Lihat ke Halaman Asli

Aulia Edlin

Fresh Graduate Sastra Indonesia

Menumbuhkan Kebiasaan Membaca pada Anak dengan Short Attention Span

Diperbarui: 15 November 2024   21:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Dewasa ini, anak-anak sangat mudah terpapar konten video pendek di media sosial. Hasilnya, mereka akan tumbuh dengan kebiasaan sulit fokus, sulit berkonsentrasi, dan tidak betah berlama-lama membaca bacaan yang panjang atau bahkan menyimak video panjang. Inilah yang kemudian disebut short attention span, istilah yang merujuk kepada kurangnya kemampuan dalam memusatkan perhatian. 

Orang-orang yang memiliki short attention span hanya bisa memberikan perhatian yang singkat terhadap suatu hal (Habibi, 2024). Hal ini sejalan dengan pernyataan Wahyudi dkk (2024: 456) bahwa orang yang menggunakan aplikasi short video cenderung memiliki rentang fokus yang lebih pendek daripada orang yang tidak menggunakannya.

Di masa depan nanti anak-anak akan membutuhkan kemampuan konsentrasi. Jika tidak dilatih fokus dan perhatiannya sejak dini, maka mereka akan sulit berkonsentrasi dalam belajar dan tidak betah berlama-lama membaca. Yang demikian akan membuat mereka kesulitan dalam menimba ilmu di kemudian hari. Karena itulah, anak-anak di masa primanya hendaknya dibiasakan untuk melahap berbagai jenis bacaan.

Kebiasaan literasi sejak dini adalah privilege yang tak semua anak miliki. Tak sedikit orang tua yang mengaku tak punya waktu untuk menyortir bacaan anak. Misalnya saja, tak semua anak dibelanjakan majalah, buku dongeng, atau bacaan-bacaan secara rutin. Utamanya di era digital ini, para orang tua seringkali disibukkan dengan pekerjaan mereka dan tak meluangkan waktu untuk menyaring konten yang ditonton anak.

 Banyak dari anak-anak yang justru diberikan gadget dan dilepas begitu saja. Berdasarkan data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), sekitar 98 persen anak berusia 6-12 tahun sudah menggunakan gawai dalam rata-rata 6 jam 45 menit per hari (Napitupulu, 2023). Dengan kondisi tersebut, lingkungan justru menjadi tantangan bagi anak untuk membentuk kebiasaan membaca.

Lingkungan sekolah juga berperan penting membangun kebiasaan anak dalam membaca. Banyak karya fiksi yang dapat meningkatkan imajinasi dan melatih fokus anak. Sebut saja majalah Bobo, Donald Bebek, dan buku-buku dongeng bergambar cantik yang biasa dijual di toko buku. 

Guru-guru dapat menggunakan buku-buku ini sebagai media pembelajaran, tidak melulu terpaku pada buku teks dan pemenuhan kurikulum semata. Yang seringkali dilupakan adalah bagaimana melatih anak agar menikmati pembelajaran, alih-alih belajar itu sendiri. Jika anak bisa menikmati membaca sejak dini, maka di kemudian hari ia tidak akan menganggap belajar sebagai sebuah momok atau ketakutan.

Saat masih taman kanak-kanak, saya bisa membaca sedikit lebih cepat dari teman-teman sekelas saya. Hal itu disebabkan ketertarikan saya yang sangat kuat pada buku-buku cerita bergambar yang dipajang di perpustakaan sekolah. Gambar-gambarnya menarik perhatian saya sehingga saya ingin mengetahui cerita di baliknya. Ketertarikan tersebut yang membuat saya semangat belajar membaca. 

Karena baru bisa membaca, saya masih terbiasa membaca lantang alih-alih membaca dalam hati, bahkan di tengah kelas. Saat saya membaca sebuah buku cerita di waktu istirahat, teman-teman sekelas saya biasa bergerombol di sekitar saya untuk mendengarkan saya bercerita. Jadilah saya seperti mendongeng untuk mereka. 

Saya ingat pada saat itu teman-teman saya begitu antusias menanti kelanjutan dari cerita yang saya baca. Namun karena keterbatasan waktu, tentunya saya tak bisa menceritakan semua buku pada mereka. Di kemudian hari, satu per satu teman-teman sekelas saya yang awalnya belum bisa membaca, mulai memamerkan kebisaan mereka. Sekarang saya sadar, rasa penasaran akan sebuah cerita dapat memotivasi anak untuk membaca.

Di era digital ini, anak-anak yang terlalu banyak terpapar konten video pendek terbiasa dengan hal instan. Mereka tak terbiasa menggali informasi sendiri. Hal ini dikarenakan algoritma media sosial telah bergeser dari mesin pencari ke rekomendasi yang dipersonalisasi. Pengguna media sosial dijejali dengan beragam informasi hingga tak punya waktu untuk mengeksplorasi keingintahuan mereka.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline