Lihat ke Halaman Asli

Nur Aulia Lidyanto

Penulis seadanya

Papua Tanahku Cinta

Diperbarui: 13 Oktober 2021   11:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.



Papua Tanahku Cinta

Tempe kah kamu, Papua merupakan pulau terbesar kedua di dunia? Sebagian besar wilayah nya masih berupa hutan belantara. Lembah-lembah curam serta pegunungan berjajar tinggi menjulang. Bahkan sebagian puncaknya di tutupi salju! Iya, salju. Di negara tropis seperti Indonesia, ada salju. Iklim panas sepanjang tahun nyatanya tidak mencairkan salju di Puncak Jaya. Gugusan pulau-pulau yang membentang di tengah samudera lepas. Seolah beranak pinak melahirkan pulau-pulau kecil di sekitanya. Hamparan pasir putih memanjakan mata, air laut biru dan hijau melabuh di pantainya. Pari manta, hiu dan barakuda menjelajah bebas di samudera. Kasuari, cendrawasih dan rajawali merajai angkasa. Kangguru pohon, katak, ular piton merayap senyap di hutan-hutan sana.  

Katanya, nenek moyang suku-suku Papua berasal dari ras Australommelanesid yang telah lebih dulu menghuni Nusantara. Wilayah paling Timur Indonesia ini seolah memiliki dinastinya sendiri. Para penjelajah Eropa menyebut penduduk Papua sebagai orang Melanesia karena warna kulit mereka yang cenderung gelap dan eksotis. Inilah yang membuat Papua memiliki ciri khas unik yang tidak dapat dipisahkan dari namanya.

Dengan karakteristik unik serta alam yang kaya ternyata tidak menjamin Papua sejahtera. Nyata nya wilayah Papua banyak tertinggal dan kurang perhatian sejak merdekanya negeri ini. Dekade belakangan Papua mulai mendapat perhatian dari pemerintah. Mulai meratanya pembangunan di seluruh negeri termasuk Papua menyetarakan kedudukan Papua dengan daerah lain.

Malangnya, demi kemajuan dan bangkitnya perputaran ekonomi negeri ini, Papua digerus. Gunung emas tak lagi mengandung emas. Semua di angkut. Berton-ton banyaknya, bermil-mil jauhnya. Sejengkal demi sejengkal dari kaki gunung hingga puncak di keruk. Di lubangi. Meninggalkan sumur besar nan dalam. Namun tidak terdengar Mama Papua berkalung emas berjuntai hingga ke tanah. Jangankan perhiasan emas, atap rumah saja masih memakai daun sagu berdindingkan Kayu. Hanya sebagian kecil yang telah sejahtera.

Salju di Puncak Jaya yang telah dinobatkan abadi perlahan mulai pergi menjadi tetes air menuruni lereng hingga ke tanah. Papua mulai berubah. Ya, berubah. Pohon sagu berubah menjadi sawit. Hutan hujan tropis nan hijau berubah menjadi mural kuning dan merah. Mahakarya gravity korporasi mengurat tegas melintang di tengah rimba. Tanah adat mulai terancam menghilang. Seringkali tanpa persetujuan, hutan masyarakat adat di jajah, digusur, dibangun dengan dalih investasi. Makin sulit bagi masyarakat adat bertahan dengan pembangunan yang merusak hutan. Tidak ada lagi pohon sagu, yang ada hanya sawit dan jalan raya. Suku-suku asli dan masyarakat adat semakin tersingkirkan dan terpinggir di tengah kepentingan korporasi.    





BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline