Surabaya adalah salah satu kota besar yang ada di Indonesia, yang pada akhir abad ke-19 menjadi pusat ekonomi. Kota Surabaya telah menjadi kota industri yang baik, yang juga ditunjang oleh adanya kawasan hinterland yang subur. Surabaya dengan perekonomiannya yang dinamis, menjadi salah satu tujuan kaum pedagang dari wilayah lain di sekitarnya, termasuk dari wilayah pedesaan. Adanya urbanisasi penduduk ke Kota Surabaya tentu saja membawa dampak dan pengaruh terhadap kota itu sendiri. Kepadatan penduduk akibat adanya urbanisasi kemudian menciptakan konflik-konflik perkotaan yang baru.
Keterbatasan ruang kota menjadi permasalahan karena semakin tingginya permintaan ruang, baik oleh perseorangan maupun kelompok. Persaingan dalam perebutan ruang kota menjadi konflik yang terus terjadi dan berlangsung terus-menerus, hingga terjadi ketegangan yang melibatkan sejumlah pihak yang berkepentingan. Tak jarang kasus perebutan ruang kota juga dibawa ke meja hijau.
Urbanisasi selain menimbulkan masalah kemiskinan, juga menimbulkan permasalahan kepadatan penduduk. Kemiskinan yang terjadi pada masyarakat terbentuk melalui proses yang panjang, dan melibatkan beberapa unsur. Di antaranya adalah perubahan ekologi, urbanisasi, serta krisis ekonomi dan perang. Penduduk miskin yang pindah ke kota mengalami kesulitan dalam membangun atau memiliki hunian karena tidak memiliki ruang dan dana yang memadai. Karena terbatasnya ruang yang digunakan sebagai hunian masyarakat ini, akhirnya di Kota Surabaya terbentuk tempat-tempat tinggal yang berada di tempat yang tidak lazim. Hal tersebut sebagai konsekuensi dari ketidakmampuan masyarakat miskin di kota untuk membangun tempat tinggal yang layak.
Masyarakat miskin Kota Surabaya dapat memiliki hunian tempat tinggal dengan cara mengambil alih ruang privat yang bukan hak mereka secara illegal (Purnawan Basundoro, 2012: 438).
Salah satu ruang privat yang diambil alih adalah rumah-rumah milik korban perang di Kota Surabaya, yang dilakukan pada awal kemerdekaan sekitar tahun 1947 hingga 1947. Peristiwa ini diawali dari Jepang yang telah bertekuk lutut pada Sekutu pada pertengahan Agustus 1945. Setelah masyarakat Surabaya mengambil alih pemerintahan Jepang di Surabaya, kemudian pada 25 Oktober 1945 datanglah pasukan Sekutu yang dipimpin oleh Inggris.
Pertengahan Oktober dan November 1945, kondisi Kota Surabaya tidak kondusif akibat Inggris mengancam akan melakukan pengemoban Kota Surabaya jika masyarakat tidak menyerahkan senjata perang. Hal ini membuat banyak masyarakat Surabaya yang memilih untuk keluar dari Kota Surabaya, dan mengungsi ke kota lain daripada tetap berada di Kota Surabaya dalam kondisi perang. Perang besar terjadi di Kota Surabaya, dengan puncaknya adalah pada 10 November 1945. Perang tersebut berdampak pada menurun drastisnya jumlah penduduk Kota Surabaya.
Akibatnya, Kota Surabaya seperti kota kosong. Sebagian rumah-rumah kosong tidak berpenghuni, sebagian lagi rusak dan hancur karena ledakan bom selama perang. Rumah-rumah milik orang-orang Eropa yang berpindah kepemilikan menjadi milik Jepang, rumah-rumah orang Cina, dan rumah-rumah milik penduduk bumiputera ditinggalkan dalam kondisi tanpa penghuni. Rumah-rumah kosong ini dibiarkan tanpa adanya pengawasan sama sekali. Rumah-rumah ini dibiarkan dalam kondisi terbuka, dan sebagian besar isinya diambil oleh masyarakat Kota Surabaya yang masih menetap. Masyarakat yang masih menetap di kota antara lain masyarakat miskin, gelandangan, dan orang-orang yang pindah ke Surabaya selagi kota itu ditinggal penghuninya mengungsi (Soember Penerangan 30 November 1946).
Masyarakat Surabaya mulai kembali bertadatangan pada pertengahan tahun 1947, saat kondisi kota sudah mulai pulih. Penduduk yang baru tiba melihat rumahnya telah dihuni oleh orang lain yang tidak mereka kenal. Rumah-rumah tersebut ternyata telah dihuni secara paksa, yang merupakan perampasan secara illegal oleh orang lain. Hal ini semakin menyulitkan pemilik rumah asli apabila mereka tidak memiliki bukti kepemilikan rumah, yang mungkin hilang saat terjadi perang maupun saat mereka sedang mengungsi.
Hal ini berdampak pada hilangnya tempat tinggal bagi banyak orang, mungkin hingga ribuan orang. Kemudian dibuat penampungan pengungsi yang menggunakan gedung-gedung kosong untuk dihuni oleh penduduk Surabaya yang rumahnya telah diambil alih secara paksa oleh orang-orang tak dikenal sewaktu mereka mengungsi saat perang. Karena terbatasnya gedung dan ruang kota, pengungsi-pengungsi ini tidak seluruhnya dapat ditampung. Sehingga banyak juga pengungsi yang akhirnya terpaksa menumpang di emper rumah orang tanpa izin. Mereka akan menumpang tidur di malam hari saat penghuni rumah telah terlelap.
Sehingga masyarakat yang semula memiliki rumah menjadi gelandangan tanpa hunian, dan sebaliknya. Hal ini terjadi pada semua kalangan profesi tanpa terkecuali. Selain rumah-rumah korban perang yang diambil alih, tanah milik Pemerintah Kota Surabaya pun juga turut diambil alih oleh masyarakat yang tidak memiliki tempat tinggal.
Kota Surabaya sebagai kota yang memiliki perekonomian yang dinamis menjadi salah satu tujuan utama para pendatang untuk urbanisasi. Namun keterbatasan ruang kota menjadi konflik baru yang terjadi di Kota Surabaya. Masyarakat miskin terutama pendatang menimbulkan masalah baru yang berkaitan dengan perebutan ruang kota. Karena keterbatasannya dalam membuat dan memiliki tempat tinggal, akhirnya perebutan dan pengambilalihan secara ilegal pun dilakukan. Salah satu yang diambil alih adalah rumah-rumah milik korban perang Surabaya tahun 1945. Para pemilik asli rumah meninggalkan rumahnya untuk mengungsi ke luar kota. Namun seiring ditinggalkannya, rumah mereka dijarah dan diambil alih oleh orang tidak dikenal yang menyebabkan pemilik rumah asli kehilangan rumah mereka.