Semangkuk kenyataan terlampau jauh dari kursi bayangan. Kuah cemas tak lagi bersedia hangat. Lamunan terasa dingin menyusuri isi kepala yang terlanjur beku oleh titik-titik penolakan yang tertimbun.
Aku duduk bersama kehilangan, menyiapkan tangguh lebih penuh, untuk kusimpan dilemari do'a, agar setidaknya ketika rindu melangit, aku tak kesakitan memeluk.
Aku duduk bersama kehilangan, dipersimpangan semesta tanpa basa-basi, membungkus luka kemarin yang ternyata masih menganga, memesan harapan baik dari ratapan yang pernah buruk.
Aku berdiri bersama praduga yang telah piawai mencemarkan air mata. Membasuh peluh tanpa keluh, Menampung ringkih supaya kembali pulih. Lagi-lagi menikmati senyum yang akhir-akhir ini mengalum.
Aku adalah penyejuk yang suka menulis karya perempuan bernama diri sendiri. Sampai berhasil menelanjangi sepi, atas hati yang seketika mati ditampar puisi.
Aku pun adalah kekeliruan yang berakhir dihakimi. Tanpa mencium bukti, ada batin yang pernah dibunuh hidup-hidup. Diserang mati-matin, tentang ketakutan yang telah lama kotor dihajar waktu.
Aku adalah aku yang sampai kapanpun tetap menjadi aku
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H