Bahasa Indonesia adalah bahasa nasional dan resmi di seluruh Indonesia. Ini merupakan bahasa komunikasi resmi, diajarkan di sekolah-sekolah dan digunakan untuk disiarkan dimedia elektronik dan digital.
Sebagai Negara dengan tingkat multilingual (terutama trilingual) teratas di dunia, mayoritas orang Indonesia juga mampu bertutur dalam bahasa daerah atau bahasa suku mereka sendiri, dengan yang paling banyak dituturkan adalah bahasa Jawa dan Sunda yang juga memberikan pengaruh besar ke dalam elemen bahasa Indonesia itu sendiri.
Di Era yang sudah semakin canggih ini, Bahasa Indonesia sudah tidak murni dalam penggunaan di kehidupan sehari-hari terutama pada kalangan remaja. Salah satu daerah yang mengalami fenomena tersebut yaitu daerah kota Jakarta Selatan. Atau anak jaman sekarang biasa menyebutnya KBBJ [Kamus Besar Bahasa anak Jakarta selatan].
Bagaimanapun, perkembangan bahasa tidak dapat dilepaskan dari fenomena yang terjadi di dalam masyarakat. Setiap harinya, kita bergumul dengan tren. Banyak film, lagu, dan buku dari berbagai macam latar budaya yang kita serap. Kita bersosialisasi dengan orangorang yang berbeda dan setiap mereka membawa referensi yang berbeda pula.
Tentu saja, setiap regional memiliki ciri khasnya masing-masing, begitu pun dengan cara masyarakatnya dalam berbahasa. Salah satu daerah di Ibukota, yaitu kota Jakarta Selatan, ada satu fenomena bahasa yang sempat marak diperbincangkan, yakni fenomena “Bahasa Jaksel/ [KBBJ] Kamus Besar Bahasa anak Jakarta Selatan”. Dari mulai beberapa kebiasaan seperti:
Campur dan Alih Kode, Campur dan alih kode atau bahasa gado-gado merupakan kebiasaan yang sering diterapkan oleh masyarakat Jakarta Selatan. Kushartanti, dosen Linguistik di Universitas Indonesia, mengatakan bahwa lingkungan dan pembangunan di Jakarta Selatan yang sebagian besar dihuni oleh masyarakat bergolongan menengah ke atas menjadi faktor penting dalam fenomena bahasa campuran.
Contoh yang kerap kali saya jumpai adalah pencampuran bahasa Indonesia dengan bahasa Inggris, seperti which is, as in, by the way, atau in the end.
Yang kedua ada Akronimisasi Selain percampuran bahasa, ada pula pembentukan akronim yang kerap saya dengar dari teman-teman sebaya, seperti manjiw (mantap jiwa), mantul (mantap betul), dan baper (bawa perasaan). Saya pun sering menggunakan contoh-contoh tersebut demi kemudahan berkomunikasi. Di luar itu, terkadang akronimakronim tersebut merupakan lambang keakraban.
Dan yang ketiga ada Bahasa Terbolak-balik, yang cara membaca dari arah kanan dahulu bukan dari arah kiri. Kata yang diucapkan lewat huruf yang terbalik termasuk ke dalam metatesis bahasa, yakni perubahan letak huruf, bunyi, atau suku kata dalam kata (Kridalaksana, 1984: 123). Contoh metatesis bahasa yang sering terjadi di Jakarta Selatan, antara lain kuy ( kata yang berasal dari kata “yuk”), sabeb (mengambil dari kata bebas), dan alig ( mengambil dari kata ”gila” ).
Bahasa Jaksel (Jakarta Selatan) merupakan fenomena yang terjadi dalam konteks ragam lisan nonformal. Apakah campur dan alih kode, akronimisasi, dan metatesis bahasa merupakan suatu kebiasaan yang bisa membawa dampak buruk terhadap bahasa Indonesia? Saya rasa tidak, selama para penggunanya masih menggunakan mereka dalam konteks yang sesuai.
Apakah penggunaan Bahasa Jaksel mencerminkan kadar intelektualitas seseorang? Jika ada individu atau sekelompok orang yang menggunakan Bahasa Jaksel (Jakarta Selatan), saya barangkali bisa menebak dengan siapa mereka berinteraksi dan lingkungan seperti apa yang mereka naungi. Namun, menurut saya, hal tersebut tidak serta-merta menunjukkan kadar intelektualitas mereka.