Sebelum terjadi perang pasti ada konfliknya terlebih dahulu. Tetapi, sebenarnya apa yang dimaksud dengan konflik sendiri? Konflik adalah masalah atau isu yang terjadi antara dua pihak atau lebih. Masalah atau isu tersebut juga bisa saja besar atau kecil, tergantung pandangan pihak-pihak yang terlibat atau bahkan pandangan pihak yang tidak terlibat. Contoh penyebabnya sendiri banyak, bisa saja karena berbeda ideologi, pendapat, pandangan, tujuan, terjadi persaingan, ketidakadilan, diskriminasi, kekerasan dan masih banyak lagi. Seperti konflik yang sedang terjadi saat ini, yaitu konflik Hizbullah dan Israel. Sebenarnya konflik ini sudah lama terjadi, tepatnya sejak tahun 1982 tapi masih terjadi hingga sekarang dan kian memanas. Sebenarnya apa asal usul Hizbullah yang merupakan aktor non-negara bisa terlibat dalam konflik dengan Israel? Dan apa yang melatar belakangi konflik tersebut?. Pada Juni 1982, Israel menginvasi Lebanon sebagai akibat dari serangkaian serangan yang dilakukan oleh Organisasi Pembebasan Palestina dari Lebanon.
Perang saudara Lebanon telah terjadi selama tujuh tahun waktu itu. Berharap agar bisa membangun pemerintahan yang bersahabat di Lebanon, Israel memilih untuk menduduki selatan lalu pergi sejauh Beirut Barat, tempat di mana Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) bermarkas, yang dikepung. Selesai perang, PLO pindah ke Tunisia, tetapi Israel masih ada Lebanon, untuk mendukung kemajuan lokal yang di dalam perang saudara juga turut berkontribusi pada Pembantaian Sabra dan Shatila. Milisi sayap kanan Lebanon, yang dikoordinasikan dengan Israel, dan menghilangkan nyawa 2.000 dan 3.500 pengungsi hingga rakyat sipil Palestina dan Lebanon selama dua hari. Beberapa kelompok di Lebanon berkumpul untuk menentang invasi; salah satunya adalah komunitas Muslim Syiah, yang secara tradisional merupakan demokrasi yang kuat. Hizbullah yang merupakan gagasan dari para pemimpin muslim. Hizbullah adalah sebuah organisasi atau aktor non-negara yang memiliki peran politik dan militer, serta berbasis di Lebanon. Hizbullah, yang berarti "Partai Tuhan" dalam bahasa Arab, didirikan pada tahun 1982 selama perang saudara di Lebanon.
Organisasi ini muncul sebagai respons terhadap invasi Israel ke Lebanon selatan pada saat itu. Antara tahun 1982 hingga 1986, sejumlah serangan yang terjadi pada kehadiran militer asing dilakukan lalu diklaim oleh berbagai kelompok, tetapi banyak yang menyalahkan Hizbullah. Lebanon mengadakan pemilihan untuk pertama kalinya pada tahun 1992, sejak 1972. Hizbullah yang mulai terlihat besar karena terbukti dari hasil pemungutan suara, yang mana Hizbullah mendapatkan 12 kursi dari 128 kursi yang ada di parlement. Kemudian pada tahun 1993, Israel kembali menyerang Lebanon yang bertujuan untuk membunuh sembilan prajurit Israel yang meninggal di zona aman. Pada masa-masa itulah Hizbullah terus membangun kekuatan dalam masyarakat. Perang Lebanon 2006 terjadi antara Hizbullah (kelompok militan Syiah di Lebanon) dan Israel. Konflik ini berlangsung selama 34 hari, dimulai pada 12 Juli 2006. Hizbullah menyusup ke wilayah Israel, setelah menyerang kota Sholmi di Israel utara dengan rudal Katyusha. Dalam serangan tersebut, tiga pasukan Israel tewas, dua luka-luka, dan dua diculik oleh Hizbullah. Konflik ini mengakibatkan 1.200 orang tewas di Lebanon, sebagian besar adalah warga sipil. Sebagian besar juga tentara Israel yang kehilangan nyawa mereka akibat konflik tersebut, tepatnya 158 korban jiwa. Pada tanggal 8 Oktober 2023, kelompok militan Lebanon, Hizbullah, memanfaatkan situasi Perang Israel Hamas 2023 dan menembakkan roket berpadu serta peluru artileri ke posisi Israel di wilayah Peternakan Shebaa yang disengketakan. Israel merespons dengan melancarkan serangan drone dan peluru artileri ke posisi Hizbullah yang berdekatan dengan perbatasan Lebanon di Dataran Tinggi Golan yang diduduki Israel. Hizbullah, bersama dengan kelompok-kelompok lain seperti Amal, Hamas, dan Jihad Islam Palestina, terlibat dalam konflik ini. Israel juga melibatkan pasukan militer dan intelijennya, termasuk Angkatan Pertahanan Israel (IDF) dan Mossad. Menurut perkiraan, sekitar 1.500 hingga 2.000 milisi, tentara, dan polisi tewas dalam konflik ini. Lebih dari 900 warga sipil Lebanon dan 41 warga sipil Suriah juga tewas akibat pertempuran. Pada bulan September 2024, terjadi eskalasi signifikan dalam konflik ini. Ledakan di Lebanon yang menargetkan Hizbullah dan secara luas dikaitkan dengan Israel menjadi pemicu awal. Terjadi serangan udara setiap harinya sebagai respon Israel, yang akhirnya merenggut nyawa komandan senior Hizbullah. Pasukan Pertahanan Israel (IDF) melancarkan serangan darat terbatas, terlokalisasi, dan terarah di Lebanon selatan untuk menghancurkan apa yang mereka klaim sebagai "infrastruktur teroris" milik Hizbullah. IDF dan Hizbullah terlibat dalam bentrokan langsung, termasuk pertempuran jarak dekat dan penggunaan amunisi saling berpadu. Hizbullah mengklaim berhasil menghancurkan beberapa tank Merkava Israel, setelah menembakkan rudal antitank pada pasukan komando Israel. Lebih dari 1.000 orang tewas akibat pertempuran ini, dan hampir satu juta warga Lebanon meninggalkan rumah mereka.
Konflik antara Hizbullah dan Israel memiliki beberapa kaitan transparan dengan Perang Dingin dan Konsep Westphalia, meskipun tidak secara langsung terlibat dalam konflik antara Blok Barat dan Blok Timur. Hizbullah memiliki hubungan erat dengan Iran dan Suriah, dan ideologinya sebagian besar ditentukan oleh konflik dengan Israel, sementara Israel memiliki dukungan dari negara-negara Barat, terutama Amerika Serikat. Kelompok ini membangun aliansi jangka panjang dengan Iran dan Suriah, terutama dalam penyerangan terhadap Israel dan pencegahan pengaruh Barat di Timur Tengah. Meskipun tidak secara langsung terlibat dalam Perang Dingin antara Blok Barat dan Blok Timur. Konsep Westphalia menegaskan prinsip negara-negara berdaulat sebagai entitas yang memiliki hak untuk mengatur urusan internalnya tanpa campur tangan dari negara lain. Dalam konteks konflik Hizbullah-Israel, kedua pihak (Lebanon dan Israel) adalah negara berdaulat yang memiliki hak untuk mempertahankan wilayah dan keamanan mereka. Hizbullah, sebagai kelompok bersenjata di Lebanon, berusaha mempertahankan kedaulatan wilayah Lebanon terhadap campur tangan Israel. Konflik ini melibatkan ketegangan regional di Timur Tengah, dan prinsip kedaulatan negara menjadi relevan. Hizbullah menjadi bagian dari dinamika geopolitik regional yang dipengaruhi oleh rivalitas antara kekuatan global. Konflik ini juga mencerminkan dinamika Deterrence, Security Dilema dan Balance of power, di mana kedua pihak ini berusaha untuk saling mengintimidasi satu sama lain. Israel, sebagai negara yang memiliki kekuatan militer yang kuat, berusaha mencegah serangan dari Hizbullah dengan mengancam balasan yang mematikan. Israel memiliki kebijakan "deterrence of choice," yang berarti mereka akan merespons setiap serangan terhadap warganya dengan kekuatan militer yang lebih besar. Hizbullah, di sisi lain, menggunakan serangan rudal dan taktik gerilya untuk mengancam Israel dan menciptakan ketidakpastian di wilayah perbatasan. Hizbullah, meskipun memiliki kekuatan militer yang lebih terbatas, berusaha membangun deterrence dengan mengancam dan menciptakan ketidakpastian serangan balasan yang dapat merusak Israel secara ekonomi dan mempengaruhi kehidupan sehari-hari penduduknya. Kedua pihak saling memperkuat persenjataan dan mengambil tindakan yang dapat memicu ketegangan lebih lanjut yang bertujuan untuk mencegah dominasi pihak satu terhadap pihak yang lain.
Dari sejarahnya, kita bisa mengetahui bahwa sebenarnya konflik Hizbullah dan Israel sudah lama terjadi hingga kini dan makin memanas. Hizbullah, yang didirikan pada tahun 1982 sebagai respons terhadap invasi Israel ke Lebanon, muncul dalam konteks konflik yang kompleks, termasuk perang saudara Lebanon dan dampak serangan Organisasi Pembebasan Palestina (PLO). Seiring berjalannya waktu, Hizbullah mengembangkan peran politik dan militernya di Lebanon, berjuang melawan kehadiran Israel, terutama dalam konteks perang Lebanon 2006 dan konflik terbaru pada 2023. Hubungan Hizbullah dengan Iran dan Suriah memperkuat ideologinya yang berfokus pada perlawanan terhadap Israel, sementara Israel berusaha menjaga keamanan nasionalnya melalui kebijakan militer yang agresif. Konflik ini mencerminkan dinamika geopolitik yang melibatkan prinsip kedaulatan negara, deterrence, dan ketegangan regional di Timur Tengah. Sebenarnya keduanya salah di dalam konflik ini, jika saja Israel tidak menyerang Lebanon mungkin akan meminimalisir konflik ini, tetapi juga jika saja PLO tidak menyerang Israel mungkin tidak akan adanya konflik di awal. Akan tetapi, sebagai dinamika security dilema dari PLO yang akhirnya membuatnya melancarkan aksi tersebut dan sebagai respon dinamika deterrence dari Israel menginvasi Lebanon sebagai dampak dari PLO.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H