Lihat ke Halaman Asli

Refleksi dari Kasus Dwi Hartanto

Diperbarui: 10 Oktober 2017   19:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Heboh diberitakan banyak media sosial tentang manipulasi informasi dari sosok Dwi Hartanto, seorang Warga Negara Indonesia yang mengaku sebagai mahasiswa post-doctoral Asisten Profesor di Technische Universiteit (TU) Delft, Belanda. Namun nyatanya beliau adalah mahasiswa doctoral di TU Delft. Berdasarkan sumber, beliau mengaku bahwa penelitian yang dikerjalan dalam lingkup teknologi satelit dan roket. Namun nyatanya beliau melakukan penelitian dalam bidang intelligent system sebagai distertasinya.

Masih dari sumber yang sama, Dwi Hartanto mengaku sebagai juara dalam perlombaan bidang Spacecraft Technology. Lagi-lgi kenyataannya itu hanyalah manipulasi informasi yang mungkin beliau ingin melambungkan namanya dalam dunia keilmuan. Saya sendiri tidak mengerti kenapa beliau melakukan hal seperti itu. Apalagi ini menyangkut dalam dunia keilmuan dan membawa nama sebagai seorang peneliti.

Dari kasus Dwi Hartanto kita bisa merefleksikan diri menjadi seorang peneliti pada bidang yang digeluti. Saya merangkum tiga poin dari sudut pandang pribadi mengenai kasus ini sebagai bahan cerminan, terutama buat diri saya sendiri.

Peneliti harus bersikap apa adanya, tidak melebih-lebihkan informasi hasil penelitian atau memutar-balikan fakta yang sebenarnya dengan cara memanipulasi hasil penelitian, mengakui penelitian orang lain menjadi penelitian milik pribadi atau lain halnya. Semata-mata untuk melambungkan nama agar menjadi terkenal.

Masalah terkenal adalah urusan waktu. Kalau kita memang benar-benar memberikan hasil yang murni dari keringat sendiri, maka kata "terkenal" itu akan menghampiri. Kalaupun secara instan terkenalnya, maka instan pula terkenal itu hilang.

Peneliti harus malu dengan hasil penelitiannya apabila yang dilakukan itu bukan merupakan jerih payah dirinya, melainkan karya orang lain yang diambil dengan seenaknya saja.

Peneliti harus tau kapasitas diri. Hal ini harus sangat diperhatikan oleh setiap orang tentang kapasitas diri. Kapasitas diri berbicara tentang kemampuan pribadi untuk melaksanakan tugas-tugas yang diembannya secara profesional dalam lingkup bidang yang digeluti. Artinya, tidak usah mengerjakan tugas-tugas yang bukan dibidang keahlian pribadi. Kerjakan saja sesuai kemampuan dalam bidang yang digeluti.

Tentunya tiga poin di atas juga berlaku untuk para pembuat karya lainnya. Bukan hanya terfokus kepada seorang peneliti. Siapapun dari kita yang berkarya, tunjukan hasil karya yang murni miliki pribadi. Itu akan jauh lebih berharga dibandingkan mengakui karya orang lain menjadi karya pribadi, seakan tidak memiliki sopan santun dalam berkarya.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline