenjangan yang luar biasa antara infrastruktur masyarakat Timika dan Kawasan Operasi Freeport, bahkan bisa dibilang jantungnya Timika itu adalah Freeport. Disaat jalan-jalan di Timika rusak atau berkualitas asal-asalan, maka jalan menuju dan dikawasan Freeport adalah jalan dengan kualitas aspal terbaik, setara dengan jalan Tol di Jakarta. Belum ditambah ketika memasuki kawasan Kuala Kencana , tempat sebagian karyawan Freeport tinggal, semakin berecak kagum. Sangat Krontas dengan kawasan Timika yang lain, Kuala Kencana ini sangat mewah bahkan setara dengan pemukiman elit di kota besar Jawa. Kawasan TembagaPura didekat lokasi pertambangan tak kalah canggih.
[caption caption="kawasan kuala kencana"]
[/caption]
Sempat terfikir apa memang tidak ada bagi hasil signifikan antara Industri Freeport untuk pembangunan kawasan di Timika? Menarik jika melihat kembali sebuah film Dokumenter berjudul “Alkinemokiye” buatan Dandhy Laksono. Film ini mengangkat tentang Freeport dan kehdiupan karyawan Freeport. Banyak sisi lain tentang Freeport dan kesejahteraan karyawan disana, soal kesenjangan dan intimidasi oleh Aparat keamanan dikupas dalam film ini. Membandingkan film ini dengan realita yang saya temui sendiri, menjadi paham bahwa memang ada yang salah dalam pengelolaan Freeport ini.
Lantas kedepan mau gimana nasib Freeport ini? Staff Khusus Kementrian ESDM, Said Didu, menerangkan bahwa ada beberapa dilematis yang dihadapi pemerintah terkait Freeport ini. kontrak karya (KK) yang ditandatangani tahun 1991 terdapat 4 substansi yang memberatkan
Indonesia, pertama bahwa PTFI (PT Freeport Indonesia) boleh kapan saja meminta perpanjangan kontrak dan pemerintah tdk boleh menghalangu tanpa alasan wajar. Kedua, kontrak ditafsirkan berdasarkan UU RI yang telah berlaku saat kontrak ditandatangani ( sebelum tahun 1991). Ketiga, pemerintah tidak boleh melakukan nasionalisasi. Keempat, jika pemerintah inginkan saham freeport (divestasi) maka yg berlaku adalah harga pasar. Benar-benar persoalan dilematis. perjanjian gendeng, tapi meratapi masa lalu sama saja dengan remaja nanggung yang gagal Move On, dan masih berharap balikan ama mantan (ah.. abaikan kalimat terakhir ini).
Berdasar hal diatas pula, maka sampai awal Juli 2014 Freeport masih menolak membangun smelter (industri peleburan) sebagaimana disayaratkan oleh Undang-Undang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba) Nomor 4/2009. Padahal ada waktu 5 tahun, saat ini negosiasi pembangunan smelter ini juga masih belum jelas, hal ini juga makin terungkap dalam rekapan percakapan yang digunakan untuk bukti aduan oleh Menteri ESDM. Freeport sempat melunak dan bersedia menaruh sekitar US$ 115 juta sebagai jaminan untuk membangun smelter, dan dengan itu mereka minta tetap dibolehkan mengeskpor barang mentah dalam bentuk ore (lumpur/konsentrat mentah yang mengandung emas, perak, tembaga dan lain-lain). Apalagi jika kita menengok fakta bahwa RI Cuma kebagian 1% saja dari royalti.[1]
Konyol ? ya memang konyol, harus ada negosiasi ulang dan perumusan kedepan agar lebih bermanfaat untuk kesejahteraan rakyat. Masih menurut Said Didu, ada 5 variabel yang mesti diperhatikan terkait keputusan masalah Freeport ini, Variabel 1) kedaulatan harus berada di RI, Variabel 2) peningkatan dampak.ekonomi dan fiskal.serta pendapatan.daerah, Variabel 3) kepastian hukum, termasuk.pertiambangan.arbitrase. Variabel 4) keadaan dan dampak sosial ekonomi terhadap Papua, Varibel 5) pertimbangan geopolitik dan geokeamanan. Kemaslahatan untuk rakyat tetap harus diperhatikan.