Lihat ke Halaman Asli

Aulia

Dosen Universitas Andalas

Ancaman Pengurukan Lahan yang Disamarkan di Wilayah Pesisir Melalui Pemancangan Bambu Dan HGB Manipulatif

Diperbarui: 21 Januari 2025   09:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Screenshot https://www.youtube.com/watch?v=9_WmIZQpSrg&t=19s

Pendahuluan

Polemik kepemilikan lahan di wilayah pesisir, khususnya kasus pagar bambu di Tangerang, mencuat sebagai salah satu isu yang menyingkap praktik-praktik mengkhawatirkan terkait pengelolaan lingkungan. Sengketa ini memperlihatkan ancaman yang lebih besar berupa pengurukan lahan secara ilegal, sebuah tindakan yang merusak ekosistem pesisir, menciptakan konflik sosial, dan mengancam kehidupan masyarakat nelayan. Pengurukan lahan di wilayah pesisir, yang sering kali terjadi tanpa izin resmi, menjadi cerminan lemahnya pengawasan hukum di kawasan strategis tersebut.

Dalam konflik yang terus berlarut, suara nelayan yang hidup berdampingan dengan laut selama berabad-abad kerap terabaikan. Mereka merasakan dampak langsung dari pembangunan pagar dan potensi pengurukan lahan yang membatasi akses ke laut, mengganggu rutinitas sehari-hari, dan mengancam mata pencaharian. Kajian dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menyebutkan bahwa degradasi lingkungan pesisir mengakibatkan penurunan hasil tangkapan hingga 40% di beberapa wilayah di Tangerang. Akses ke laut, yang sebelumnya bebas, kini terhambat oleh pembangunan pagar dan proyek pengurukan lahan yang diduga didorong oleh kepentingan bisnis besar.

Dampaknya tidak hanya bersifat ekologis, tetapi juga ekonomi dan sosial. Pengurukan lahan pesisir telah menghancurkan habitat biota laut, mengganggu proses sedimentasi, dan mengubah pola arus laut. Sebagai contoh, nelayan tradisional di wilayah Teluk Naga melaporkan peningkatan biaya operasional karena mereka harus berlayar lebih jauh akibat perubahan jalur arus laut. Penurunan pendapatan ini semakin diperparah oleh kurangnya dukungan pemerintah untuk nelayan kecil.

Ancaman Pengurukan Lahan dan Dampaknya

Pengurukan lahan di wilayah pesisir membawa dampak multidimensi, termasuk kerusakan lingkungan, konflik sosial, dan peningkatan risiko bencana. Data dari LIPI menunjukkan bahwa sekitar 60% ekosistem mangrove di pesisir utara Tangerang telah rusak akibat aktivitas pengurukan lahan dan alih fungsi menjadi kawasan industri atau pemukiman. Dampak-dampak ini mencakup:

  1. Kerusakan ekosistem pesisir: Pengurukan lahan menghancurkan habitat biota laut, seperti ikan, udang, dan kepiting, yang bergantung pada mangrove sebagai tempat tinggal dan berkembang biak. Selain itu, aktivitas ini mengganggu sedimentasi alami dan mengubah pola arus laut, yang berdampak pada ekosistem pesisir secara keseluruhan.
  2. Pencemaran lingkungan: Material konstruksi yang digunakan dalam pengurukan sering kali tidak ramah lingkungan, mencemari perairan dan tanah sekitar. Penurunan kualitas air juga memengaruhi kesehatan masyarakat pesisir.
  3. Peningkatan risiko bencana: Penelitian dari Institut Teknologi Bandung (ITB) menunjukkan bahwa pengurukan lahan meningkatkan risiko abrasi hingga 30% di kawasan pesisir utara Jawa. Hal ini juga menyebabkan kenaikan frekuensi banjir rob, yang merugikan masyarakat pesisir baik secara finansial maupun fisik.
  4. Konflik sosial: Sengketa lahan antara masyarakat pesisir dengan pihak swasta yang terlibat dalam proyek pengurukan sering kali memicu ketegangan sosial. Konflik ini dapat berujung pada demonstrasi, kekerasan, bahkan kriminalisasi terhadap masyarakat yang berusaha mempertahankan hak mereka.

Dalam menghadapi ancaman tersebut, berbagai pihak termasuk aktivis lingkungan, tokoh masyarakat, dan tokoh publik seperti Said Didu, memainkan peran penting. Aktivis lingkungan telah secara konsisten mengungkap fakta di lapangan, termasuk dampak negatif pembangunan pagar bambu dan dugaan adanya kepentingan bisnis besar di balik proyek ini. Melalui media sosial, mereka berhasil membangun kesadaran publik tentang pentingnya menjaga kelestarian lingkungan dan melindungi hak-hak nelayan.

Selain itu, aktivis juga mendesak pemerintah untuk menindak tegas pelaku pelanggaran. Dalam beberapa kasus, tekanan publik yang diinisiasi oleh aktivis telah berhasil mendorong pemerintah untuk melakukan penyelidikan lebih mendalam terhadap proyek-proyek reklamasi ilegal. Misalnya, dalam konferensi persnya, Menteri Kelautan dan Perikanan menegaskan bahwa penerbitan Hak Guna Bangunan (HGB) di wilayah pesisir melanggar undang-undang dan harus segera dicabut. Namun, hingga kini belum ada langkah tegas yang diambil terhadap perusahaan-perusahaan besar yang diduga terlibat.


Integritas Aparat dan Pejabat dan Celah Hukum

Kasus ini juga menyoroti perlunya peningkatan integritas aparat pemerintah dalam menangani permasalahan lingkungan. Penerbitan HGB untuk wilayah pesisir menunjukkan kelemahan dalam sistem hukum yang memungkinkan adanya praktik korupsi dan penyalahgunaan wewenang. Pengawasan yang lemah terhadap aktivitas pengurukan juga memperkuat dugaan bahwa terdapat kepentingan tertentu yang dilindungi. Tanpa reformasi birokrasi yang signifikan, potensi terulangnya kasus serupa tetap tinggi.

Regulasi terkait pengelolaan wilayah pesisir, seperti yang diatur dalam Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, sering kali tumpang tindih dengan kebijakan daerah yang memprioritaskan investasi. Selain itu, proses perizinan yang rumit membuat pengawasan terhadap aktivitas pembangunan menjadi tidak efektif. Data dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) menunjukkan bahwa dari 200 kasus pelanggaran lingkungan yang tercatat pada 2023, hanya 15% yang berhasil diproses hingga tuntas.

Kasus Serupa di Negara Lain dan Solusinya

Pengurukan lahan pesisir bukan hanya masalah di Indonesia. Beberapa negara lain juga menghadapi tantangan serupa, namun dengan pendekatan berbeda:

  1. Teluk Manila, Filipina: Proyek reklamasi untuk kawasan bisnis di Teluk Manila menyebabkan kerusakan ekosistem mangrove dan meminggirkan masyarakat pesisir. Setelah desakan dari aktivis dan masyarakat internasional, pemerintah Filipina memberlakukan moratorium proyek reklamasi tertentu serta audit lingkungan terhadap proyek-proyek baru.
  2. Mumbai, India: Reklamasi di pesisir Mumbai memicu protes masyarakat setempat. Dengan dukungan organisasi lingkungan seperti Bombay Natural History Society (BNHS), Mahkamah Agung India membatalkan beberapa proyek yang dianggap merusak lingkungan. Langkah ini diikuti dengan kebijakan konservasi mangrove yang lebih ketat.
  3. Pulau Riau, Singapura, dan Malaysia: Konflik terkait reklamasi Singapura yang menggunakan pasir dari Malaysia dan Indonesia menimbulkan kerusakan ekosistem laut. Malaysia merespons dengan melarang ekspor pasir laut, sementara Singapura mulai menggunakan teknologi reklamasi ramah lingkungan.
Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline