Lihat ke Halaman Asli

Nur Aulia Lidyanto

Penulis seadanya

Ada Apa dengan Kalimantan?

Diperbarui: 18 November 2021   14:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Photo by Yohanes Deobi from Pexels 

Baru saja pada awal tahun lalu Kalimantan Selatan di terjang Banjir hebat yang menenggelamkan hampir seluruh Kabupaten di Kalimantan Selatan. Bencana nasional itu mengundang banyak simpati dari relawan hingga artis ibukota. Curah hujan tinggi dan cuaca ekstrem kini kembali melanda Kalimantan di bagian Barat dan Tengah. Ketinggian banjir hingga ke dada orang dewasa menyebabkan sebagian besar keluarga yang terdampak banjir memilih untuk mengungsi ke tempat yang lebih aman. Namun tidak sedikit juga yang masih bertahan di rumah untuk menjaga harta benda dari kejahatan penjarah kesempatan.

Kali ini banjir menerjang wilayah Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah dalam waktu yang relatif berbarengan. Greenpeace Indonesia mengklaim bahwa faktor utama penyebab banjir di Wilayah Kalimantan Barat yang melanda 12 Kecamatan adalah Deforestasi kawasan hutan dan rusaknya daerah aliran sungai (DAS). Di perparah oleh curah hujan tinggi yang menyebabkan sungai Kapuas tidak mampu menampung debit air. Hingga artikel ini di tulis (18/11/21) Kabupaten Sintang di Kalimantan Barat masih terendam banjir hingga 3 meter.

Sementara 6 dari 11 Kabupaten terdampak banjir di Kalimantan Tengah di tetapkan sebagai tanggap darurat bencana banjir. Enam kawasan tersebut yaitu Kotawaringin Barat, Katingan, Kotawaringin Timur, Seruyan, Lamandau, dan Gunung Mas. Banjir yang menerjang Kalimantan Tengah mengakibatkan beberapa akses jalan terputus dan terisolir. Hilangnya daerah resapan air hujan menyebabkan durasi banjir cenderung lebih lama.

Data KLKH menyebutkan bahwa deforestasi kawasan hutan Kalimantan Tengah menempati urutan tertinggi yakni sebanyak 2,3% penurunan luas tutupan hutan sepanjang 2015-2018. Angka deforestasi Indonesia dari tahun 2015 hingga 2020 menyatakan penurunan. Namun efek domino dari hilangnya kawasan hutan tidak bisa dihindari.

Banyak klaim bermunculan terkait deforestasi kawasan hutan dan pembukaan lahan untuk perkebunan kelapa sawit di Kawasan hutan Kalimantan, Papua, dan Sumantera adalah kebijakan pemerintah terdahulu. Namun realisasi penurunan drastis kawasan hutan nyatanya menjadi lebih parah dalam 1 dekade terakhir.

Bentuk dari kebijakan investasi untuk menyerap sebanyak-banyak investasi dengan menggunduli hutan membuahkan hasil. Berjuta-juta herktar kawasan hutan telah menjadi perkebunan kelapa sawit di tempat-tempat strategis. Mendukung perubahan iklim global di seluruh dunia. Menyadari hal itu, para petinggi negara di seluruh dunia pada Konferensi COP26 yang berlangsung di Glasgow berkomitmen mengakhiri penggundulan hutan dan menanggulangi dampak yang timbul hingga 2030.

Deforestasi dan emisi karbon adalah faktor utama perubahan iklim besar-besaran di dunia. Bukan tidak mungkin pada 2050 kota-kota besar dunia tenggelam, termasuk Jakarta. Banjir yang terjadi di Kalimantan sudah semestinya menjadi kaca untuk bercermin. Kalimantan sebagai paru-paru dunia kini tersedak asap dan lembab. Rencana pemindahan ibukota negara ke kawasan Kalimantan sepertinya harus di tinjau ulang, mengingat bencana banjir besar terjadi hanya dalam kurun waktu kurang dari 1 tahun.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline